Jumat, 16 Februari 2024

Anti Prabowo Prabowo Club

Setelah Prabowo-Gibran menang Pilpres, ada satu kelompok yang pergerakannya layak ditunggu. Saya menyebut kelompok itu: ANTI PRABOWO PRABOWO CLUB. Kubu yang mendukung Prabowo, tapi sebenarnya mereka anti Prabowo. Mereka mendukung Prabowo karena faktor Jokowi.


Contoh: PSI beserta tokoh-tokohnya. Grace Natalie, misalnya, dulu beliau selalu jualan narasi minoritas, radikalisme, dan mengaitkannya dengan Prabowo. Gracenat dan partainya bahkan menganugerahi Prabowo Kebohongan Award. Kini, Gracenat memuji-muji Prabowo. Sikap seperti Gracenat itu, menurut Ahok: "bukan sifat Jokowi."

Contoh lain: Tsamara Amany. Eks PSI itu sebenarnya sudah siap pasang badan buat dukung Ganjar. Tapi karena Jokowi membelot ke Prabowo, dia juga ikut. Padahal dulu Tsamy pernah tegas tidak akan berpihak kepada sosok yang punya masalah HAM. Tapi begitulah politik: apapun makanannya, minumannya tetap air ludah sendiri.



Rabu, 14 Februari 2024

Presiden Baru Indonesia

Pasangan Gemoy menang pilpres. Itu sudah terprediksi sebelumnya dalam berbagai perspektif pilpres yang paling populer. Elektabilitas, mereka teratas. Kejawaan, hanya Ganjar yang bisa melawan. Dan yang paling penting: faktor incumbent, faktor Jokowi. Plus faktor Prabowo.

Faktor kecerdasan, mereka mungkin kalah. Tapi separuh lebih warga Indonesia belum menempatkan kecerdasan di level teratas dalam kriteria pilpres. Mereka masih lebih suka kepopuleran, suka orang Jawa yang memimpin bangsa, dan suka tokoh tertentu. Fanatisme. Itu fakta!

Next, kita bicara masa depan: apa yang menarik kalau Gemoy memimpin bangsa?

SATU, kalau pasangan Gemoy menang Pilpres, ada satu kubu yang pergerakannya layak ditunggu. Saya menyebut mereka: ANTI PRABOWO PRABOWO CLUB. Kubu yang mendukung Prabowo, tapi sebenarnya mereka anti Prabowo. Mereka masuk ke kubu Prabowo karena satu: faktor Jokowi. 

Contoh: PSI beserta tokoh-tokohnya. Grace Natalie, misalnya, dulu beliau selalu jualan narasi minoritas, radikalisme, dan mengaitkannya dengan Prabowo. Doi dan partainya bahkan menganugerahi Prabowo Kebohongan Award. Kini, doi ada di kubu Prabowo. Apa yang akan dilakukannya?

Bersyukur doi sudah tidak lagi menjadi Ketum PSI, tapi menyerahkannya ke Kaesang. Ya, meskipun prosesnya super prematur, kehadiran Kaesang mengubah wajah PSI yang awalnya idealis menjadi humoris. Walau akhirnya banyak idealisme PSI yang gugur, humorisnya Kaesang berhasil menyelamatkannya.

DUA, apakah akan terjadi perpecahan di internal kabinet Gemoy? Itu bisa saja terjadi. Faktor Prabowo dan faktor Jokowi sama-sama kuat. Kalau mereka baku tahan ilmu dan tidak bisa kolaborasi, bisa pecah koalisi. Tapi mudah-mudahan mereka bisa saling melengkapi.

TIGA, menarik menunggu kelanjutan pembangunan IKN dan penampakannya setelah jadi. Apakah akan bermanfaat bagi negara atau tidak? Minimal manfaat ekonomi.

EMPAT, bagaimana nasib penegakan hukum di Indonesia? Harus diakui, periode kedua Jokowi kemarin adalah periode dimana hukum mengalami kemunduran tajam. Mulai dari peristiwa Tol KM50, Sambo, kemunduran KPK, dan ditutup dengan polemik MK. Apakah Gemoy bisa memperbaiki kualitas penegakan hukum? Kita tunggu.

*****

Tapi omong-omong, aneh juga. Setelah 26 tahun reformasi, tiga elemen akhirnya berkumpul: keluarga Soeharto, pejabat orde baru, dan aktifis reformasi. Mereka berkumpul untuk merayakan kemenangan dinasti politik, hal yang mereka pertentangkan dulu. 😁

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang berbicara masa depan," kata Prabowo, Presiden terpilih.

Penegakan hukum sepertinya masih berat. Revolusi mental hanyalah narasi 10 tahun lalu.



Kamis, 08 Februari 2024

Dilema Teknokrat

Kalau kita petakan ilmu menjadi tiga: alamiah, ilmiah (teori) dan terapan (produk jadi), Indonesia selalu mentok di ilmiah. Wabilkhusus perihal teknologi. Full mekanikal maupun elektrikal.

Pun sudah banyak kita dengar kabar tokoh-tokoh Indonesia yang raih gelar akademik mentereng di luar sana, tapi karya ilmiah mereka selalu menjadi arsip. Tidak pernah diterapkan. Tidak pernah diubah menjadi produk jadi yang bermanfaat bagi khalayak.

Mungkin juga karya ilmiah mereka tidak menjadi arsip. Tetap termanfaatkan. Tapi orang lain yang memanfaatkannya. Bukan Indonesia. Bukan pemerintah kita yang notabene membiayai kuliah mereka.

Pernah sekali Habibie membuat N250 Gatot Kaca. Pesawat itu diuji tes dan terbang mulus di langit Halim Perdanakusuma. Tapi langkah pemilik puluhan karya ilmiah di jurnal internasional itu dihentikan pemerintah. Ada yang bilang karena krisis moneter. Ada juga yang bilang: petinggi Boeing menghadap Presiden Soeharto dan muncullah keputusan itu.

Nah, kalau ada teknokrat Indonesia yang nongkrong bekerja di luar negeri, itu hal wajar. Di luar sana, ilmu mereka lebih mudah diterapkan daripada di Indonesia. Fasilitas dan biayanya mumpuni. Di Indonesia, Rp 400 trilliun menguap jadi bansos dalam setahun. Mengadakan makanan di atas meja itu lebih penting dibandingkan mengubah teori menjadi produk jadi.

Minggu, 04 Februari 2024

Keinginan Rakyat Indonesia

Banyak survei telah dilakukan para pakar tentang keinginan rakyat Indonesia. Dan hasil survei itu mengerucut kepada tiga hal: terbukanya lapangan kerja, kenaikan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup, dan kepastian hukum.


Ringkasnya: cuma masalah ekonomi dan hukum.

*****

Terbukanya LAPANGAN KERJA sudah menemukan solusinya: hilirisasi industri. Beberapa smelter nikel di Sulawesi dan Maluku saja sudah bisa menampung belasan ribu orang.

Kalau hilirisasi industri terus berlanjut, amanlah.

Cuma memang hilirisasi industri jangan cuma menyentuh batubara, sawit, dan nikel saja, industri pangan juga perlu dihilirisasi. Kenapa? Anda boleh percaya; boleh tidak, kacang yang dipakai penjual gado-gado itu kebanyakan impor semua. Bagi saya, itu buruk.

Apakah petani kita tidak jago menanam kacang? Apakah tanah kita tidak cocok dengan tumbuh-kembang kacang? Atau apakah ada kartel komoditi kacang yang bermain? Entahlah.

Dengan adanya hilirisasi pangan, lapangan kerja bisa bertambah lagi. Terlebih industri pangan lebih akar rumput dibandingkan industri lain. Masyarakat lebih mudah mengaksesnya.

Cuma memang tantangannya: anak muda sudah kurang yang mau jadi petani dan pekebun. Mereka lebih mau jadi buruh pabrik.

******

Pun skill anak muda Indonesia sudah all item, multitallent, dan dinamis, persepsi mereka tentang PENDAPATAN (take home pay) masih konservatif: terukur oleh kebutuhan dan gaya hidup; dikendalikan oleh kepastian, bukan kemampuan.

Dulu misalnya, waktu jaman sekolah, kita selalu dituntut berjuang demi cita-cita. Belajar baik-baik, lulus, lalu cari kerja. Namun, di tengah perjuangan, selalu ada dua kata sakti yang mengganggu. Bukan cuma mengganggu, mengubah cita-cita malah. Dua kata sakti itu: ikatan dinas.

Mereka yang sudah sekolah di jurusan fisika, tiba-tiba keluar demi masuk ke sekolah ikatan dinas. Yang awalnya dia berpotensi jadi fisikawan, tiba-tiba berbalik arah jadi pegawai pajak.

Pun kalian konservatif dalam memandang pendapatan, tetaplah bersikap idealis. Jangan materialis. Apa bedanya?

Seorang idealis, ketika dia melakukan sesuatu, akan lebih mementingkan rasa puas di jiwanya dalam bekerja ketimbang materi yang diterimanya. Materi tetap penting, tapi tidak menjadi sentral, sehingga sesuatu yang dikerjakan itu kehilangan maknanya, rasanya, esensinya.

Dalam persepsi yang lebih tegas, kita bisa bilang: orang yang idealis akan melakukan sesuatu yang menjadi kewajibannya secara maksimal, sehingga menimbulkan kepuasan dalam jiwanya. Dan kepuasan itu semakin lengkap ketika dia memperoleh haknya berupa materi yang setimpal.

Dan yang terpenting: orang idealis tidak akan pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya, yang di luar haknya, karena itu akan merusak kepuasan dalam jiwanya.

Orang materialis sebaliknya, belum selesai kerja dan melakukan kewajibannya, dia sudah berpikir untuk memperoleh haknya. Yang lebih parah, dia juga berpikir bagaimana memperoleh yang bukan haknya.

*****

KEPASTIAN HUKUM. Ini yang masalah. Bukan masalah kecil, tapi sudah menjadi masalah bangsa. Kualitas pemerintahan Indonesia, dari tahun ke tahun, sama saja: kuat dalam pembangunan, tapi berat dalam masalah hukum.

Kalau Jokowi saat ini membangga-banggakan pembangunan infrastrukturnya: jalanan, jembatan, kereta api, dll, itu hal yang biasa. Soeharto dulu malah digelari Bapak Pembangunan.

Yang menarik, dalam masalah penegakan hukum, tak satu pun Presiden yang pernah dan berani membanggakan diri.

Dulu, kita bisa salut sama SBY karena di eranya, KPK berhasil mengibarkan benderanya. Tapi setelah Jokowi memimpin, terutama di periode kedua, bendera KPK turun menjadi setengah tiang.

Puncaknya, tatkala Jokowi mengobok-obok MK, hukum di Indonesia menjadi tidak ada harga dirinya lagi.

Dino Pati Jalal pernah melakukan survey kepada anak-anak muda perihal optimisme mereka soal penegakan hukum saat Indonesia Emas 2045 nanti. Hasilnya, para anak muda itu pesimis. Hukum nantinya akan masih sama seperti sekarang. Korupsi masih merajalela.