Rabu, 23 Mei 2018

Mengenal Bapak Bisnis Otomotif Indonesia

Om William (karya: Gabriella Pranatio)
Nasib Kiam Liong sama seperti kebanyakan orang Indonesia yang hidup di jaman prakemerdekaan: ditinggal mati ayah-ibu saat masih kanak-kanak lalu hidup serba kekurangan. Hal tersebut membuat lelaki kelahiran Majalengka, 20 Desember 1922, itu berpikir keras untuk bertahan hidup bersama adik-adiknya di tengah peliknya masalah ekonomi dan politik bangsa.

Kiam Liong yang kemudian berubah nama menjadi William Soeryadjaya memutuskan untuk berhenti sekolah dan mulai berdagang. Dia berdagang apa saja yang bisa dijual: kertas, kain, sampai sembako. Dari perdagangan itu, jiwa pengusaha William tertempa.

Pada 20 Februari 1957, bersama adik dan seorang temannya, William membeli perusahaan kecil yang punya izin ekspor-impor di jalan Sabang, Jakarta. Perusahaan itu kemudian dinamainya Astra, terinspirasi dari nama Dewi Astrea dalam mitologi Yunani yang mampu terbang ke langit dan menjadi bintang.

Bisnis awal Astra adalah menjadi pengimpor dan perakit truk merek Chevrolet produksi General motors, Amerika Serikat. Bisnis itu diadakan William untuk mendukung program pemerintah yang ingin mengembangkan sektor sandang, pangan, dan pertanian, yang satu kebutuhan sektor tersebut adalah truk untuk distribusi.

‘Tak lama kemudian, pemerintah menggalakkan program untuk mengembangkan industri otomotif nasional dengan berusaha membenahi Gaya Motor, pabrik otomotif milik pemerintah warisan Belanda. William tertarik menjadi investor untuk itu. Uang pinjaman senilai USD 3 juta dollar dikucurkannya untuk membenahi pabrik Gaya Motor. Banyak yang kemudian geleng-geleng kepala atas keberanian William.

Keberanian dan nyali William diuji saat General Motors dan Nissan menolak menjadi mitra Astra. Tapi suami dari Lily Anwar dan ayah dari Edward, Edwin, Joyce, dan Judith itu tidak ciut, dia terus berusaha dan berdoa. Akhirnya, usaha William menemukan hasil ketika Toyota, pabrikan mobil Jepang, bersedia bekerja sama dengan Astra.

Roda bisnis industri otomotif Indonesia pun mulai bergerak. Toyota Astra berhasil sukses dipasaran melalui varian Toyota Kijang dan Hardtop. Produk tersebut tidak hanya dijual di Indonesia, tapi juga diekspor ke negara-negara tetangga. Astra, meskipun masih tergolong perusahaan kecil, kemudian sangat dihargai oleh orang Jepang karena keberhasilannya menyukseskan Toyota.

Kepercayaan orang Jepang itu terlihat dari keberhasilan William bekerja sama dengan perusahan-perusahaan otomotif Jepang lain: Daihatsu (pabrikan mobil) dan Honda Motor Corporation (pabrikan motor). Melalui tiga perusahaannya: Toyota Astra Motor, Astra Daihatsu Motor, dan Astra Honda Motor, Astra berhasil menjadi raja otomotif nasional sampai sekarang, yang mengurusi otomotif dari hulu (pabrik) sampai ke hilir (sales, service, dan sparepart).

Tidak hanya di sektor otomotif, Astra kemudian berkembang menjadi perusahaan international yang merambah semua sektor usaha: keuangan, alat berat, tambang, perkebunan, teknologi informasi, dan properti. Dan itu semua terwujud berkat tangan dingin William Soeryadjaya, lelaki yang wafat pada 2 April 2010 di Jakarta dengan mewariskan sebuah perusahaan kebanggan bangsa: Astra International.

“Profit adalah cara mencapai tujuan, bukan akhir tujuan. Seorang entrepeneur sejati tidak akan pernah menempatkan profit sebagai tujuan. Yang lebih penting itu bisnis harus mensejahterakan bangsa.” (William Soeryadjaya).

Referensi: Astra on Becoming Pride of Nation, oleh Yakub Liman; Wikipedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar