Selasa, 22 Mei 2018

Kronologi Tragedi Mei 1998: Demonstrasi, Kerusuhan, dan Turunnya Soeharto

Suasana kerusuhan di Jakarta, Mei 1998 (dok. google)
Pada Mei 1998, Indonesia menerima dampak buruk dari krisis ekonomi yang menerpa Asia. Inflasi terjadi, nilai rupiah naik tajam sampai Rp 16.000 per dollar, dan pengangguran meningkat. Ketidakpuasan pun terjadi di masyarakat. Mosi tidak percaya terhadap Pemerintahan Soeharto yang baru saja terpilih melalui Pemilu 1997 menyeruak. Demonstrasi menyerukan reformasi terjadi di mana-mana. Bagi demonstran, Pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagai rezim KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) harus diganti.  

Puncaknya, pada 12 Mei 1998, mahasiswa di seluruh Indonesia, terkhusus di Jakarta, sepakat melakukan aksi bersama. Militer membolehkannya dengan satu syarat: lakukan di dalam kampus! Namun ternyata, dalam demonstrasi di kampus Trisakti Jakarta, para mahasiswa memaksa keluar kampus. Mereka ingin berdemontrasi di depan Gedung MPR yang kebetulan dekat dengan kampus mereka. Dari jam 10 pagi hingga jam 05.00 sore, militer dan demonstran saling berhadap-hadapan di jalanan.

“Demonstrasi sudah keluar kampus dan terjadi martir. Ini tinggal tunggu waktu keadaan bahaya,” kata Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI kala itu, dalam wawancaranya kepada kanal televisi Trans7. Benar saja, militer dan demonstran kemudian terlibat baku dorong. 

Militer pun secara bertahap melakukan tindakan represif. Hingga akhirnya hujan peluru terjadi. Bermodal senjata laras panjang, militer melepaskan tembakan ke arah demonstran. Demonstran berhamburan, lari tunggang-langgang. Sebagian besar mahasiswa Trisakti lari masuk ke dalam kampus mereka dan bahkan menutup rapat pagar kampus. Pun mahasiswa sudah di dalam kampus, militer tetap melepaskan tembakan yang dibalas lemparan batu oleh mahasiswa.

Sangat disayangkan, dalam keadaan chaos tersebut, empat mahasiswa Trisakti terkena peluru tajam. Keempatnya tewas di tempat: Elang Mulia Lesmana, Hafhidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Jenazah keempatnya dievakuasi ke Rumah Sakit Sumber Waras. Keluarga dan puluhan teman mengiringi jenazah dengan tangisan dan bacaan ayat Al Qur’an.

*****

Menjelang pukul 12.00 malam, dr. Mun’im Idris (ahli forensik) datang ke RS Sumber Waras atas permintaan Idham Azis, Kasat Serse Polres Metro Jakarta Barat. Dr. Mun’im hendak melakukan pemeriksaan bedah mayat atas keempat mahasiswa korban penembakan. 

Awalnya, keinginan dr. Mun’im ditolak keluarga. Namun akhirnya, setelah hampir setengah jam negosiasi, dr. Mun’im melakukan bedah mayat dengan satu syarat: keluarga menyaksikannya langsung.

Kurang-lebih 90 menit, dr. Mun’im membedah jenazah keempat mahasiswa Trisakti tersebut. Dia menemukan luka tembak pada bagian mematikan di tubuh keempat korban: ada di dahi tembus ke kepala, di leher, di punggung, dan di dada. “Jelas tembakan yang dilepaskan militer bertujuan mematikan, bukan melumpuhkan,” tulis dr. Mun’im dalam bukunya Indonesia X-Files. Selain itu, dr. Mun’im juga berhasil mengamankan peluru dari tubuh korban.

Setelah proses bedah, kepada Pers dan mahasiswa yang sudah ramai berkumpul, dr. Mun’im membenarkan telah terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dengan menggunakan peluru tajam. Namun, dr. Mun’im tidak menjelaskan secara detil karena itu menjadi konsumsi penyidik ke depannya. Selanjutnya, dr. Mun’im meninggalkan RS Sumber Waras.

Dr. Mun’im ‘tak langsung pulang ke rumah. Dia menghadap Kapolda dulu, Irjen Pol. Hamami Nata, untuk mendiskusikan hasil pemeriksaannya. Kepada Kapolda, dr. Mun’im bilang, “Pak, ini proyektil yang saya dapatkan tertanam pada leher salah satu korban. Dua korban pelurunya menembus, sedangkan satunya lagi masih tertanam di daerah dada kiri dan saya tidak bisa mengeluarkannya.”

Mendengar penjelasan dr. Mun’im, Pak Hamami Nata menerawang. Dengan nada kecewa dia berkata, “Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi para pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?”

Sebelum bertemu dr. Mun’im, Pak Hamami Nata bersama Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoeddin telah bertemu Menhankam/Pangab Wiranto. Wiranto kemudian memerintahkan tiga hal: pertama, usut aparat pelaku penembakan; kedua, jelaskan kepada masyarakat secara detil perihal kejadian tersebut; ketiga, minta maaf kepada rakyat Indonesia atas kejadian tersebut.   

****

Tanggal 13 Mei 1998,  di luar kampus Trisakti, massa entah dari mana terkonsentrasi berkumpul. “Mereka memprovokasi untuk kita (mahasiswa) keluar. Tapi teman-teman sepakat untuk ditutup pintu gerbang. Dan yang pertama kali saya lihat adalah ada dari arah jembatan lima, arah perempatan Grogol, itu ada truk sampah tiba-tiba berhenti di lampu merah. Orang yang meyupir sama yangnaik dari truk itu pada turun terus membakar truk itu…”
 
“…Dan itulah pertama kali terjadinya kerusuhan. Diawali pembakaran mobil-mobil di sekitar Hotel Ciputra, Citra Land itu, terus menjalar ke arah Daan Mogot terus mengarah ke Kali Deres,” kata Julianto Hendro Cahyono, Ketua Senat Mahasiswa Trisakti, kepada Trans7.

Dan kerusuhan pun terjadi di Jakarta pada 13 mei 1998 sepanjang hari. Massa melakukan pembakaran, penjarahan, dan bahkan pemerkosaan terhadap objek-objek menarik yang ada didepannya. Faktor ekonomi sangat dominan dalam kerusuhan ini. Ratusan orang tewas dan luka-luka.

****

Tanggal 14 Mei 1998, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia dari perjalanannya di Kairo, Mesir. Dia kemudian memanggil pejabat-pejabat berwenang untuk menjelaskan secara lengkap perihal peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan massal yang terjadi. Presiden Soeharto juga membangun komunikasi dengan sejumlah tokoh masyarakat dan agama. 

Dalam perjalanannya, keadaan menjadi berat bagi Soeharto karena ternyata tokoh masyarakat dan agama tidak mendukungnya. Ditambah lagi 14 menteri kabinetnya seketika mengundurkan diri, seperti Ginanjar Kartasasmita dan Akbar Tanjung.

Di tanggal 21 Mei 1998, ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR tanpa tindakan represif dari militer. Beberapa mahasiswa bahkan bertindak anarkis. Akhirnya, karena tidak mampu lagi mengendalikan keadaan, Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden yang kemudian disambut gembira para mahasiswa. Sesuai aturan, Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie naik menjadi Presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar