Rabu, 23 Mei 2018

Habibie dan Mimpi Pesawat Nasional

Pak Habibie dan replika R80 (dok. Tribun)
Dulu, Indonesia hampir mewujudkan mimpi punya pesawat sendiri. Habibie yang berusia 50-an tahun kala itu menjadi dedengkot. Melalui program Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) yang diinisiasi pemerintah, pesawat N250 bermesin baling-baling dengan kapasitas 50-70 penumpang disiapkan. Pesawat itu bahkan telah uji-coba terbang lebih dari 1.000 jam. Artinya apa, N250 sudah layak dapat sertifikasi FAA untuk kemudian diproduksi massal dan dipasarkan.

Namun apa daya, semuanya buyar. Saat krisis ekonomi 1998 menerpa Indonesia, keuangan negara terganggu. IMF yang turun tangan membantu, memberi syarat yang tidak berpihak: hentikan semua program industri nasional, termasuk IPTN. Pesawat N250 yang dirancang sepuluh tahun oleh insinyur-insinyur lokal itu pun menjadi arsip.

Kini, di usia Habibie yang menginjak 80-an tahun, mimpi membuat pesawat nasional masih menggelora. Rancangan pesawatnya pun sudah ada: R80. Pesawat model ATR bermesin baling-baling itu diproyeksikan melayani rute jarak pendek yang sekarang permintaannya sedang meningkat di pelbagai provinsi di Indonesia.

Ilham Habibie, anak Habibie, menjelaskan beberapa keunggulan R80 dibandingkan pesawat sejenis merk lain: kapasitas penumpang lebih besar, bahan bakar lebih irit, dan bisa mendarat di landasan pacu yang pendek.

Namun tantangan terberat ada pada biaya. Proyek pengadaan R80 butuh dana yang tidak sedikit: sekira Rp 20 trilliun. Pemerintah hanya mampu menyiapkan fasilitas, belum sepakat menyiapkan dana. Warga yang ribut-ribut saweran melalui Kitabisa.com pun baru mampu mengumpulkan Rp 6 milliar, jauh dari yang dibutuhkan.

Apakah mimpi pesawat nasional akan terwujud? Kita lihat saja nanti. Doakan!

Atlet Lari yang Menjadi Raja Bisnis Properti

Ciputra (dok. SWA)
Tjie Tjin Hoan lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931. Bersama tujuh saudaranya, hidup Tjie cukup bahagia. Hingga ayahnya ditangkap Jepang, hidup keluarganya pun mengalami kesusahan. Sampai-sampai Tjie berjuang mencari binatang di hutan untuk makanan keluarganya.

Meskipun hidup susah, Tjie mampu melanjutkan sekolahnya di SMP dan SMA Don Bosco Manado. Di sekolah itu, Tjie berprestasi dalam bidang olahraga lari. Dia bahkan mewakili Sulawesi Utara pada Pekan Olahraga Nasional 1951 di Jakarta. Prestasi dan kerja keras jugalah yang membuat Tjie mampu melanjutkan sekolahnya di Jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Selesai kuliah, Tjie bersama dua temannya sepakat membuat CV di Bandung yang menawarkan jasa arsitektur. Tjie berpromosi dari pintu ke pintu, mencari orang yang mau memakai jasanya. Namun usahanya berjalan di tempat, hingga Tjie sudah beristri dan punya anak, CV-nya masih begitu-begitu saja. Tjie pun memutuskan memboyong keluarganya ke Jakarta.

Tjie yang kemudian dikenal dengan nama Ciputra sepertinya berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat. Saat dia di Jakarta, Gubernur Soemarsono ternyata punya program untuk membenahi Jakarta. Ciputra pun mencium sebuah peluang. Berkat bantuan orang dalam Gubernuran, Ciputra berhasil menemui Gubernur Soemarsono dan mempresentasikan programnya untuk membenahi Jakarta. Sang Gubenur kagum dan kemudian memberikan tanggung jawab kepada Ciputra untuk membenahi Kawasan Senen. Ciputra setuju.

Pada 3 September 1961, perusahaan pun didirikan dengan nama PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya (Pembangunan Jaya). Proyek pertamanya membenahi Kawasan Senen. Ciputra dan timnya berdarah-darah mengelola proyek Senen. Mereka harus dipusingi oleh pedagang kaki lima yang ‘tak mau digusur dan para makelar tanah. Beruntung dukungan datang dari Gubernur baru Ali Sadikin, proyek Senen pun berjalan lancar tampa hambatan.

Selanjutnya, proyek pembangunan Jakarta dipercayakan oleh Gubernur Ali kepada Pembangunan Jaya tanpa tender, diantaranya proyek lima terminal: Blok M, Grogol, Tanjung Priok, Cililitan, dan Kramat Jati, pembangunan kompleks Balaikota setinggi 24 lantai, dan pembangunan Kawasan Ancol (Dufan). ‘Tak hanya proyek properti, Gubernur Ali juga mempercayakan hal-hal lain kepada Ciputra melalui Pembangunan Jaya, seperti pengembangan olahraga dan pendirian Majalah Tempo.

Selanjutnya, Ciputra banyak menggandeng pengusaha besar untuk membuat perusahaan properti dan menggarap proyek-proyek. Salah satunya pengusaha Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dari Salim Group melalui perusahaan PT Metropolitan Development dan pengusaha Eka Tjipta Widjaya dari Sinar Mas. Mereka menggarap proyek perumahan elit di Jakarta: Pondok Indah, Bumi Serpong Damai, Bintaro, Pantai Indah Kapuk, dan lainnya.

Pada 1996, Ciputra mengundurkan diri dari Pembangunan Jaya. Dia konsen membangun perusahaannya sendiri, Grup Ciputra. Grup yang kemudian dibesarkannya setelah mampu melewati badai krisis ekonomi 1998. Kini, Grup Ciputra punya ratusan rekanan untuk menggarap properti di seluruh kawasan Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. “Dengan menjadi pengusaha, kamu memiliki kemerdekaan menciptakan keinginanmua sendiri,” kata Ciputra yang juga akrab disapa Pak Ci’.

Referensi: The Passion of My Life, Biografi Ciputra; Ciputra, From Hero to Zero, oleh Maskur Anhari; Wikipedia.

Raja Agrobisnis Ini Cuma Tamatan SD di Makassar

Eka Tjipta (dok. Sinar Mas Group)
Pada 1932, Oei Ek Tjhong kecil berlabuh di kota Makassar bersama ibunya setelah berlayar tujuh hari tujuh malam dari Cina. Di Makassar, Oei menyusul ayahnya yang telah lebih duluan tiba dan telah membuka sebuah toko kecil.

Toko ayahnya maju; Oei pun minta disekolahkan. Sayangnya, keadaan ekonomi dan politik Indonesia yang labil karena keberadaan penjajah membuat Oei menyelesaikan sekolahnya hanya sampai SD. Oei kemudian membantu ayahnya berdagang. Dia juga menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia.

Oei berdagang apa saja yang bisa dijual: gula-gula, kue, dan hal-hal kecil lainnya. Bahkan, perlahan-lahan, dia naik tingkat dari penjual ke pemasok. Jualannya pun semakin berkembang. Karena besarnya, Oei membeli becak untuk mobilisasi barang.

Dari gula-gula dan kue, Oei kemudian menjadi penjual terigu, beras, bahkan semen. Kesuksesan usaha Oei terjadi ketika dia menjadi pengusaha minyak kelapa dengan menguasai lini dagang dari bahan baku kopra di Selayar sampai diolah menjadi minyak. Namun semua bisnisnya habis ketika pemberontakan Permesta terjadi di Makassar dan daerah Sulawesi Selatan lainnya. Eka pun harus memutar otak menafkahi keluarganya.

Setelah bisnisnya hancur di Makassar, Eka dan keluarganya memutuskan merantau ke Surabaya. Dia mencoba terjun ke bisnis agro. Kerja keras Eka menuai hasil hingga akhirnya memiliki kebun kopi dan karet di daerah Jember. Bisnisnya kemudian maju dan berkembang.

Di tengah kesuksesan, Eka melakukan ekspansi besar-besaran: membeli kebun dan pabrik teh, kebun dan pabrik kelapa sawit, pabrik kertas, dan lainnya. Pabrik-pabrik itu dinaungi perusahaan bernama PT Tjiwi Kimia, PT Asia Pulp & Paper, dan PT Indah Kiat Pulp & Paper. Produk kertasnya sangat terkenal: Sinar Dunia.

Perusahaan-perusahaan tersebutlah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya grup usaha besar bernama Sinar Mas Group. ‘Tak hanya eksis di agrobisnis, kini Sinar Mas Group telah melebarkan sayap ke semua sektor usaha: keuangan (Bank Sinar Mas, Asuransi Sinar Mas, dll.), telekomunikasi (smartfren), media (Orange TV), properti (BSD City, Damai Indah Golf, dll.), dan lainnya.

Kini, Sinar Mas Group telah dikelola oleh anak-cucu Eka Tjipta Widjaja. Perjuangan Eka kini dinikmati oleh keturunannya. “Apapun kesulitan yang dihadapi, asalkan memiliki keinginan untuk berjuang, pasti semua kesulitan dapat diatasi.” (Eka Tjipta Widjaja)

Referensi: Wikipedia.com, Biografiku.com, viva.co.id.

Mengenal Maestro Bisnis Perbankan Indonesia

Mochtar Ryadi (dok. Imam Jawa Pos)
Sejak duduk di Sekolah Dasar, Lie Moe Tie selalu terkesima dan heran melihat sebuah gedung megah berisi orang-orang berpenampilan rapi sedang sibuk bekerja. Anehnya, di dalam gedung itu ‘tak terlihat barang dagangan yang dijual. Lie pun menanyakan hal tersebut kepada Kepala Sekolahnya, Pak Loe kemudian menjawab, “Itu adalah bank milik Belanda.” Untuk menjawab rasa herannya, dalam diri lelaki kelahiran Malang, 12 Mei 1929 itu pun terpatri cita-cita untuk menjadi bankir.     
 
Cita-cita Lie yang kemudian mengganti namanya menjadi Mochtar Riady tersebut kesampaian pada usia 30, tepatnya pada 1959. Dia diperkenalkan oleh temannya dengan saudagar asal Bugis, Andi Gappa, yang juga saudara kandung Jend. M. Jusuf. Andi Gappa memiliki sebuah Bank bernama Bank Kemakmuran dan dia ingin Mochtar membeli saham Bank tersebut dan mengendalikannya. Mochtar sepakat membeli 66 persen saham dan menjadi Presiden Direktur Bank Kemakmuran.

Di tangan Mochtar, Bank Kemakmuran mengalami progress yang cukup baik. Namun unsur nepotisme yang melibatkan Komisaris Bank dalam penyaluran kredit mulai terjadi. Walhasil, kredit macet Bank Kemakmuran meningkat; Mochtar mundur dari jabatannya dan menjual sahamnya karena ‘tak mampu mengendalikan pihak-pihak dalam bank yang nakal.

Pada 1963, Mochtar berkenalan dengan Oey Guan Chang, Ketua Asosiasi Pengusaha Tekstil. Setelah dibujuk Mochtar, Oey tertarik membuat bank. Keduanya pun sepakat membeli Bank Buana yang tengah dibelit krisis. Di tangan Mochtar, Bank Buana menjadi empat besar bank terbaik dan mampu bertahan ketika terjadi krisis ekonomi 1965.

Saat krisis terjadi dalam kurun waktu 1965-1966, banyak bank-bank yang mengalami masalah. Sebagian besar bangkrut; sebagian lagi selamat karena dibeli bank yang sehat. Bank Buana yang sehat ‘tak ketinggalan melakukan pembelian bank krisis. Bank Kemakmuran (bank pertama Mochtar) dan Bank Industri dan Dagang Indonesia (BIDI) menjadi pilihan. Walhasil, ada tiga bank yang dikelola langsung oleh Mochtar. Semuanya dikelola Mochtar dengan baik dan sehat.

Pada 1971, Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi jumlah bank yang dianggap terlalu banyak. Salah satu caranya adalah bank-bank disuruh merger (bersatu). Mochtar sepakat untuk melakukan hal tersebut. Setelah bicara dengan para pemegang saham, dua bank (Bank Kemakmuran dan BIDI) sepakat bergabung; Bank Buana memilih jalan sendiri.

Penggabungan Bank Kemakmuran dan BIDI melahirkan bank baru bernama Pan Indonesia Bank atau dikenal dengan Panin Bank. Panin Bank menjadi bank merger pertama di Indonesia. Kantor barunya didesain sangat modern. Panin Bank pun menjelma menjadi bank swasta terbesar di Indonesia mengalahkan Bank Buana.

Kejayaan Panin Bank berlangsung singkat; masalah besar terjadi. Orang dalam Panin Bank melakukan kegiatan bank dalam bank. Kalau ada untung, orang itu mengambilnya; tapi kalau rugi, Panin Bank yang dikorbankan. Kredit macet dalam jumlah besar pun terjadi. Kepercayaan masyarakat menurun; bahkan sampai pada tindakan rush (ramai-ramai menarik tabungan dari bank). Panin Bank disoroti; Mochtar pasang badan dan menjelaskannya kepada Bank Indonesia. Kasus ini berujung pada mundurnya Mochtar dari Panin Bank.

Keluar dari Panin Bank, jiwa bankir Mochtar masih bergelora. Geloranya bahkan makin menggila: Mochtar ingin membuat bank kliring yang mewadahi transaksi internasional, serupa Bank of England di Inggris atau Federal Reserve Bank di Amerika Serikat. Dan gelora itu terwujud pada 1975 ketika Mochtar bertemu dengan Liem Sioe Liong, pengusaha yang dekat dengan Presiden Soeharto. Mochtar mengutarakan maksudnya kepada Liem. Liem paham dan menawarkan satu dari tiga bank milik Liem untuk dikelola Mochtar: Bank Windu Kencana, Bank Dewa Ruci, dan Bank Central Asia. Mochtar memilih BCA yang sahamnya juga atas nama putra-putri Soeharto.

Di tangan Mochtar, BCA mengalami reformasi manajemen. Konsultan asing bahkan didatangkan untuk mewujudkannya. Akhirnya, management by system terwujud; BCA siap melaju. “Masalah besar harus diatasi dengan tekun dan bijak agar menjadi kecil dan mudah diselesaikan dengan baik,” prinsip Mochtar mengutip perkataan Laozi.

Dalam perjalanannya, BCA menjadi bank swasta terbesar di Indonesia. Gudang Garam dan Unilever menjadi nasabah prioritasnya. Beberapa keputusan besar juga dilakukan: membeli Bank Gemari untuk mendapatkan izin sebagai bank kliring dan bank devisa, merilis BCA Card (kartu kredit pertama di Indonesia), membeli saham Union Planters dan bersama-sama membuka perusahaan keuangan di Hongkong, membuka cabang di New York, dan lainnya.

Lima belas tahun bersama BCA dan berhasil menyukseskannya, Mochtar akhirnya mengundurkan diri pada 1991. BCA yang awalnya beraset Rp 998 juta telah dikembangkannya menjadi Rp 7,5 trilliun. Sekeluar dari BCA, Mochtar selanjutnya mendirikan bank sendiri bernama Lippo Bank. Meskipun berpisah, BCA dan Lippo Bank jalan seiring bersama dalam bisnis perbankan Indonesia.
Lippo Bank adalah cikal bakal dari bisnis Lippo Group yang besar. Saat ini mereka telah memiliki ragam bisnis di segala sektor: keuangan (Lippo Bank, Asuransi Lippo Life, dll.), properti (Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Sentul City, dll.), sekolah (Pelita Harapan, Dian Harapan, dll.), rumah sakit (Siloam Hospital), pemakaman (San Diego Hills), industri (Lippo Industrie) dan lainnya. Anak-anak Mochtar menjadi pewarisnya: Rosy Riady, Andrew Riady, Stephen Riady, dan James Riady.

BCA kini menjadi salah satu anak usaha dari Salim Group, milik Liem Sioe Liong (berganti nama menjadi Sudono Salim) dan anak-anaknya: Albert Salim, Andre Salim, Anthony Salim, dan Mira Salim. Salim Group juga mempunyai ragam usaha di segala sektor. Selain BCA, beberapa yang terkenal adalah Indofood (produsen Indomie), Bogasari (produsen terigu yang berafiliasi dengan Sari Roti), Indosiar (media televisi, tapi telah dijual), Indomaret (minimarket), Indomobil (dealer Suzuki), dan lainnya.

Bank Buana dan Panin Bank masih eksis sampai sekarang. Bank Buana telah dibeli oleh investor perbankan asal Singapura dan berubah nama menjadi Bank UOB. Panin Bank, meskipun tenggelam namanya di Jakarta, tapi mereka kokoh di kawasan Indonesia timur, kawasan tempat lahir leluhurnya Andi Gappa. Ony Gappa rahimahullah, keturunan Andi Gappa, adalah sosok yang membesarkan Panin Bank di Indonesia timur.

Demikianlah, Mochtar telah menjadi maestro bisnis perbankan di Indonesia, terkhusus bank-bak swasta. Terkait bisnis perbankan, Mochtar punya kalimat bijak, “Modal utama bisnis perbankan adalah kepercayaan yang tidak terbatas. Kualitas pelayanan harus dapat ditingkatkan setiap saat. Prinsip dan keyakinan inilah yang menentukan keberhasilan saya di dunia perbankan.”
Bisnis perbankan adalah jual-beli kepercayaan, bukan jual-beli uang!

Referensi: Buku Manusia Ide: Otobiografi, oleh Mochtar Riady.

Mengenal Bapak Bisnis Otomotif Indonesia

Om William (karya: Gabriella Pranatio)
Nasib Kiam Liong sama seperti kebanyakan orang Indonesia yang hidup di jaman prakemerdekaan: ditinggal mati ayah-ibu saat masih kanak-kanak lalu hidup serba kekurangan. Hal tersebut membuat lelaki kelahiran Majalengka, 20 Desember 1922, itu berpikir keras untuk bertahan hidup bersama adik-adiknya di tengah peliknya masalah ekonomi dan politik bangsa.

Kiam Liong yang kemudian berubah nama menjadi William Soeryadjaya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mulai berdagang. Dia berdagang apa saja yang bisa dijual: kertas, kain, sampai sembako. Dari perdagangan itu, jiwa pengusaha William tertempa.

Pada 20 Februari 1957, bersama adik dan seorang temannya, William membeli perusahaan kecil yang punya izin ekspor-impor di jalan Sabang, Jakarta. Perusahaan itu kemudian dinamainya Astra, terinspirasi dari nama Dewi Astrea dalam mitologi Yunani yang mampu terbang ke langit dan menjadi bintang.

Bisnis awal Astra adalah menjadi pengimpor dan perakit truk merek Chevrolet produksi General motors, Amerika Serikat. Bisnis itu diadakan William untuk mendukung program pemerintah yang ingin mengembangkan sektor sandang, pangan, dan pertanian, yang satu kebutuhan sektor tersebut adalah truk untuk distribusi.

‘Tak lama kemudian, pemerintah menggalakkan program untuk mengembangkan industri otomotif nasional dengan berusaha membenahi Gaya Motor, pabrik otomotif milik pemerintah warisan Belanda. William tertarik menjadi investor untuk itu. Uang pinjaman senilai USD 3 juta dollar dikucurkannya untuk membenahi pabrik Gaya Motor. Banyak yang kemudian geleng-geleng kepala atas keberanian William.

Keberanian dan nyali William diuji saat General Motors dan Nissan menolak menjadi mitra Astra. Tapi suami dari Lily Anwar dan ayah dari Edward, Edwin, Joyce, dan Judith itu tidak ciut, dia terus berusaha dan berdoa. Akhirnya, usaha William menemukan hasil ketika Toyota, pabrikan mobil Jepang, bersedia bekerja sama dengan Astra.

Roda bisnis industri otomotif Indonesia pun mulai bergerak. Toyota Astra berhasil sukses dipasaran melalui varian Toyota Kijang dan Hardtop. Produk tersebut tidak hanya dijual di Indonesia, tapi juga diekspor ke negara-negara tetangga. Astra, meskipun masih tergolong perusahaan kecil, kemudian sangat dihargai oleh orang Jepang karena keberhasilannya menyukseskan Toyota.

Kepercayaan orang Jepang itu terlihat dari keberhasilan William bekerja sama dengan perusahan-perusahaan otomotif Jepang lain: Daihatsu (pabrikan mobil) dan Honda Motor Corporation (pabrikan motor). Melalui tiga perusahaannya: Toyota Astra Motor, Astra Daihatsu Motor, dan Astra Honda Motor, Astra berhasil menjadi raja otomotif nasional sampai sekarang, yang mengurusi otomotif dari hulu (pabrik) sampai ke hilir (sales, service, dan sparepart).

Tidak hanya di sektor otomotif, Astra kemudian berkembang menjadi perusahaan international yang merambah semua sektor usaha: keuangan, alat berat, tambang, perkebunan, teknologi informasi, dan properti. Dan itu semua terwujud berkat tangan dingin William Soeryadjaya, lelaki yang wafat pada 2 April 2010 di Jakarta dengan mewariskan sebuah perusahaan kebanggan bangsa: Astra International.

“Profit adalah cara mencapai tujuan, bukan akhir tujuan. Seorang entrepeneur sejati tidak akan pernah menempatkan profit sebagai tujuan. Yang lebih penting itu bisnis harus mensejahterakan bangsa.” (William Soeryadjaya).

Referensi: Astra on Becoming Pride of Nation, oleh Yakub Liman; Wikipedia.

Selasa, 22 Mei 2018

Kronologi Tragedi Mei 1998: Demonstrasi, Kerusuhan, dan Turunnya Soeharto

Suasana kerusuhan di Jakarta, Mei 1998 (dok. google)
Pada Mei 1998, Indonesia menerima dampak buruk dari krisis ekonomi yang menerpa Asia. Inflasi terjadi, nilai rupiah naik tajam sampai Rp 16.000 per dollar, dan pengangguran meningkat. Ketidakpuasan pun terjadi di masyarakat. Mosi tidak percaya terhadap Pemerintahan Soeharto yang baru saja terpilih melalui Pemilu 1997 menyeruak. Demonstrasi menyerukan reformasi terjadi di mana-mana. Bagi demonstran, Pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagai rezim KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) harus diganti.  

Puncaknya, pada 12 Mei 1998, mahasiswa di seluruh Indonesia, terkhusus di Jakarta, sepakat melakukan aksi bersama. Militer membolehkannya dengan satu syarat: lakukan di dalam kampus! Namun ternyata, dalam demonstrasi di kampus Trisakti Jakarta, para mahasiswa memaksa keluar kampus. Mereka ingin berdemontrasi di depan Gedung MPR yang kebetulan dekat dengan kampus mereka. Dari jam 10 pagi hingga jam 05.00 sore, militer dan demonstran saling berhadap-hadapan di jalanan.

“Demonstrasi sudah keluar kampus dan terjadi martir. Ini tinggal tunggu waktu keadaan bahaya,” kata Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI kala itu, dalam wawancaranya kepada kanal televisi Trans7. Benar saja, militer dan demonstran kemudian terlibat baku dorong. 

Militer pun secara bertahap melakukan tindakan represif. Hingga akhirnya hujan peluru terjadi. Bermodal senjata laras panjang, militer melepaskan tembakan ke arah demonstran. Demonstran berhamburan, lari tunggang-langgang. Sebagian besar mahasiswa Trisakti lari masuk ke dalam kampus mereka dan bahkan menutup rapat pagar kampus. Pun mahasiswa sudah di dalam kampus, militer tetap melepaskan tembakan yang dibalas lemparan batu oleh mahasiswa.

Sangat disayangkan, dalam keadaan chaos tersebut, empat mahasiswa Trisakti terkena peluru tajam. Keempatnya tewas di tempat: Elang Mulia Lesmana, Hafhidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Jenazah keempatnya dievakuasi ke Rumah Sakit Sumber Waras. Keluarga dan puluhan teman mengiringi jenazah dengan tangisan dan bacaan ayat Al Qur’an.

*****

Menjelang pukul 12.00 malam, dr. Mun’im Idris (ahli forensik) datang ke RS Sumber Waras atas permintaan Idham Azis, Kasat Serse Polres Metro Jakarta Barat. Dr. Mun’im hendak melakukan pemeriksaan bedah mayat atas keempat mahasiswa korban penembakan. 

Awalnya, keinginan dr. Mun’im ditolak keluarga. Namun akhirnya, setelah hampir setengah jam negosiasi, dr. Mun’im melakukan bedah mayat dengan satu syarat: keluarga menyaksikannya langsung.

Kurang-lebih 90 menit, dr. Mun’im membedah jenazah keempat mahasiswa Trisakti tersebut. Dia menemukan luka tembak pada bagian mematikan di tubuh keempat korban: ada di dahi tembus ke kepala, di leher, di punggung, dan di dada. “Jelas tembakan yang dilepaskan militer bertujuan mematikan, bukan melumpuhkan,” tulis dr. Mun’im dalam bukunya Indonesia X-Files. Selain itu, dr. Mun’im juga berhasil mengamankan peluru dari tubuh korban.

Setelah proses bedah, kepada Pers dan mahasiswa yang sudah ramai berkumpul, dr. Mun’im membenarkan telah terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dengan menggunakan peluru tajam. Namun, dr. Mun’im tidak menjelaskan secara detil karena itu menjadi konsumsi penyidik ke depannya. Selanjutnya, dr. Mun’im meninggalkan RS Sumber Waras.

Dr. Mun’im ‘tak langsung pulang ke rumah. Dia menghadap Kapolda dulu, Irjen Pol. Hamami Nata, untuk mendiskusikan hasil pemeriksaannya. Kepada Kapolda, dr. Mun’im bilang, “Pak, ini proyektil yang saya dapatkan tertanam pada leher salah satu korban. Dua korban pelurunya menembus, sedangkan satunya lagi masih tertanam di daerah dada kiri dan saya tidak bisa mengeluarkannya.”

Mendengar penjelasan dr. Mun’im, Pak Hamami Nata menerawang. Dengan nada kecewa dia berkata, “Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi para pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya. Dari mana datangnya peluru ini?”

Sebelum bertemu dr. Mun’im, Pak Hamami Nata bersama Pangdam Jaya Sjafrie Sjamsoeddin telah bertemu Menhankam/Pangab Wiranto. Wiranto kemudian memerintahkan tiga hal: pertama, usut aparat pelaku penembakan; kedua, jelaskan kepada masyarakat secara detil perihal kejadian tersebut; ketiga, minta maaf kepada rakyat Indonesia atas kejadian tersebut.   

****

Tanggal 13 Mei 1998,  di luar kampus Trisakti, massa entah dari mana terkonsentrasi berkumpul. “Mereka memprovokasi untuk kita (mahasiswa) keluar. Tapi teman-teman sepakat untuk ditutup pintu gerbang. Dan yang pertama kali saya lihat adalah ada dari arah jembatan lima, arah perempatan Grogol, itu ada truk sampah tiba-tiba berhenti di lampu merah. Orang yang meyupir sama yangnaik dari truk itu pada turun terus membakar truk itu…”
 
“…Dan itulah pertama kali terjadinya kerusuhan. Diawali pembakaran mobil-mobil di sekitar Hotel Ciputra, Citra Land itu, terus menjalar ke arah Daan Mogot terus mengarah ke Kali Deres,” kata Julianto Hendro Cahyono, Ketua Senat Mahasiswa Trisakti, kepada Trans7.

Dan kerusuhan pun terjadi di Jakarta pada 13 mei 1998 sepanjang hari. Massa melakukan pembakaran, penjarahan, dan bahkan pemerkosaan terhadap objek-objek menarik yang ada didepannya. Faktor ekonomi sangat dominan dalam kerusuhan ini. Ratusan orang tewas dan luka-luka.

****

Tanggal 14 Mei 1998, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia dari perjalanannya di Kairo, Mesir. Dia kemudian memanggil pejabat-pejabat berwenang untuk menjelaskan secara lengkap perihal peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan kerusuhan massal yang terjadi. Presiden Soeharto juga membangun komunikasi dengan sejumlah tokoh masyarakat dan agama. 

Dalam perjalanannya, keadaan menjadi berat bagi Soeharto karena ternyata tokoh masyarakat dan agama tidak mendukungnya. Ditambah lagi 14 menteri kabinetnya seketika mengundurkan diri, seperti Ginanjar Kartasasmita dan Akbar Tanjung.

Di tanggal 21 Mei 1998, ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR tanpa tindakan represif dari militer. Beberapa mahasiswa bahkan bertindak anarkis. Akhirnya, karena tidak mampu lagi mengendalikan keadaan, Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden yang kemudian disambut gembira para mahasiswa. Sesuai aturan, Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie naik menjadi Presiden.