Senin, 03 Oktober 2016

Sepotong Surga di Jeneponto

Panorama Air Terjun Tamalulua dari Bukit Bossolo' (dok. pribadi)
Siapa sangka, di tengah kontur Jeneponto yang kering dan gersang, ada sepotong surga di sudutnya. Surga itu bernama Bukit Bossolo' dan Air Terjun Tamalulua.

Berjarak sekira 20 kilometer dari kota Jeneponto, kedua panorama alam itu bisa ditempuh dengan berkendaraan darat sekira setengah jam menuju Desa Rumbia. Akses jalan masuk cukup mulus, meskipun sempit.

Puncak Bukit Bossolo' (foto: Muhardi)
Pemerintah Kabupaten Jeneponto serius menjadikan keduanya sebagai objek wisata. Jalanan beton menuju Bukit Bossolo' telah dibangun. Tangga curam dari bahan beton juga sementara dibangun untuk akses menuju air terjun Tamalulua.

Pengunjung punya dua pilihan untuk menikmati panorama yang tersaji: pertama, jalan naik ke Bukit Bossolo' dan memandangi sajian pebukitan yang menghampar luas dengan air terjun Tamalulua di tengahnya. Kedua, jalan turun ke bawah dan melihat air terjun Tamalulua dari dekat.

Dalam menikmati panorama yang tersaji, pengunjung diharapkan berhati-hati. Belum lengkapnya pengaman bisa membuat pengunjung jatuh ke jurang yang cukup dalam dan terjal ke bawah.

Untuk sementara, kedua panorama itu dijual satu paket seharga Rp 5.000 per orang. Ke depannya, ketika fasilitas telah lengkap, mungkin harganya akan naik.

Saya (foto: Jusuf)
Papan bicara (dok. pribadi)
Arah menuju air terjun Tamalulua (dok. pribadi)
Air terjun Tamalulua (dok. pribadi)

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kerajaan Gowa (1593-1653): Islamisasi dan Dimulainya Perang Melawan Belanda

Lukisan Somba Opu (Foto: Tidak Diketahui)
Pada 1593, Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja ke-14, I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung. Selama memimpin, Karaeng Lakiung sangat terbuka terhadap ideologi-ideologi yang masuk dari luar, salah satunya ideologi Islam.

Di Kerajaan Gowa dan daerah sekitarnya, Islam dibawa oleh tiga ulama asal Minang, Sumatera, yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Patimmang. Islam yang mereka bawa pun akhirnya masuk juga ke Kerajaan Gowa.

Pada 1605, Kerajaan Gowa akhirnya menganut Islam sebagai agama mereka mengantikan animisme yang sebelumnya mereka anut. Kerajaan pun secara ideologi berubah menjadi Kesultanan. Karaeng Lakiung mengikrarkan diri masuk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin.

Kerajaan Gowa kemudian menyebarkan Islam ke daerah-daerah sekitarnya, termasuk ke kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasainya. Secara damai maupun melalui perang. Islam pun tersebar di hampir seluruh wilayah Sulawesi secara cepat.

----------
Sultan Alauddin diakui sebagai tokoh yang berjasa menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, terkhusus Makassar dan sekitarnya. Untuk menghargai jasa tersebut, nama Sultan Alauddin disematkan pada nama Universitas Islam Negeri di Makassar. Nama Sultan Alauddin juga disematkan menjadi nama jalan protokol di Makassar dimana kampus UIN berada.
----------

Selain berhasil menyebarkan Islam, Sultan Alauddin juga berhasil mempertahankan hegemoni Gowa sebagai kerajaan maritim dan pusat perdagangan. Kapal asing dari negara-negara eropa bersandar di dermaga Somba Opu untuk bertransaksi rempah-rempah. Pedaganag dari Portugis, Spanyol, dan Belanda bahkan bekerja sama khusus dengan Kerajaan Gowa.

Dalam perjalanannya, Belanda diliputi keserakahan. Dia ingin menguasai perdagangan rempah-rempah dunia. Hubungan dengan Kerajaan Gowa pun menjadi renggang dan bahkan berujung perang. Perang pertama Kerajaan Gowa dan Belanda pun meletus pertama kalinya pada 1630 di laut Maluku.

Perang melawan Belanda membuat Kerajaan Gowa banyak membangun benteng-benteng untuk pertahanan. Salah satunya membangun benteng berbentuk hewan penyu yang dinamai Benteng Penyu (Benteng Panyua) yang terletak di daerah ujung (tepi) laut yang banyak ditumbuhi pohon pandan. Letaknya tidak jauh dari Benteng Somba Opu. 

----------
Benteng Penyu diambil alih oleh Belanda (akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya) dan diubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Benteng itu masih ada sampai sekarang dan dijadikan tempat wisata oleh Pemerintah Kota Makassar.

Daerah ujung (tepi) laut yang banyak ditumbuhi pohon pandan memrakarsai penamaan Ujung Pandang di kemudian hari sebagai nama kota, selain Makassar.
----------

Selama 46 tahun berkuasa, Sultan Alauddin akhirnya wafat pada 1639 dan digantikan anaknya I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung bergelar Sultan Malikussaid. Pada era Sultan Malikussaid, perang melawan Belanda tetap berlangsung. Kerajaan Gowa bahkan bersatu dengan Kerajaan Ternate menyerang Belanda.

Selain itu, Kerajaan Gowa juga mengalami perkembangan sebagai Kerajaan Maritim. Apalagi Sultan Malikussaid memiliki Mangkubumi yang sangat hebat dalam bernegosiasi dan menguasai banyak bahasa, yaitu Karaeng Patingngalloang.

Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Selasa, 20 September 2016

Kerajaan Gowa (1510-1593): Berakhirnya Perang Saudara dan Abad Kejayaan

Benteng Somba Opu (foto: dok. pribadi)
Perang saudara antara Kerajaan Gowa dan Tallo yang berlangsung puluhan tahun berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa Kesembilan: Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi Tumapa'risi' Kallonna. Sang Raja berhasil melumpuhkan Kerajaan Tallo yang dirajai Karaeng Tunipasuruk Mangngayoang Berang dan membujuk mereka melebur bersatu.

Kerajaan Gowa-Tallo pun bersatu. Karaeng Mangngutungi diangkat sebagai Raja dan Karaeng Tunipasuruk difungsikan sebagai Mangkubumi (Perdana Menteri dalam istilah sekarang). Julukan sebagai Kerajaan Kembar pun disematkan atas persatuan keduanya.

Selain berhasil mempersatukan Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Mangnguntungi juga sukses membawa kerajaannya berjaya secara politik, sejahtera dalam sektor sosial-ekonomi, dan berpengaruh dalam hal kebudayaan dan sastra. Mari kita membahasnya satu-persatu:

Secara politik, Kerajaan Gowa berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya: Marusu, Pangkaje'ne, Sidenreng, Galesong, Polongbangkeng, dan lainnya. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut tidak dilumpuhkan, tapi tetap dibiarkan berjalan dengan syarat rutin menyetor upeti kepada Kerajaan Gowa.

Upeti dari kerajaan-kerajaan kecil tersebutlah yang dipakai Kerajaan Gowa untuk mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi di wilayahnya. Kerajaan Gowa tidak hanya mampu mengembangkan pertanian yang selama ini menghidupi rakyatnya, tapi juga berhasil beralih ke sektor maritim, kelautan.

Kapal-kapal dagang milik pelaut Gowa berseliwerang ke laut lepas menuju daerah-daerah luar. Mereka sampai ke India, Filipina, bahkan Australia. Kapal-kapal dagang milik negara-negara asing juga sering singgah ke wilayah Gowa untuk bertransaksi jual-beli hasil bumi: rempah-rempah, padi, dan lainnya.

Berkembangnya kehidupan politik, sosial, dan ekonomi  membuat Karaeng Mangnguntungi mengambil kebijakan penting: memindahkan ibu kota dan Istana Kerajaan dari Tamalate yang daerah pebukitan ke daerah maritim, pinggir pantai. Daerah tersebut kemudian dinamai Somba Opu, dua kata yang bersinonim dengan kata Raja.

Di Somba Opu (daerah Raja-Raja), dermaga didirikan untuk menjamu kapal-kapal asing. Benteng dari bahan tanah juga dibangun di sekeliling kompleks istana untuk memperkuat pertahanan. Kerajaan Gowa pun menjadi kerajaan maritim besar di Indonesia.

Yang menarik, Karaeng Mangnguntungi juga berhasil mengembangkan budaya dan sastra Kerajaan Gowa. Dia menunjuk Daeng Pamatte' untuk menciptakan huruf dan bahasa lalu kemudian melakukan pencatatan-pencatatan budaya, kejadian, dan apapun terkait Kerajaan Gowa. Maka terciptalah huruf lontarak dan karya tulis berbahasa lontarak.

Pada 1546, Karaeng Mangnguntungi mengalami sakit keras pada bagian lehernya. Makanya dia pun dijuluki Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (Raja yang sakit lehernya). Penyakit itu merenggut nyawa sang Raja.

Hingga akhir abad ke-15, ada empat raja yang menggantikan posisi Karaeng Mangnguntungi:

1. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung (1546-1565)
2. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data (1565)
3. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590)
4. I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bonto Langkasa (1590-1593)

Ke-4 Raja tersebut, terkhusus nama nomor 1 dan 3, keduanya berhasil melanjutkan kejayaan Kerajaan Gowa secara politik. Mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaan tidak hanya meliputi hampir seluruh pulau Sulawesi, tapi juga sampai ke pulau Kalimantan, Mataram, Maluku, dan bahkan sampai ke Asia Tenggara: Malaysia dan Filipina.

Keduanya juga memperkuat Benteng Somba Opu dengan merubah strukturnya dari bahan tanah ke bahan batu yang diambil dari daerah Marusu (Maros). Walhasil Benteng tersebut menjadi kuat dan bahkan masih bertahan sampai sekarang sebagai situs Kerajaan Gowa.

-----
Sejarah kejayaan maritim Kerajaan Gowa masih bisa dinikmati sekarang dengan berziarah ke kompleks Benteng Somba Opu yang terletak di jalan Abdul Kadir.
-----

Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Sabtu, 17 September 2016

Kerajaan Gowa (1445-1510): Terpecah Menjadi Dua Kerajaan

Kompleks Makam Raja Tallo (foto: Aroengbinang travelog)
Seabad lebih hidup dalam kedamaian, Kerajaan Gowa akhirnya mengalami konflik pada masa pemerintahan Raja keenam, Tunatangka Lopi. Konflik disebabkan karena dua putranya: Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero', sama-sama ingin mewarisi tahta ayahnya.

Untuk mencegah perselisihan, Raja Tunatangka Lopi membagi kerajaannya menjadi dua dengan membentuk satu kerajaan baru, yaitu Kerajaan Tallo. Batara Gowa menjadi Raja Gowa ketujuh dan Karaeng Loe ri Sero' menjadi Raja Tallo pertama.

Strategi Raja Tunatangka Lopi tidak berhasil. Perselisihan dua anaknya ternyata berlanjut ke persilihan antarkerajaan. Gowa dan Tallo dilanda perang saudara. 

Cucu Tunatangka Lopi yang mewarisi masing-masing kerajaan bahkan melanjutkan perang saudara: I Pakere' Tunijallo ri Passukki (Raja Gowa kedelapan) dan Same' ri Liukang Dg. Marewa (Raja Tallo kedua). Pertikaian berlangsung berpuluh-puluh tahun hingga awal abad ke-15.    

-----
Dari pembagian wilayah kota Makassar saat ini, bisa dianalisa bahwa Kerajaan Gowa menguasai wilayah selatan, timur, dan barat kota Makassar, sedangkan Kerajaan Tallo menguasai wilayah utara kota Makassar. Peninggalan Kerajaan Tallo yang paling otentik adalah Kompleks makam Raja Tallo yang terletak di utara Makassar, tepatnya di jalan Sultan Abdillah, Raja Tallo ketujuh dan yang pertama masuk Islam.
-----

Dirangkum dari pelbagai bacaan dan sumber informasi.

Kerajaan Gowa (1320-1445): Tumanurunga, Tamalate, dan Kedamaian

Duplikasi Istana Tamalate di kompleks Balla Lompoa (foto: Dungsieben)
Pada awal abad ke-13, sembilan kelompok (kaum) kecil bertikai. Mereka adalah kaum Samata, Sero’, Bisei, Kalling, Tombolo’, Lakiung, Parangparang, Agang Je’ne, dan Data. Pertikaian mereka akhirnya terselesaikan oleh seorang perempuan cantik bernama Tumanurunga yang bukan berasal dari kaum mereka.

Atas kesepakatan bersama di bawah perintah Tumanurunga, kesembilannya pun berdamai dan bahkan berhimpun menjadi satu (a’goari) dan kemudian mendirikan sebuah Kerajaan. Goari (perhimpunan) diyakini menjadi inspirasi lahirnya nama Kerajaan mereka, yaitu Gowa. Tumanurunga diangkat menjadi Raja Gowa (somba ri Gowa) pertama.

Tumanurunga dilantik sebagai Raja Gowa pertama di daerah perbukitan bernama Tamalate yang juga merupakan kampung halamannya. Kerajaan Gowa membangun istana di Tamalate dan menjadikannya sebagai ibukota dan pusat pemerintahan.

———-
Daerah Tamalate sekarang masih ada di kota Sungguminasa dan dijadikan sebagai kompleks makam Raja-Raja Gowa: Sultan Hasanuddin, Sultan Alauddin, dan lainnya. Jalan masuk menuju daerah itu dinamai jalan Pallantikang, yang berarti tempat pelantikan, untuk menandai sejarah pelantikan Raja Gowa pertama. Istana Tamalate sendiri dalam perjalanannya dipindahkan ke daerah Somba Opu (akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya). Kini, duplikasi Istana Tamalate telah dibangun oleh Pemkab Gowa di dalam kompleks Balla Lompoa.
———-

Kerajaan Gowa berjalan dalam kedamaian. Mereka hidup dan menghidupi rakyatnya dengan bersawah. Peninggalan sejarah di daerah Tamalate (kompleks makam Raja-Raja Gowa) membuktikan hal tersebut. Beberapa lesung batu ditemukan. Diyakini disitulah rakyat menumbuk padinya.

Raja Gowa Tumanurunga sendiri menikah dengan Karaeng Bayo. Pernikahan keduanya melahirkan keturunan bernama Tamasalangga Baraya yang kemudian menjadi Raja Gowa kedua.

Seabad lebih Kerajaan Gowa hidup dalam damai dan dipimpin bergantian oleh lima Raja. Berikut urutannya:

1. Tumanurunga (1320-1345)
2. Tamasalangga Baraya (1345-1370)
3. I Puang Loe Lembang (1370-1395)
4. I Tuniata Banri (1395-1420)
5. Karampang (1420-1445)
 
Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Jumat, 16 September 2016

Asal Usul Nama Gowa

Pintu gerbang Kab. Gowa (foto: Humas Pemkab Gowa)
'Tak ada referensi pasti tentang asal usul nama Gowa. Beberapa akademisi coba mengajinya. Salah satunya Prof. Mattulada (telah wafat), legenda Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Prof. Mattulada yakin nama Gowa berasal dari kata goari, yang berarti perhimpunan. Keyakinan itu didasarkan pada sejarah bahwa kerajaan Gowa sendiri merupakan perhimpunan dari kelompok-kelompok kecil yang sebelumnya bertikai, seperti Tombolo', Lakiung, Samata, dan lainnya (akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya). Kelompok-kelompok kecil itu dipersatukan oleh Tumanurung Bainea yang kemudian menjadi Raja Gowa pertama.

Andi Ijo Karaeng Lalolang (telah wafat) lain lagi. Raja Gowa ke-36 itu berpendapat bahwa nama Gowa berasal dari kata goa, yang berarti lubang. Andi Ijo meyakini bahwa di sebuah goa yang berada di daerah Tamalatelah asal muasal munculnya Tumanurung Bainea, Raja pertama Gowa. Maka kerajaannya pun dinamai Goa (Gowa).  

*Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Rabu, 13 Juli 2016

Mengenal Kampung Penyu di Selayar

Penangkaran Kampung Penyu
Di Pantai Tulang Kepulauan Selayar, kawanan Penyu sejak lama hidup bebas. Mereka eksis menjalankan fungsi alamiahnya: menjaga kesuburan laut, membantu pertumbuhan terumbu karang, dan menjaga kehidupan ikan-ikan sebagai stok makanan bagi manusia.

Namun keberadaan penyu-penyu itu ‘tak selamanya aman. Manusia ternyata menjadi predator utamanya. Dagingnya dimakan, sisiknya diolah menjadi komoditi bisnis, dan telurnya dijual. Hal ini, jika dibiarkan, tentu sangat berbahaya bagi ekosistem laut.

Pantai Tulang
Maka muncullah kesadaran dari warga sekitar dan pihak-pihak yang merasakan pentingnya eksistensi Penyu. Mereka pun membuat penangkaran penyu dengan tujuan melestarikannya. Nama penangkaran itu disepakati Kampung Penyu, singkatan dari Kerukunan Pemuda Pelindung Penyu.

Cara kerja mereka sederhana saja: membeli dan mengumpulkan telur-telur penyu dari warga, menaruhnya di dalam penangkaran, merawatnya hingga menetas, dan melepas penyu ke habitatnya jika waktunya sudah tepat.

Penyu-penyu yang ditangkar
Kawasan pantai Tulang dimana penangkaran berlokasi juga telah dibersihkan. Wisatawan pun secara bebas bisa mengunjungi penangkaran dan pantai untuk berekreasi. Pengelola telah menyiapkan gazebo-gazebo sebagai tempat kongkow-kongkow yang asyik.

Pantai dan laut ‘tak hanya untuk manusia dan kehidupannya. Ada juga kepentingan makhluk lain di sana.

Jalan masuk Kampung Penyu

*****

Kampung Penyu terletak di garis pantai Dusun Tulang, Desa Barugaia, Kec. Bontomanai, Kepulauan Selayar.

Upaya merintis lahirnya Kampung Penyu dimulai pada 2012 oleh kelompok penyelam Sileya Scuba Dive (SSD), warga, dan Kepala Dusun.

Upaya itu akhirnya membuahkan hasil. Pada 13 April 2014, Kampung Penyu diresmikan oleh Wakapolda Sulsel Brigjen Pol Drs. Ike Edwin, SH, MH.

Kini, Kampung Penyu menjadi lokasi wisata terbuka bagi warga Selayar dan turis lokal maupun internasional.

Pantai Tulang
Salurkan donasi Anda!

Senin, 16 Mei 2016

Catatan dari Bandung

Tulisan di dinding kota Bandung (dok. pribadi)
Bandung Sejuk?
Ketika mengunjungi Bandung pada liburan panjang kemarin, 'tak pernah sekali pun saya berkeringat. Udara Bandung memang sejuk. Maklum, kota metropolitan terbesar ke-4 Indonesia itu dikelilingi pegunungan.

Posisinya juga sekira 768 meter di atas permukaan laut. Ditambah lagi, Walikotanya yang arsitek itu sangat hobi membangun taman. Maka lengkaplah sudah.

Namun banyak yang bilang, Bandung 'tak sesejuk dulu. Saya bisa menebak penyebabnya: penduduk Bandung hampir 2 juta jiwa dengan tingkat kepadatan yang luar biasa.

Kepadatan Itu bisa saya rasakan saat mengunjungi Pasar Baru, alun-alun, dan Masjid Agung. Orang-orang menyemut seperti 'tak ada habisnya.

Alun-alun Bandung (dok. pribadi)
Pasar Baru (dok. pribadi)
'Tak Ada Ikan?
Sungguh, saya 'tak sanggup kalau cuma makan ayam, tahu, dan tempe. Bagi saya yang orang Makassar asli, ikan adalah kesyukuran.

Dan kesyukuran saya yang satu itu tidak mudah diwujudkan oleh Bandung. Jarak Bandung yang jauh dari nelayan dan pantai membuat ikan menjadi barang langka di kota Kembang itu.

Kota Belanja
Tapi harus saya akui, Bandung menang dalam urusan fesyien dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Kota kampung halaman Ariel itu pun dijuluki kota belanja dengan Mall, toko distro, dan Factory Outlet-nya yang tersebar.

Saya membeli tiga jaket dan dua baju. Total harganya cuma Rp 600 ribu. Sangat murah. Apalagi kalau dibandingkan dengan harga Makassar.

Floating Market dan Farm House
Selain berwisata belanja, saya juga berwisata alam. Ada dua tempat yang saya datangi: Floating Market dan Farm House di Lembang.

Kedua tempat itu hanyalah permainan konsep, desain interior, dan arsitektur. Mudah ditiru. Bagi yang hobi nongkrong, kedua tempat itu sangat terekomendasi. Juga untuk bermain anak-anak.


Farm House (dok. pribadi)
Floating Market (dok. pribadi)
Sampah dan Lalu Lintas
Ada dua hal yang menunjukkan betapa kita -orang Indonesia- seperti 'tak pernah sekolah: sampah dan lalu lintas. Dua hal itu juga terlihat di Bandung. Sampah berhamburan; lalu lintas semrawut.

Saat naik becak dari Pasar Baru ke Masjid Agung guna menunaikan sholat Jumat, becak dengan beraninya melawan arah jalan. Arghh... Semoga kita -orang Indonesia- diberi ketabahan menjalani kedua hal itu.

Masjid Agung (dok. pribadi)
Warisan Belanda (dok. pribadi)

Selasa, 03 Mei 2016

Terdampar di Kawasan Wisata Untia


Kampung Wisata Untia
Di luar dugaan, jalan Salodong yang gersang dengan bangunan gudang di kanan-kirinya ternyata menyimpan sedikit surga di ujungnya. Surga itu bernama Kawasan Wisata Untia. Ahad, 1 Mei 2016, kemarin, saya menikmatinya sambil bersepeda.

Sajian wisata apa yang ada di kawasan yang terletak di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanayya, Kota Makassar itu?
Pertama, suasana kampung nelayan yang asri. Rumah-rumah tertata rapi dengan pohon-pohon rimbun di halamannya. Ragam fasilitas umum juga terawat dengan baik: jalanan berpaving, tempat sampah, pos ronda, dan lainnya.

Masjid yang luas dan sekolah yang besar juga menjadi pertanda: Untia 'tak tertinggal meskipun jauh di pesisir sana.

Suasana jalan Kampung Wisata Untia
Tata jalan dan jembatan
Kedua, hutan mangrove yang subur. Di sepanjang garis pantai, tumbuh subur hutan mangrove. Indah menghampar, menjadi daya tarik wisata bagi siapa pun yang melihatnya.

'Tak heran jika International Fund for Agricultural Development (IFAD) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Makassar berani menggelontorkan dana untuk mambangun Kampung berpenduduk 2000-an jiwa itu.

Kayu-kayu hutan mangrove yang elastis
Keindahan hutan mangrove di garis pantai
Keindahan hutan Mangrove
Hutan Mangrove dan dermaga
Hutan Mangrove dan dermaga
Mangrove ku subur, anak cucuku makmur
Ketiga, dermaga mini. Di pantai, terdapat dermaga mini. Sangat asyik buat kongkow-kongkow sambil makan ikan bakar. Kita bisa memberi uang kepada penduduk untuk menyiapkannya. Tarifnya bisa dinegosiasi.

Dermaga itu juga menjadi tempat berlabuh perahu-perahu mini yang siap mengantar siapa pun Anda yang ingin pergi mancing di tengah laut, ingin ke pulau, dan atau sekadar ingin naik perahu menikmati laut.

Dermaga yang indah
Kakek bermain sama cucunya
Dermaga tempat kongkow-kongkow

Senin, 25 April 2016

Alam Tersibak di Desa Pucak

Rasanya kita warga kota Makassar 'tak perlu pergi jauh untuk menikmati suasana desa. Di pinggiran kota, banyak desa-desa yang menawarkan alam yang indah. Salah satunya Desa Pucak.

Desa Pucak terletak di Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros. Dapat ditempuh sekira 30 menit perjalanan dari kota Makassar dengan berkendaraan darat.

Ada tiga jalur kota menuju Desa Pucak: lewat jalan Hertasning Baru, lewat jalan Inspeksi PAM Antang, dan lewat jalan Paccerakkang Daya. Ketiga jalur itu akan bertemu pada satu titik, yaitu kantor Yon Zipur TNI.

Setelah kantor Yon Zipur, ada jalur pertigaan dengan batu berlogo Wirabuana di tengahnya: belok kiri menuju Bantimurung dan belok kanan ke Desa Pucak.

Apa yang menarik dari Desa Pucak? Pertama, jalanannya yang mulus beraspal, sunyi, dan menyejukkan. Pengendara pasti sangat menyukainya, apalagi pesepeda. Terlebih jalurnya cukup mengasyikkan: naik-turun, berkelok-kelok, dan menikung.

Jalanan menuju Desa Pucak
Kedua, alamnya sangat indah. Di kanan-kiri jalanan Desa Pucak, menghampar pebukitan yang rindang dan sawah-sawah yang menghijau. Sangat memanjakan mata dan dijamin mampu menghilangkan kepenatan yang didapatkan di kota.

Alam Desa Pucak
Ketiga, ada Bendungan Lekopancing. Bagi Anda yang suka menikmati gemuruh suara air, Bendungan lekopancing cocok untuk Anda. Apalagi pemandangan alam di sekeliling bendungan terhampar sempurna.

Bendungan Lekopancing
Keempat, villa berkolam renang. Di Desa Pucak terdapat villa milik keluarga H. Zainal Basri Palaguna, mantan Gubernur Sulawesi Selatan, yang berfasilitas kolam renang. Setiap akhir pekan, kolam renang itu cukup ramai dikunjungi kawula muda.

Berikut foto-foto keindahan alam Desa Pucak lainnya:

Alam seluas daun pisang
Sungai dan gunung
Sungai dan gunung
Indah, bukan?

Minggu, 24 April 2016

Terpesona Alam di Bendungan Lekopancing

Bendungan Lekopancing berlatar pegunungan
Kesunyian yang penulis rasa saat bersepeda mengarungi jalanan Desa Pucak akhirnya berujung pada suara gemuruh air. Suara itu berasal dari Bendungan Lekopancing.

Bendungan yang dikelola Dinas PU Kabupaten Maros itu berfungsi mengendalikan air sungai dari hulunya di hamparan pebukitan sana. PDAM dengar-dengar juga coba memanfaatkan sungai itu sebagai sumber air minum warga.      

Di sekeliling Bendungan, hamparan alam tersaji luar biasa indah. Gunung yang membisu, sungai yang mengalir tenang, dan pohon-pohon yang menyejukkan mata.

Pemandangan sisi kanan Bendungan
Pemandangan sisi kiri Bendungan
Bendungan Lekopancing

Sabtu, 26 Maret 2016

Kemilau Alam Dusun Baku

Jalanan Dusun Baku
Sepi dan menyejukkan. Begitulah jalanan Dusun Baku menyambutku. Pepohonan tampak kokoh. Arus air dari got besar mengalir pelan. Anak-anak berenang riang di atasnya; kencing dengan perasaan gembira. 

Sepeda kukayuh pelan-pelan. Mencoba menikmati keheningan yang begitu menyentuh perasaan. 'Tak ada keheningan seperti ini di Kota Maros. 'Tak ada keheningan seperti ini di Kota Makassar.

Jalanan sepi dan menyejukkan
Anak-anak berenang riang
Air mengalir pelan
Lama berjalan, tetiba suara gemerincing air memekakan telingaku. Itu sungai. Yah, itu sungai. Di balik pepohonan rindang dan hamparan sawah yang hijau, ada sungai besar.

Seketika, saya pun seperti Glass yang menemukan sungai besar dalam film The Revenant. Saya menikmati sungai yang entah apa namanya itu. Bersama sapi yang berbaring manja di tepinya. Bersama anak-anak yang bermain; berlarian ke sana ke mari.

Sepeda dan sapi
Sepeda Alam
Seperti Oase
Rayuan Pulau Kelapa
Dan apa yang menarik dari rasa cinta terhadap sesuatu itu? Ya, kerinduan untuk menemuinya kembali. Dan di saat saya beranjak meninggalkan Dusun Baku, sungguh saya memendam rasa rindu untuk memijaknya kembali.

*****

Dusun Baku adalah dusun yang terletak di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Boleh dikata, Dusun tersebut masuk dalam area daerah pinggiran kota Makassar. Sangat terekomendasi untuk pembaca yang hobi bersepeda, apalagi yang berdomisili di Kota Maros atau Kota Makassar.