Senin, 26 Desember 2011

Syech Yusuf Discovery, Bangunan 'Tak Bertuan

Syech Yusuf Discovery dari kejauhan
BANGUNAN itu tampak cantik dari jauh karena huruf berbahan fiber berdiri tegap bertuliskan Syech Yusuf Discovery. Di belakangnya tampak beberapa bangunan berkubah kerucut dengan bangunan inti di tengah yang didesain menyerupai passappu': tutup kepala suku Makassar. Kalau di Jeneponto disebut patonro'.

Suasana halaman dengan rumput yang meninggi
Ya, Syech Yusuf Discovery nama bangunan itu. Kalau dibahasa-Indonesiakan berarti Penemuan Syaikh Yusuf. Syaikh Yusuf adalah ulama besar Gowa yang gaungnya sampai ke Afrika. Apa penemuannya? Itu yang membingungkan. Bangunan itu dari segi nama menipu memang karena Syaikh Yusuf sama sekali tidak memiliki temuan. Dan faktanya, beliau adalah seorang ulama, bukan penemu.

Papan nama yang dicoret-coreti pengunjung
Papan nama yang terlepas
Kalau dimaksudkan nama itu adalah pengunjung bisa menemukan segala informasi tentang Syaikh Yusuf dari bangunan itu, ternyata juga tidak sama sekali. Di bangunan itu hanya didapati sepasang muda-mudi yang lagi pacaran, tembok bangunan yang terkelupas sana-sini, rumput-rumput di halaman bangunan yang sudah meninggi, dan ragam kesemrawutan lainnya. Informasi macam apa?

Rumput yang meninggi, tidak terawat
Bangunan itu sungguh 'tak bertuan. Tidak jelas model, filosofi, maksud, dan tujuan pembangunannya. Mungkin lebih cocok bangunan itu dijadikan tempat shooting film horor karena bangunannya yang tampak horor.

Sabtu, 17 Desember 2011

Pamanca' dan Tari Pa'deko

Dua pamanca melakukan tari pamanca'
Ada dua hiburan rakyat dalam helatan pernikahan kaum bangsawan (karaeng) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan: Pamanca' dan tari Pa'deko.

Pamanca' adalah adu silat antara dua atau sekelompok orang. Silat yang digunakan adalah silat tradisional. Pesilatnya menggunakan pakaian tradisional berupa sarung dan patonro (penutup kepala).

Tari pa'deko
Agar silat tampak lebih alami, sebelum bersilat, para pesilat meneguk dulu ballo' tala', minuman keras khas Jeneponto yang terbuat dari buah tala' (lontar).

Musik berirama dari gendang dan gong mengiringi sepanjang adu silat berlangsung.

Tari Pa'deko adalah tari menumbuk lesung padi dengan tongkat. Tari ini dilakukan oleh beberapa wanita lokal berpakaian tradisional baju bodo.

Sama seperti pamanca', tari pa'deko juga diringi irama dari gong dan gendang. Irama dari gong dan gendang seiring dengan bunyi tumbukan dari lesung padi.

Jumat, 09 Desember 2011

Wisma Kalla: Dinamis dan Hijau

WIsma Kalla
WISMA KALLA adalah gedung perkantoran milik kelompok usaha Kalla Group yang terletak di Jalan Dr. Sam Ratulangi No. 8 Makassar. Terdiri dari 15 lantai (minus lantai 13), menjadi yang tertinggi ketiga setelah Menara Bosowa dan Fajar Graha Pena.

Kalau diperhatikan secara seksama, gedung Wisma Kalla berbentuk perahu di atas ombak. Lantai 5 sampai 15 berbentuk trapesium yang melebar ke atas, sedangkan lantai 3 sampai basement berbentuk gelombang yang menggambarkan ombak.

Bentuk tersebut ingin menunjukkan betapa dinamisnya Kalla Group dalam menjalankan usahanya hingga pada 2012 nanti sudah mencapai umur 60 tahun. Bentuk yang juga tergambar pada logo Kalla Group yang terbaru.

Logo terbaru Kalla Group
HIJAU mendominasi warna gedung, menunjukkan bahwa Wisma Kalla ingin bersatu dengan alam. Pohon-pohon depan dan belakang gedung yang dibiarkan tetap tumbuh lebat turut menguatkan hal tersebut.

Interior dalam Wisma Kalla
Keberpihakan terhadap alam juga tampak pada tata ruangan dalam gedung. Sekat-sekat antarruang menggunakan kaca, sehingga cahaya matahari dari luar maksimal menyinari seluruh ruang. Pemakaian lampu listrik pun bisa diminimalisir.

Baubau, Kota Sejarah yang Multietnik

Benteng Wolio, Keratong
'TAK SALAH saya menyebut Baubau sebagai kota sejarah. Di kota yang sempit berbukit ini, bukti sejarah terpelihara. Benteng Wolio atau biasa disebut Keratong yang berdiri megah di puncak bukit kota Baubau adalah salah satu bukti sejarah yang paling menarik.

Benteng milik Kerajaan Buton itu cukup luas dan dibangun dengan material batu gunung yang sangat kokoh. Di sekitarnya berjajar rumah-rumah panggung milik penduduk yang juga masih keturunan dekat Kerajaan.

Di puncak atas Benteng terdapat gua kecil. Di gua itulah Aru Palakka, Raja Bone, bersembunyi dari pencarian pasukan Bontomarannu Kerajaan Gowa. Papan pengumuman dari besi berdiri di dekat gua dan menuliskan sejarah tersebut.

Dari puncak Benteng juga terlihat keadaan kota Baubau yang sangat padat. Dari kejauhan juga tampak Pulau Makassar, pulau yang menjadi tempat persinggahan pasukan Bontomarannu ketika mengejar Aru Palakka. Di pulau itu pula pasukan Bontomarannu dikepung pasukan Belanda sehingga banyak dari mereka yang mati dan tertangkap.

Suasana Kota Baubau dari atas Benteng Wolio, Keratong
'Tak salah juga saya menyebut Baubau kota multietnik. Di kota terbesar ketiga di Sulawesi Tenggara setelah Kendari dan Kolaka itu, hidup berdampingan ragam etnik. Ada suku asli Buton, Bugis, Tolaki (Kendari), Raha, dan pascakonflik Ambon, banyak juga orang Ambon yang menghuni kota ini; bahkan mereka diberikan kawasan tersendiri.

Rabu, 07 Desember 2011

Kolaka, Kota Tanpa Kesan

Kota Kolaka [foto: sultra.kemenag.go.id]
BUTUH naik mobil empat jam dari Kendari untuk menuju Kolaka. Jalanan yang dilalui pun sangat panjang dan berkelok, membelah pebukitan yang ditumbuhi pepohonan dan belukar lebat. Beberapa daerah kecil terlewati, termasuk lokalisasi prostitusi Kilo 12 yang memang berjarak sekira 12 kilometer sebelum Kolaka.

Melihat Kolaka, tidak ada yang istimewa. Bangunan, jalanan, tata ruang, semuanya kurang-lebih sama dengan kebanyakan daerah lainnya di Indonesia. Sebenarnya, pantai di kota ini cukup luas dan indah untuk dinikmati, tapi sayang belum tertata semisal Kendari Beach. Tepinya sangat kumuh.

Pantas saja pariwisata tidak berkembang di kota ini yang menyebabkan bisnis hotel juga tidak marak. Hotel terbaik saja tempat saya menginap tidak jauh beda dengan hotel terburuk di Kendari.

Berbeda dengan bisnis hotel, bisnis lainnya seperti restoran, cafe, beli-jual mobil, dan lainnya, cukup berkembang. Bahkan harga makanan di kota ini cukup mahal, semahal harga makanan di Makassar. Mungkin karena jarak Kolaka yang dekat dengan Pomala, daerah tambang milik PT Aneka Tambang. Kebiasaan pengawai Antam yang berlibur ke Kolaka dengan banyak uang menyebabkan harga-harga melambung tinggi.

Terakhir, saya sempat mengunjungi Kantor Bupati Kolaka yang dari depan bangunannya tampak cantik. Namun keadaan kontras terlihat saat saya masuk ke dalamnya: dinding antarruang hanya dilapisi tripleks-tripleks 'tak bercat; tata letak ruang juga sangat kumal, 'tak berestetika. Semoga segera direnovasi.

Intinya, tidak ada yang berkesan di Kolaka, itu saja! Mungkin juga karena saya cuma sebentar di kota itu dan belum sempat mengelilinginya lebih jauh.

Minggu, 27 November 2011

Kendari, Menuju Kota Maju

Kendari Beach
BANGUNAN di atas bukit itu tampak kumuh 'tak terawat. Kontras dengan pemandangan indah Kendari Beach di depannya. Bangunan itu, kata teman, milik pengusaha Tommy Winata. Rencananya mau dibangun hotel, tapi tidak jadi karena persoalan izin.

Lupakan bangunan yang merusak mata itu. Mari bicara tentang Kendari Beach di depannya, Sebuah pantai yang sekilas menyerupai keadaan Pantai Losari Makassar pada tahun 1990-an. Membentang panjang dan hanya dibatasi beton berbatu gunung di tepinya sebagai penahan hantaman air.

Pada malam hari, Kendari Beach sangat ramai. Puluhan cafe-cafe berjejer menawarkan makanan dan minuman ringan plus karaoke dengan layar besar. Pasangan muda-mudi juga tampak asyik berdua-duaan, menikmati kemesraan sambil melepas pandangan ke arah pantai. Sepanjang Kendari Beach keadaan gelap memang, 'tak ada lampu jalan yang merisihkan mereka yang dimabuk asmara.

Selain Kendari Beach, yang terkenal dari Kendari adalah nobul. Nobul bukan nama sebuah tempat, tapi singkatan dari no bulu atau tanpa bulu, sebutan bagi Pekerja Seks Komersial di Kendari yang menurut informasi berpenampilan mulus tanpa bulu.

Bisnis prostitusi memang selalu hidup di kota-kota, 'tak terkecuali Kendari. Sejalan dengan bisnis lain, seperti rumah makan, hotel, dealer kendaraan, mall, dan lainnya. Di Kendari, semua bisnis itu hidup.

Pagi hari, saat saya sedang menikmati secangkir kopi di sebuah hotel kecil di siku persimpangan lampu merah, saya membaca koran Kendari Pos, saudara kandung Kendari Ekspress yang keduanya memiliki hubungan afiliasi dengan Fajar (Jawa Pos) Group di Makassar.

Di koran itu saya membaca tulisan Dahlan Iskan perihal listrik. Intinya, Dahlan menulis bahwa ketersediaan listrik di Kendari dan Sulawesi Tenggara aman-aman saja dan diupayakan tidak ada lagi pemadaman bergilir. Dahlan juga menulis harapannya bahwa Kendari akan menjadi kota maju 10 tahun mendatang.

Lejja, Wisata Permandian di Tengah Hutan

Suasana asri di Lejja'
LEJJA' terletak di kecamatan Marioriawa, sekira 30 kilometer jaraknya dari Watansoppeng, ibukota Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.

Lejja', bukan kata dari bahasa India, tapi kata dari bahasa Bugis yang berarti ‘pijak’. Merupakan nama sebuah tempat wisata permandian di tengah hutan dengan pohon-pohon yang tumbuh besar, lebat, dan ragam jenis: jati, palem, putat, dan lainnya.

Aliran air panas di sungai di antara pepohonan
Hutannya bukan sembarang hutan, tapi hutan yang dilindungi oleh pemerintah. Pelbagai peringatan dipasang, salah satunya berbunyi: Satu Batang Korek Api Dapat Memusnahkan Ribuan Pohon. Biaya Rp 1.500 per orang juga dipungut untuk biaya pemeliharaan hutan.

Peringatan untuk melestarikan pohon
Untuk berenang, pengunjung disediakan tiga kolam, satu untuk anak-anak dan dua untuk dewasa. Airnya bersumber dari mata air alami pegunungan yang mengalir terus-menerus, ‘tak pernah berhenti. Yang unik dari air itu adalah suhunya yang panas. Saking panasnya, kata orang-orang, telur bisa masak jika ditaruh di atasnya.

Kolam renang di Lejja'
Mata air panas dari pegunungan
Tiket masuk Lejja per 2011 hanya Rp 5.000 untuk orang dewasa dan Rp 2.500 untuk anak-anak. Fasilitasnya cukup lengkap: musholla, ban untuk berenang, tikar untuk duduk-duduk santai, toilet, tempat penginapan, dan ruang meeting. Kalau lapar, jajaran pedagang kaki lima siap melayani.

Lejja, dengan hutan alami dan mata air panasnya, merupakan tempat wisata permandian andalan Sulawesi Selatan.

Sabtu, 26 November 2011

Segesegeri, Desa Lumbung Padi di Kabupaten Maros

Sawah di Segesegeri
SEGESEGERI adalah desa lumbung padi di Sulawesi Selatan. Letaknya sekira tiga kilometer dari jalanan poros Bantimurung di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Warga Segesegeri hidup dalam kesederhanaan. Para suami bertani di sawah, istri-istri menjahit di rumah, dan anak-anak bersekolah di kota.

Di Segesegeri, sawah olahan memang cukup luas, sejauh mata memandang. Mendominasi hampir separuh wilayah desa. Selebihnya, berdiri rumah-rumah panggung milik warga. Sawah dan rumah warga dibelah oleh jalanan bermaterial tanah dan batu-batu kecil. Kalau hujan, jalanan itu beceknya luar biasa.
Rumah penduduk di Segesegeri
Di belakang rumah warga, jajaran pohon tumbuh subur di atas bukit yang membentang jauh entah sampai di mana. Terlihat dari kejauhan, sebagian bukit telah hancur dieksploitasi PT Semen Bosowa, perusahaan semen milik pengusaha Aksa Mahmud yang bekerjasama dengan investor asing dari Korea Selatan.

Pattontongan, Daerah Pesisir Pantai di Kabupaten Jeneponto

Pantai di Pattontongan
MENAPAKI jalanan masuk Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, bukit tandus menyambut dengan kebisuannya. Pohon-pohon tumbuh sendiri-sendiri dengan jarak renggang, saling berjauhan. Jeneponto daerah kering memang. Hujan jarang terjadi.

Selanjutnya, area tambak garam tradisional menghampar luas sejauh mata memandang di sisi kanan jalanan. Menjadi mata pencarian penduduk pesisir. Tampak pula dari kejauhan di belakangnya, tower pembangkit listrik milik PLN. Asapnya memerahkan langit.

Warung-warung kecil berjejer di kanan-kiri jalanan. Menjajakan garam kemasan dan minuman keras asli Jeneponto, ballo’ tala’, yang terbuat dari buah tala’. Satu-dua pengendara terlihat singgah dan menikmatinya.

Jeneponto adalah daerah kabupaten berluas sekira 750 km2, diapit oleh Kabupaten Takalar dan Kabupaten Bantaeng. Daerahnya terdiri dari daerah ketinggian, daerah sedang, dan daerah pesisir pantai.

Kami mengunjungi Pattontongan yang berada di daerah pesisir pantai. Dari jalanan poros Takalar-Jeneponto, kami berbebelok arah ke kanan di lampu merah yang sisinya ditumbuhi pohon beringin besar. Kami kemudian masuk ke dalam hingga sekira 6 kilometer.

Pattontongan betul-betul daerah pesisir pantai. Rumah-rumah penduduk berdiri berjajar hingga ‘tak menyisakan lagi ruang kosong di tepi pantai. Pohon kelapa tampak tumbuh di belakang dan di sela-sela rumah penduduk.

Penduduk Pattontongan menghidupi diri dengan ragam pekerjaan. Ada yang menjadi nelayan, tukang kebun, supir, birokrat, dan bahkan ada yang mengadu nasib jauh ke kota Makassar. Jarak Pattontongan ke Makassar sekira dua jam perjalanan dengan berkendaraan mobil. Kalau supirnya hebat, waktu satu jam sudah cukup.

Rabu, 16 November 2011

Sejarah di Kompleks Makam Arung Palakka

Pintu gerbang makam
BANGUNAN kompleks Makam Arung Palakka yang terletak di Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan, memiliki nuansa sejarah yang kuat. Itu terlihat dari material bangunan yang menggunakan bata jaman dulu. Tampak kuat dan tahan lama.

Ada tujuh bangunan kuburan besar dan 40 kuburan kecil di dalam kompleks. Semuanya memanjang dari utara ke selatan. Berumur puluhan tahun. Masih terjaga dengan baik.

Kuburan Arung Palakka, Raja Bone, bersama istrinya Imangkawani Daeng Talele menjadi yang terbesar. Berjejer dengan ukuran serupa di dalam sebuah bagunan kubus berkubah. Taburan bunga dan siraman air tampak di atasnya, pertanda banyak pengunjung yang menziarahinya, bahkan ada yang datang dari negara tetangga: Malaysia dan Singapura.

Bangunan kubus berisi kuburan Aru Palakka dan istrinya
Kuburan Aru Palakka dan istrinya Imangkawani Daeng Talele
Di belakang bangunan kubus, terdapat kuburan Karaeng Botolempangan, orang paling terpercaya di Kerajaan Gowa. Bentuk kuburannya kecil. Nama Botolempangan diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Makassar.

Kuburan Botolempangan
Di samping kuburan Botolempangan, berjajar dua kuburan besar dari barat ke timur yang sepintas bentuknya serupa. Kuburan sebelah kiri milik Sultan Ismail Karaeng Anak Moncongloe, laki-laki yang memecahkan rekor sebagai satu-satunya orang yang pernah memimpin tiga kerajaan, yaitu Gowa, Bone, dan Soppeng. Kuburan kedua milik Karaeng Pettabola, adik tiri dari Arung Palakka. Satu bapak tapi beda ibu.

Kuburan Karaeng Anak Moncongloe dan Karaeng Pettabola
Di sebelah kanan bangunan kubus, terdapat bangunan kuburan seorang Raja dari Manado. Entah siapa namanya. Penjaga makam juga ‘tak mengetahuinya.

Bangunan kubus berisi kuburan Raja Manado
Paling belakang kompleks makam, terdapat dua bangunan balok dengan kubah berbentuk kerucut. Di dalam dua bangunan itu berdiri makam milik Karaeng Patingalloang Imangadacina Dg. Sitaba bersama istri dan anak-anaknya.

Kuburan Karaeng Patingalloang, istri dan anak-anaknya
Sejarah harus dilestarikan
Selanjutnya, di halaman kompleks makam, sejauh mata memandang, terdapat kuburan-kuburan kecil. Pemilik kuburan itu adalah keturunan dan para pengikut Kerajaan Gowa.

Suasana di halaman kompleks makam

Wajah Baru Balla Lompoa

Rumah panggung dengan tangga bergaya eropa
BALLA Lompoa atau Rumah Besar adalah Istana Raja Gowa berbentuk rumah panggung yang terletak di jantung kota Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan.

Menurut catatan sejarah, Istana tersebut dibangun 75 tahun lalu, tepatnya tahun 1936. Dibangun dengan material utama kayu sappu' (kayu besi), dari tiang penyangga, dinding, lantai, hingga atap. Kepala kerbau yang tergantung di ujung atap menjadi penanda derajat kebangsawanan pemiliknya.

MENGUNJUNGI Istana Balla Lompoa sekarang sangat berbeda dengan dulu. 'Tak ada lagi pohon-pohon dan bunga-bunga yang tumbuh di halaman Istana. Semuanya berganti.

Halaman Balla Lompoa kini didesain elegan dengan bangunan tangga bergaya eropa. Huruf-huruf dari bahan fiber berdiri membentuk kata Balla Lompoa.

Rumah panggung yang merupakan bangunan inti juga telah diangkat dua meter ke atas. Dasarnya dibeton dengan material batu gunung.

Pemandangan Minus di Anjungan Pantai Losari

Sunset di Pantai Losari
INDAHNYA matahari terbenam di ufuk barat menjadi alasan bagi siapa pun untuk nongkrong di Anjungan Pantai Losari, Makassar, pada sore hari. 'Tak terkecuali penulis yang Jumat sore itu datang dengan harapan mendapat ketenangan dan pemandangan yang indah. Namun, ketenangan apa yang didapat jika hanya pemandangan minus yang terlihat.

Suasana Anjungan Pantai Losari
Setidaknya ada tiga pemandangan minus di Anjungan Pantai Losari: sampah yang betebaran di pantai, tegel anjungan yang pecah-pecah, dan pengaman besi di pinggir anjungan yang hilang entah ke mana.

Sampah yang menggenang
Dua turis asing sepertinya sepaham dengan saya perihal sampah. Tampak dari ekspresinya yang geleng-geleng kepala melihat tebaran sampah plastik yang menggenang di pantai. Padahal Pemerintah Kota Makassar, khususnya Dinas Kebersihan, sudah menyediakan banyak tempat sampah.

Tegel yang pecah
Perihal tegel yang pecah-pecah, sungguh sangat tidak sedap dipandang mata. Mengurangi kerapian lebih tepatnya. Entah apa penyebabnya, apakah karena memang konstruksinya yang lemah ataukah karena sudah terlalu banyak kaki yang menginjaknya.

Tiang pengaman yang hilang
Perihal besi pengaman pinggir anjungan yang hilang, itu juga sangat tidak sedap dipandang mata dan bisa membahayakan pengunjung, terutama anak-anak kecil.

Terlalu sinis menerka bahwa besi-besi itu digeregaji lalu diambil oleh penjual besi kiloan. Terlalu lucu juga mengira bahwa orang-orang yang pacaran di situ terlalu kuat berpegangan sehingga besi-besi itu terlepas.

Pemandangan yang betul-betul minus
Semoga saja pihak yang berwenang segera memerhatikan pemandangan minus yang tidak sedap dipandang mata tersebut, terlebih tahun ini masih dalam rangkaian Visit Makassar 2011 dan tahun depan memasuki Visit South Sulawesi 2012.

Selasa, 15 November 2011

Cerita-Cerita Perihal Gunung Bawakaraeng

Triangulasi
Berbagi waktu dengan alam...
Kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya...

[Gie - Erros & Okta]

BAWAKARAENG berarti mulut Tuhan dalam bahasa Makassar: bawa artinya mulut; karaeng artinya Tuhan. Merupakan nama sebuah gunung di Provinsi Sulawesi Selatan. Siapa yang memberinya nama dan apa latar belakangnya, entahlah, penulis tidak mendapatkan informasi tentang itu. Yang pasti, Bawakaraeng bukanlah mulut Tuhan dalam arti sesungguhnya.

Bawakaraeng merupakan gunung jenis basah yang terdiri dari jajaran gunung dengan kontur berkelok. Sejauh mata memandang, permukaannya didominasi pepohonan lebat bewarna hijau. Sangat indah dipandangi dari kejauhan. Gunung dengan puncak tertinggi berukuran sekira 2.700 meter dari permukaan laut. Tanda ketinggian (triangulasi) di puncaknya, berupa bangunan batu menyerupai nisan kuburan, menjadi penanda.

Banyak jalur untuk menuju puncak Bawakaraeng, diantaranya kampung Tassoso' di Sinjai, kampung Kanreapiyya di Malakaji dan yang paling terkenal dan umum dilalui para pendaki adalah kampung Lembanna di Malino. Dari jalur kampung Lembanna, pendaki harus melalui 10 pos jalur pendakian dan dua gunung untuk sampai ke puncak tertinggi.

Pos berarti tempat persinggahan, baik untuk beristirahat atau pun bermalam. Biasanya pos ditentukan karena terdapat mata air di dekatnya. Dua gunung berarti pendaki harus berjalan naik dulu, lalu turun, lalu naik lagi sampai ke puncak tertinggi.

Jajaran gunung-gunung dengan pepohonan lebat dan hijau
PAGI sekira pukul 07.00, kami memulai pendakian menuju puncak Bawakaraeng melalui jalur kampung Lembanna. Tujuan kami adalah meliput keindahan alam Bawakaraeng dan sholat Idul Adha plus ritual sesajian yang akan dilaksanakan besok oleh warga di puncak Bawakaraeng.

Kegiatan warga di puncak Bawakaraeng mendapatkan pengawasan khusus dari tim Search And Rescue (SAR). Hal itu dikarenakan keselamatan warga yang sangat rentang akibat perlengkapan dan peralatan yang mereka miliki sangat minim untuk berlindung dari suhu dingin dan cuaca ekstrim gunung. Menurut cerita Tata' Rasyid, penjaga dan penolong Bawakaraeng, kejadian terparah pernah terjadi pada 1986 dimana 14 warga meninggal dunia.     

DALAM pendakian awal, kami dihibur oleh pemandangan kebun-kebun milik penduduk yang membentang luas. Ragam tanaman tumbuh dan meliuk-liuk di kebun-kebun itu: kankung, kol, wortel dan lainnya. Saat panen, tumbuh-tumbuhan itu dibawa ke pasar-pasar di pelbagai daerah untuk dijual. Sebagian besar penduduk Lembanna memang menyandarkan hidupnya dari berkebun.

Di sisi kebun, terdapat bak penampungan air untuk irigasi kebun. Airnya berasal dari mata air Bawakaraeng. Rasanya sangat enak dan menyegarkan. Tidak kalah dengan rasa air minum kemasan paling terkenal di negeri ini. Kami pun menampung air itu ke dalam beberapa botol sebagai bekal pendakian. Mata air Bawakaraeng memang memberikan pasokan air ke beberapa daerah: Makassar, Gowa, Sinjai, Takalar dan lainnya. 

Selepas melalui hamparan kebun, jalur mulai menanjak. Di lereng gunung, pohon-pohon pinus tersenyum menyambut kami. Batangnya menjulang tinggi, daunnya khas mengerucut ke atas. Pohon pinus memang menjadi ciri khas lereng gunung basah di Indonesia. Di sela-sela jajaran batang pohon pinus itu, tumbuh semak-semak dan ilalang yang seperti tersipu malu melihat kami.

Jajaran pohon pinus
Jalur menuju pos 1 dan pos 2 tidaklah terlalu terjal, kami pun bisa berjalan dengan normal. Material jalur didominasi tanah merah dan batu-batu kecil. Hujan yang turun semalam membuatnya becek dan licin, kalau tidak hati-hati bisa terpelesat.

Sepanjang perjalanan, pohon-pohon ragam jenis menampakkan kemegahannya. Batangnya berdiameter besar, daunnya rimbun menghias langit. Di batang salah satu pohon terpaku papan himbauan yang dibuat oleh WP Alam Nusantara bertuliskan: AKU MASIH INGIN HIDUP 1000 TAHUN LAGI. Himbauan yang menyerukan kepada setiap pendaki untuk menjaga kelestarian pohon. Semoga!

Oksigen segar yang dihasilkan pohon-pohon itu sangat berkualitas. Tidak mungkin kami menghirupnya di kota Makassar yang udaranya penuh polusi dan debu. Jadi sangat wajar jika kelestarian pohon-pohon itu perlu dijaga. Namun sangat disayangkan, sebagian penduduk mengacuhkan himbauan itu. Mereka membuka lahan perkebunan dengan membabat pohon-pohon di lereng Bawakaraeng dengan menebang dan membakarnya. Kami mendapatkan pemandangan itu dalam perjalanan, sangat ironis.

Setelah berjalan sekira satu jam, kami tiba di pos 2. Pos ini berupa dataran kecil yang dikelilingi semak-semak dan batu-batu gunung berukuran sedang. Bekas perapian tampak ditengah-tengahnya, pertanda para pendaki sering berkunjung di pos ini. Kami juga memutuskan untuk singgah di pos ini untuk sarapan pagi. Secangkir kopi dan roti menjadi menu sarapan kami. Hmm...nikmat!

Sarapan pagi di pos 2
Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Selanjutnya di hadapan kami, ada tiga jalur pendakian: jalur kanan adalah jalur menuju Ramma (lembah Bawakaraeng), jalur tengah adalah jalur lama menuju pos 3 yang ditutup karena banyaknya pohon bertumbangan diterjang badai, dan jalur kiri adalah jalur baru menuju pos 3. Kami memilih untuk melalui jalur kiri.

Jalur menuju pos 3 cukup rumit. Semak-semak yang menggumpal di kanan-kiri jalur sangat menyulitkan kami. Sebagian semak-semak itu merambat masuk ke dalam jalur, kami pun harus menggunakan tangan untuk menyingkirkannya karena sangat berbahaya jika mengenai mata.

Selain itu, bentuk semak-semak yang serupa juga membuat kami tidak bisa membedakan jalur karena bentuknya yang hampir sama. Sesekali kami pun salah arah dan tersesat. Beruntung ada tanda jalur yang menuntun kami. Tanda jalur berupa tali plastik (tali rapiah dalam bahasa Makassar) yang diikatkan di ranting pohon, biasa pula diikatkan bersama pembungkus rokok dan sabun.

Keluar dari jalur semak-semak, kami tiba di sebuah daerah terbuka. Dari jauh, kami melihat sebuah pohon besar yang termenung sendiri. Batangnya besar bercabang tanpa ditumbuhi sehelai daun pun. Bentuk pohon itu anker seanker cerita di baliknya. Di pohon itulah, sekira 1980-an, seorang pendaki perempuan bernama Noni menggantung dirinya. Tata Rasyid, penjaga Bawakaraeng, menjelaskan penyebabnya: "Begitulah kalau perempuan sudah dirusaki (diambil kehormatannya) lalu dibelakangi (diacuhkan)."

Selepas kejadian itu, banyak hal-hal mistis terjadi di pos 3, itu menurut cerita dan kesaksian dari beberapa pendaki. Hal-hal mistis itu seperti tiba-tiba hujan, tiba-tiba angin kencang, ruh Noni muncul dan lainnya. Karena hal-hal mistis itu, para pendaki enggan singgah di pos 3 apalagi mengambil gambarnya, termasuk kami, meskipun penulis pribadi tidak percaya dengan hal-hal mistis itu.

Kami melanjutkan perjalanan menuju pos 4 dan pos 5. Jalur kali ini ditumbuhi pohon-pohon besar beragam jenis yang batangnya diselimuti lumut tebal. "Seperti hutannya Harry Potter," kata teman. Sebagian batang dari pohon-pohon itu rebah dan menutupi jalur. Kami pun harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melaluinya. Itu membuat kami sesekali singgah untuk sejenak beristirahat melepas dahaga dengan meminum air gunung yang kami ambil di bak air irigasi kebun tadi.        

Di jalur menuju pos 5, kami juga sesekali mendapatkan momen untuk melihat Ramma di bawah. Sangat indah! Cahaya matahari yang masuk di sela-sela daun juga memberikan pemandangan yang sangat menarik. Seorang teman memanfaatkannya untuk berjemur. Kata teman itu, cahaya matahari bisa menambah tenaga.

Sekira pukul 12.00 siang, kami akhirnya tiba di pos 5. Dua rebahan batang pohon yang saling memalang menjadi penandanya. Pos 5 berupa dataran luas yang ditumbuhi rumput dan ilalang. Pos ini wajib disinggahi oleh para pendaki untuk beristirahat, salat maupun bermalam. Adanya mata air di sisi kirinya menjadi alasan utama. Kami pun singgah di pos ini untuk makan siang. Nasi kecap plus ikan kering goreng menjadi menu makan siang kami. Sangat nikmat!

Setelah beristirahat sekira satu jam, kami melanjutkan perjalanan. Jalur menuju pos 6 yang kami lalui selanjutnya menghadirkan suasana yang mengenaskan. Puluhan pohon tumbang karena badai dan hangus karena terbakar di jalur ini. Beberapa pendaki menjadi korbannya. Terakhir, dua mahasiswa Geologi Universitas Hasanuddin Makassar, Iccang dan Awy, meninggal dunia karena 'tak tahan melawan badai. Penulis mendapati pusara Awy, kemungkinan di posisi pusara itulah tubuh Awy ditemukan 'tak bernyawa.

Suasana jalur menuju pos 6


Jalur menuju pos 6 yang gersang
Batu-batu gunung berukuran raksasa juga berserakan di sepanjang jalur naik menuju pos 6. Saya membatin bagaimana kalau batu-batu itu menggelinding turun dan menerpa tubuh kami. Syukurlah itu tidak terjadi. Kabut putih yang tebal di pos ini juga sesekali membuat kami singgah karena penglihatan yang terbatas untuk berjalan.

Suasana kontras kami temukan ketika melalui jalur menuju pos 7. Kalau jalur menuju pos 6 tadi sangat gersang, jalur menuju pos 7 justru sangat subur. Ragam pohon tumbuh di situ. Ranting dari pohon-pohon itu sangat bermanfaat bagi kami sebagai pegangan untuk melalui jalur yang sangat terjal ke atas. Cukup melelahkan!

Segala kelelahan yang kami alami dalam perjalanan menuju pos 7 berganti kepuasan dan kebahagiaan saat tiba di pos 7 yang juga merupakan puncak pertama dari dua gunung yang kami daki. Di pos 7 ini, kami bisa menikmati mahakarya keindahan alam yang luar biasa. Jajaran gunung hijau dengan awan putih yang menghiasi. Luar biasa! Kami menikmati keindahan alam itu dengan sebotol minuman soda dan kacang telur. Puncak pos 7 berukuran sekira 2.560 dari permukaan laut.

Tumpukan batu gunung berukuran besar menjadi penanda pos 7. Menurut informasi, tumpukan batu itu merupakan makam dari seorang pembesar, entah siapa nama dan dari mana asalnya. Para warga sering melakukan ritual sesajian di tumpukan batu itu. Kami menemukan sesajian dalam bentuk telur yang telah dipecahkan di sela-sela batu.


Jajaran gunung hijau berselimut awan putih

Tumpukan batu gunung dan pemandangan alam yang luar biasa
Lama menikmati keindahan alam di pos 7, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami melalui jalur penurunan menuju pos 8. Para pendaki menyebutnya jalur naga karena sangat panjang dan berkelok. Sesekali kami mendapati jalur curam yang kami harus lalui dengan memanjat. Jalur naga ini menggantikan jalur lama karena pos 8 lama habis tertimbun longsor yang terjadi 2004 silam.

Dalam perjalanan, kami pun melihat bukit yang longsor 2004 silam itu. Bentuknya seperti gunungan es krim yang menganga karena telah digigit. Tata Rasyid mengatakan bahwa longsor terjadi karena keserakahan penduduk yang membuka lahan untuk perkebunan. Akibat dari longsor itu, menurut informasi, puluhan rumah penduduk di lembah Bawakaraeng tertimbun.   

Bukit yang longsor 2004 silam
Sekira pukul 08.00 malam, kami tiba di pos 8. Kami segera mendirikan tenda untuk bermalam dan berlindung dari rasa dingin yang semakin menyengat. Pos 8 adalah sebuah daerah di dasar lembah yang diapit oleh dua bukit. Di tengah dua bukit itu terdapat sumber air bernama Telaga Bidadari. Air dari telaga itu tersisa sangat sedikit, kotor dan bewarna cokelat.

Rasa lelah menempuh jalur naga menuju pos 8 membuat kami lapar. Nasi dan mie instan hangat menjadi menu makan malam kami. Setelah makan, kami lalu terlelap kelelahan.

PAGI hari kedua kami mendaki. Matahari tampak kembali bersinar cerah. Suara desiran angin yang menggoyang daun di pepohonan riang beriringan dengan suara lalat-lalat gunung yang riuh bergemuruh. Pagi yang cukup indah ditambah secangkir minuman sereal yang menyegarkan.

Pagi ini juga bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Seluruh umat Islam melakukan sholat Idul Adha di tempat terbuka, 'tak terkecuali beberapa umat Islam yang melakukannya di puncak Bawakaraeng. Selain sholat, para warga itu juga melakukan ritual sesajian. Ragam sesajian mereka bawa, diantaranya gula merah, beras, telur, lilin dan lainnya.Tata Rasyid menjelaskan perihal sesajian itu, "Gula merah untuk merasakan manisnya dunia, kelapa untuk merasakan nikmatnya dunia, lilin untuk merasakan terangnya dunia."

Banyak pendapat yang beredar bahwa para warga melakukan ibadah haji di puncak Bawakaraeng, namun pendapat itu dibantah keras oleh Tata Rasyid: "Warga itu naik untuk lebaran haji, bukan ibadah haji. Tidak ada sejarahnya ibadah haji di Bawakaraeng. Ibadah haji itu di tanah Mekkah."

Sekira pukul 09.00, kami memulai pendakian menuju pos 9 dan pos 10 yang juga merupakan puncak tertinggi sekaligus puncak gunung kedua yang kami daki. Selama perjalanan, keadaan cukup menyegarkan karena banyaknya pohon ragam jenis yang memberikan kesejukan, seperti pohon tambara, pohon strawbery, pohon paku, bunga edelweis dan lainnya. Ranting dari pohon-pohon itu juga sangat bermanfaat sebagai pegangan bagi kami melalui jalur yang memang sangat terjal ke atas.

Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan gerombolan warga yang baru turun dari puncak Bawakaraeng. Jumlah mereka sekira belasan orang. Warga yang berasal dari daerah Sapayya Gowa itu terlihat membawa bekal dan perlengkapan seadanya. Dengan bekal dan perlengkapan seadanya, mereka menginap semalam di puncak Bawakaraeng.   

Suasana Pos 9
Jalur menuju pos 9 yang ditumbuhi Bunga Edelweis
Kami terus berjalan, puncak sudah terlihat dari kejauhan. Samar diselimuti kabut tipis yang berhamburan tertiup angin gunung. Sebelum sampai di puncak tertinggi, kami menyempatkan singgah di sebuah dataran. Rumput di dataran itu yang merapat ke tanah membuat kami menduga bahwa disinilah warga tidur semalam.

Tidak jauh dari dataran itu, terdapat sumur yang airnya cokelat. Sumur itu menjadi satu-satunya sumber air bagi para warga untuk minum. Meskipun air sumur itu warnanya cokelat, tapi rasanya cukup enak dan menyegarkan.

Sekira pukul 11.00 siang kami akhirnya berpijak di pos 10 sekaligus puncak tertinggi Bawakaraeng berukuran 2.700 meter dari permukaan laut. Pos 10 berupa bukit kecil yang gersang dimana sekelilingnya bewarna hitam karena hangus terbakar. Asap bekas kebakaran terlihat masih menggumpal.

Di sekeliling bukit itu, terhampar gunung-gunung gersang yang diselimuti kabut tipis. Kami sejenak menikmatinya, sebuah keadaan alam yang luar biasa.


Menikmati gunung dari pos 10 yang gersang
Triangulasi, tanda ketinggian di puncak
Setelah puas menikmati keadaan alam di pos 10, kami kembali. Dari puncak Bawakaraeng, kami butuh waktu sekira delapan jam untuk kembali ke kampung Lembanna. Jalur penurunan memang terasa lebih cepat dibandingkan jalur pendakian, entah apa penyebabnya. Kami tiba di Lembanna sekira pukul 09.00 malam.