Minggu, 30 Desember 2012

Kehidupan John Lennon (1960 - 1970): Musik dan Keluarga

"Saya ini seorang seniman. Berikan saya tuba dan saya akan memanfaatkannya." (John Lennon)

Pada 1960, John Lennon memulai karir musik profesionalnya. Bersama Paul MacCartney dan George Harrison, dia mengguncang dunia musik melalui grup The Beatles. Ketiganya menjadi kombinasi yang sempurna. Tampan dan memesona. Belakangan, bergabungnya Ringgo Star menggantikan Pete Best semakin menyempurnakan semua.

The Beatles: George, John, Ringgo, dan Paul
The Beatles awalnya lahir sebagai band beraliran rock n' roll. Namun seiring perjalanan, musik band ini banyak bereksperimen. Kejeniusan personalnya, terkhusus John dan Paul, dalam meramu lagu dan ragam alat musik melahirkan banyak gaya musik yang unik: blues, country, balada, dan lainnnya. Musik The beatles pun dijuluki beraliran eksperimental dan diklaim oleh banyak musisi sebagai sumber dari segala jenis musik di dunia.

Kafe-kafe di Hamburg, Jerman, menjadi saksi awal eksistensi The Beatles. Dari situ, mereka mendapatkan banyak penggemar. Hingga pada 1962, The Beatles memperoleh kontrak dengan perusahaan rekaman EMI. Hal yang membuat mereka pulang kampung kembali ke Inggris dan mulai berkreasi di studio EMI's Abbey Road, London, Inggris.

Dalam perjalanannya, sejak 1962, lahirlah album-album The Beatles yang tersebar di Inggris, Amerika Serikat, dan seluruh dunia: Please Please Me, With The Beatles, Beatles For Sale, A Hard's Day Night, Rubber Soul, Help, Revolver, Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band, Magical Mystery Tour, White Album, Yellow Submarine, Abbey Road, dan Let It Be.

Lagu-lagu ciptaan John mendominasi album-album itu, selain juga lagu-lagu Paul. Lagu-lagu John sangat kuat dari sisi lirik karena beberapa menceritakan kehidupan masa lalunya. Menariknya, nada musik yang digunakan John pada lagunya terdengar nyeleneh, lompat-lompat 'tak berirama. John juga menggunakan ragam alat musik: harmonika, tuba, sitar, dan lainnya. Beberapa lagu John yang terdengar unik dan tidak ada duanya di dunia adalah Tomorow Never Knows, Fool on The Hill, Mother Nature Son, Julia, A Day in The Life, Strawberry Fields Forever, Penny Lane, Don't Let Me Down, dan lainnya. 

Cynthia, Julian, dan John
Pada 1962, John berkeluarga untuk pertama kali. Dari beberapa wanita yang disetubuhinya, dia memilih Cynthia Powell, teman kuliahnya di Liverpool College of Art, sebagai istrinya. Bukan tanpa alasan, Cynthia telah mengandung anak hasil hubungan intim mereka berdua. Anak itu akhirnya lahir dan diberi nama Julian Lennon.

Hubungan John dan Cynthia retak beberapa tahun kemudian. John ketahuan selingkuh dengan wanita Jepang bernama Yoko. Karena John lebih memilih Yoko, dia dengan Cynthia pun akhirnya bercerai pada 1968. Perceraian John dan Cynthia mendapat simpati dari Paul, terlebih terhadap anak mereka Julian yang masih kecil. Paul pun menciptakan lagu berjudul Hey Julian yang digubah menjadi Hey Jude untuk menghibur Cynthia dan Julian. Lagu itu merupakan satu dari banyak lagu The Beatles yang abadi.

John dan Yoko
Sementara itu, hubungan John dan Yoko terus berlangsung. Hubungan itu dititahkan John dalam sebuah lagu berjudul The Ballad of John and Yoko. Hubungan yang menurut perkiraan banyak pengamat musik menjadi salah satu penyebab bubarnya The Beatles pada 1970. "Saya membuat band ini dan saya membubarkannya. Ini sesederhana itu," kata John setelah The Beatles bubar.

Referensi dan foto: diambil dari pelbagai sumber.

Sabtu, 29 Desember 2012

Kehidupan John Lennon (Episode 1946 - 1960): Kehilangan dan Perpisahan

Mimi dan John Lennon
Pada 1946, setelah kedua orangtuanya berpisah, John Lennon kecil tinggal bersama paman dan bibinya: George Smith dan Mary Elizabeth Smith atau akrab disapa Mimi. Mereka bertiga tinggal di sebuah rumah sederhana di Mendips, 251 Menlove Avenue, Woolton, Liverpool. Walau pun tinggal bersama paman-bibinya, John 'tak kekurangan sesuatu apapun sebagai seorang anak. Kasih sayang, biaya hidup, biaya sekolah, semuanya terpenuhi.

Dovedale Primary School adalah sekolah pertama John. Di sekolah itu, John meluapkan kegembiraannya sebagai anak kecil: bermain, menggambar, dan berlari-lari di kebun stroberi (strawbery field). John juga menonjol di antara murid lain karena mampu menunjukkan bakat seninya: menggambar kartun.

Dalam perjalanannya, semakin hari semakin tahun, karakter John mulai kelihatan. Dia tumbuh menjadi remaja yang bengal. John nampaknya mewarisi perilaku bebas ibu kandungnya, Julia Stanley. Pada saat sekolah di Quarry Bank High School, misalnya, jam pelajaran dihabiskannya untuk menggambar kartun, termasuk gambar kartun gurunya yang menjelaskan di depan. Dalam pergaulan dengan temannya, John juga 'tak segan-segan menggunakan kata-kata kasar untuk menghina temannya. Yang paling parah, di hadapan murid wanita, John tanpa ragu mempertontonkan kemaluannya.

John Lennon (tengah atas) di Dovedale Primary School
John Lennon (tengah atas) di Quarry Bank High School
Perihal penampilan, sama seperti murid pria lain, John sangat menjaganya. Salah satunya: dia sangat tidak suka memakai kacamata meskipun matanya rabun. "Buddy holy," kata John menilai penampilannya ketika berkacamata. Mimi pun harus mengingatkan John setiap hari agar 'tak lupa membawa dan memakai kacamatanya.

Di rumah, John begitu dekat dengan pamannya, George. Bagi John, George lebih dari seorang paman dan telah menjadi ayah yang baik baginya. Terlebih George sangat mengerti perilaku bebas John. Tidak seperti Mimi yang senantiasa mendisiplinkannya dan mengharapkannya sukses dalam akademik. Kecintaan John kepada George semakin besar ketika George menghadiahkannya sebuah harmonika. Harmonika itu menjadi alat musik pertama yang dikuasai John.

George dan John
Roda hidup kadang berputar ke bawah. Itu pula yang dialami John saat dia kehilangan George. Paman yang sangat disayanginya itu meninggal dunia secara tiba-tiba karena serangan jantung. John bersedih atas hal itu dan memeluk Mimi dari belakang. Mimi kemudian berkata, "Jangan tampak bodoh. Kalau mau menangis di dalam kamar. Sekarang hanya kita berdua dan kita harus melanjutkan hidup."

Selepas kepergian George, Mimi semakin mendisiplinkan John dan tetap menginginkannya sukses dalam akademik. Salah satu caranya: Mimi menerima seorang mahasiswa biokimia bernama Michael Fishwick untuk tinggal di rumahnya. Namun John tidak terpengaruh. Dia tetap dengan perilaku bebasnya. John malah semakin malas ke sekolah. Puncaknya, John dan sahabatnya, Peter Shotton, dikeluarkan dari sekolah karena memperlihatkan majalah dewasa kepada wanita tua dalam bus.

John tidak membiarkan surat pemecatan dari sekolahnya diterima oleh Mimi. Dia menahan petugas pos di depan rumahnya, mengambil suratnya, lalu membakarnya. Selanjutnya, John mengunjungi ibunya Julia Stanley dan tinggal bersamanya setelah terlebih dahulu menjelaskan semua yang dialaminya di sekolah. Oleh Julia, John diajari main banjo sampai mahir dan sedikit piano. Julia juga memperkenalkan kepada John musik rock n' roll. Selain itu, John juga mengakrabkan diri dengan dua adiknya, Julia dan Jackie, serta ayah tirinya, Bobby.

Lama kemudian, Mimi mengetahui bahwa John dikeluarkan dari sekolah. Mimi pun segera tahu keberadaan John dan mendatanginya. Saat mendapati John bersama Julia, Mimi memarahi Julia dan berkata, "Tidak Julia. Mungkin ini hidupmu...kekacauan. Tapi ini bukan dia (John)." Julia marah dan mengusir Mimi.

Bobby, ayah tiri John, menasehati Julia untuk mengembalikan John kepada Mimi. Alasannya: Mimilah yang merawat John dari kecil. Terlebih Mimi sekarang hidup sendiri setelah ditinggal suaminya. Keberadaan John tentu akan menghiburnya. Hal itu kemudian disadari sendiri oleh John dan mengantarnya kembali kepada Mimi.

Bertemu Mimi kembali, John mengutarakan niatnya yang terpendam: membuat grup musik rock n' roll, "...seperti Elvis," kata John. Mimi mendukung niat John itu dan membelikannya sebuah gitar klasik seharga 7 poundsterling. John kemudian mengajak teman-temanya di Quarry Bank High School untuk bergabung dengan bandnya: Eric pada gitar, Len pada bass, Peter pada drum, dan Rodders pada banjo. Nama bandnya berubah-ubah, dari Skiffle Group, Blackjack, dan terakhir The Quarrymen, diambil dari nama sekolah mereka.

John dan The Quarrymen
The Quarrymen tampil perdana dalam sebuah pertunjukan di taman kota Liverpool. Lagu andalan mereka berjudul Maggie Mae. Dalam penampilan itu, John memakai gitar barunya dan berperan sebagai vokalis. Lucunya, John memainkan gitarnya dengan kunci banjo.

Paul MacCartney, pemuda 15 tahun, hadir dalam pertunjukan itu dan kagum dengan penampilan The Quarrymen. Setelahnya, Paul pun memperkenalkan dirinya kepada John dan teman-temannya. Paul juga mempertunjukkan kemampuannya bermain gitar dengan musik rock n' roll. Akhirnya, karena John kagum dengan kemampuan Paul. Paul pun bergabung menjadi personal The Quarrymen.

John mengajak Paul ke rumahnya dan meminta Paul mengajarinya main gitar. Dari situ, John menjadi mahir bermain gitar. Selain mengajari John bermain gitar, Paul juga mengajak John untuk menciptakan lagu. "Jika kita ingin bermain musik, kita harus menulis karya sendiri, dan kita tidak perlu khawatir dengan perusahaan rekaman," kata Paul.

Kebersamaan John dan Paul memulai persahabatan mereka. Meskipun keduanya bertolak belakang dari sisi perilaku. John jelas tercipta sebagai musisi rock n' roll dengan gaya rock n' roll, sementara Paul 'tak tampak sebagai musisi rock n' roll dengan gayanya yang kalem. "Rock n' roll itu hanya musik. Sederhana," alasan Paul. Paul kalem, John liar, itulah fakta keduanya. John bahkan punya kebiasaan hippies: menarik penggemarnya ke tempat sepi lalu menyetubuhinya. Tapi keduanya mampu bersatu dan bersahabat.

Selanjutnya, John dan Paul saling bekerja sama dalam band. Untuk memperkuat band, Paul mengajak sahabatnya, George Harrison, setelah terlebih dahulu memperkenalkannya kepada John. John tertarik dengan permainan gitar George dan George pun bergabung sebagai personal The Quarrymen.

Di belakang John, Mimi dan Julia menjalin hubungan baik. Keduanya sepakat berbaikan demi mendukung karir John. Hal tersebut membuat John sangat bahagia. Untuk memperkuat kemampuan musiknya, John kuliah di Liverpool Art College. Oleh Mimi, John juga dihadiahi sebuah biola.

Di tengah gairah John untuk bermusik, roda hidupnya kembali berputar ke bawah. Dia lagi-lagi kehilangan. Ibunya Julia meninggal dunia setelah tertabrak mobil seorang polisi mabuk. Hal yang kemudian membuat John memendam amarah yang teramat dalam, terlebih polisi yang menabrak ibunya terlepas dari segala tuntutan.

The Beatles First
Selanjutnya, John fokus pada musik. Bersama dua personal terakhir yang bertahan: Paul dan George, John mengubah nama bandnya menjadi The Silver Beatles kemudian menjadi The Beatles saja. Mereka masuk dapur rekaman dan mendapat kesempatan untuk tampil di sebuah klub di Hamburg, Jerman.

John mengutarakan kesempatan itu kepada Mimi. Sejenak, Mimi merasa John berbohong. Namun akhirnya dia menyadari bahwa dia akan berpisah dengan anak yang dicintainya itu dan telah bersamanya selama 20 tahun. John kemudian memberikan berkas adminitrasi keberangkatannya ke Hamburg kepada Mimi untuk ditandatangani. "Saya tandatangan sebagai apa? Orangtua atau Wali?" Tanya Mimi kepada John. John menjawab, "Dua-duanya." Jawaban itu membuat Mimi terharu dan memeluk John.

Pada 1960, keduanya pun berpisah setelah bersama sejak John kecil. Kepada Mimi, John berjanji akan meneleponnya setiap minggu selama di Hamburg. John memenuhi janjinya itu.

Referensi: A Biography of John Winston Ono Lennon oleh Jane Teester, film A Nowhere Boy. Foto: diambil dari pelbagai sumber.

Minggu, 23 Desember 2012

Kehidupan John Lennon (Episode 1940 - 1946): Lahir Dari Keluarga 'Tak Harmonis

John Lennon kecil
John Winston Ono Lennon atau terkenal dengan nama John Lennon. Lahir di Liverpool, Inggris, 9 Oktober 1940. Ayahnya, Alfred Lennon, adalah seorang pelaut yang sering bepergian. Saat John lahir pun, dia tidak menghadirinya. Ibunya, Julia Stanley, adalah pelayan di sebuah kafe kecil bernama Penny Lane, seorang yang berperilaku bebas, suka mabuk, penikmat musik rock 'n roll, dan penggila Elvis Presley.

Perilaku bebas Julia kambuh saat dia bertemu John Dykins di kafe tempatnya bekerja. Dia menjalin hubungan dengan pria itu saat suaminya Alfred berlayar. Bahkan, dia membawa anaknya John untuk tinggal bersama Dykins di sebuah apartemen kecil. Dari hubungan terlarang ibunya itu, John memperoleh saudara perempuan bernama Victoria.

Perilaku bebas Julia sangat tidak disukai kakaknya, Mary Elizabeth atau biasa disapa Mimi. Mimi kemudian mengambil John untuk tinggal bersamanya. Terlebih Mimi juga sangat mencintai John. "Saat pertama memandangi John (ketika lahir), saya tahu dia akan menjadi sosok yang istimewa," kata Mimi. 

Pada 1946, Alfred kembali dari berlayar. Dia bertemu Julia untuk membangun kembali pernikahannya. Namun, Julia mengusirnya. Alfred kemudian mengunjungi Mimi untuk bertemu dan mengajak John jalan-jalan. John saat itu telah berumur 5 tahun dan bersekolah di Dovedale Primary School. Ternyata, Alfred membawa John ke Blackpool dan hendak hijrah berdua ke New Zealand.

John Lennon bersama ibu kandungnya, Julia Stanley
Mimi bingung mengetahui rencana Alfred. Dari teman pelaut, Mimi mengetahui alamat Alfred di Blackpool. Mimi pun mengajak Julia untuk bertemu Alfred. Saat Julia bertemu Alfred, terjadi perdebatan. Alfred kemudian menyuruh John yang baru berumur 5 tahun untuk memilih, ingin tinggal bersama ayahnya atau ibunya. John menjawab, “daddy,” ayahnya.

Alfred Lennon
Julia lalu pergi. Namun ketika dia melangkah keluar dari pintu, John mengejarnya dari belakang sambil menangis. Mimi yang melihat kejadian itu bertindak cepat: dia mengambil John dan membawanya lari, pergi.  

John kecil pun tinggal bersama Mimi dan suaminya, George Smith. Julia berpisah dari Dykins. Selanjutnya, Julia hidup bersama pria lain, Bobby, dan dikaruniai dua anak perempuan: Julia dan Jackie. Sementara Alfred, dia hidup di New Zealand, tanpa John, tanpa Julia.

Mother, you had me, but I never had you
I wanted you, you didn’t want me
So I, I just got to tell you
Goodbye, goodbye


Father, you left me, but I never left you
I needed you, you didn’t need me
So I, I just got to tell you
Goodbye, goodbye


...
Mama don’t go
Daddy come home

(Mother ditulis oleh John Lennon)

Referensi: A Biography of John Winston Ono Lennon oleh Jean Teeters, film Nowhere Boy, sing365.com. Foto: Dovedale School, Life.com, Absoluteelsewhere.com.

Kamis, 13 Desember 2012

Kalla Group: Enam Dekade, Tiga Generasi

Tiga generasi keluarga Kalla (foto: koleksi pribadi keluarga Kalla)
'Tak terasa, Kalla Group sudah berusia 60 tahun (1952 - 2012). Sepanjang usia itu, Kalla Group telah mengalami evolusi. Dari sebuah ruko kecil di jalan R. E. Martadinata Makassar (sekarang jalan Nusantara) berevolusi menjadi showroom-showroom mobil, pabrik-pabrik konstruksi, dan gedung 15 lantai Wisma Kalla. Dari satu perusahaan kecil bernama N. V. Hadji Kalla Trading Company yang menghidupi satu keluarga berevolusi menjadi belasan perusahaan yang menghidupi ribuan karyawan dan keluarganya masing-masing. Menakjubkan!

Evolusi. Kata yang mungkin tidak dimengerti oleh H. Kalla, pendiri Kalla Group, yang hanya tamatan kelas III SD. Namun yang pasti, H. Kalla sangat mengerti bahwa profesi pengusaha tidak membutuhkan strata pendidikan yang tinggi, tapi cuma butuh gairah yang kemudian melahirkan semangat dan kenekatan. Dengan pemahaman itu, H. Kalla duduk menjadi seorang Direktur Utama yang memimpin orang-orang dengan strata pendidikan yang lebih tinggi darinya.

Lantas, adakah jarak antara H. Kalla dengan karyawannya? Sama sekali tidak. Dengan bekal agama yang cukup dari kampungnya, Bone, H. Kalla paham betul bagaimana memperlakukan karyawan dengan baik. H. Kalla sangat paham makna keadilan. Maka ketika usaha berjalan mulus, berbagi kesejahteraan menjadi hal yang utama. Dan ketika perusahaan mengalami krisis dari 1958 sampai 1966, H. Kalla menggunakan tabungan keluarga untuk membayar gaji karyawannya. Itulah pemimpin. Nilai mulia seorang pemimpin tidak terletak dari tinggi-rendah sekolahnya, pintar-bodoh keilmuannya, tapi dari tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Sederhana.

Hanya 14 tahun (1952 - 1966) H. Kalla memegang nahkoda Kalla Group. Waktu yang singkat bagi generasi pertama untuk ukuran sebuah perusahaan. Moeryati Soedibyo saja, generasi pertama PT Mustika Ratu pada 1971, baru mewariskan perusahaannya pada generasi kedua pada 2011 lalu. Jacoeb Oetama, pendiri Kompas pada 1965, bahkan belum mewariskan perusahaannya sama sekali. Tapi begitulah pemimpin sejati, tidak hanya paham bagaimana memimpin perusahaan dengan baik, tapi juga mewariskan kepemimpinannya dengan baik pula.

Dan pada 1967, H. Kalla mewariskan perusahaannya kepada anaknya Muhammad Jusuf Kalla. Momen yang tepat dan keputusan yang benar. Di tangan Jusuf, Kalla Group bangkit dari krisis dan melebarkan sayapnya ke ragam sektor bisnis. Dari jual-beli hasil bumi (beras, cokelat, dll.) dan sarung melebar ke jual-beli mobil, aspal, beton, properti, listrik, dan trafo. Dari jasa angkutan antardaerah yang sederhana bernama Cahaya Bone melebar ke jasa konstruksi, jasa angkutan laut, jasa pendidikan, jasa rental mobil, dan jasa pembiayaan. Selama 33 tahun (1967 - 2000), Jusuf memimpin dan membesarkan Kalla Group lalu mewariskannya kepada adiknya, Fatimah Kalla.

Kini, generasi ketiga muncul mengambil peran dalam dua sosok: Imelda Jusuf Kalla (Direktur Keuangan) dan Solichin Jusuf Kalla (Direktur Pengembangan). Keduanya ingin menepis pameo: generasi pertama mendirikan, generasi kedua mengembangkan, dan generasi ketiga menghancurkan. Keduanya, secara tahap demi tahap, mencoba memimpin Kalla Group menggarap bisnis besar yang selama ini belum dimaksimalkan: energi, agroindustri, dan transportasi monorail. Sebagaimana kata Solichin Jusuf Kalla dalam wawancaranya kepada majalah Fortune, "Kalla Group selama ini adalah ikan besar di kolam kecil." Artinya, generasi ketiga ingin membawa Kalla Group ke kolam besar.

Senin, 22 Oktober 2012

Menikmati Bugis Waterpark

Foto: Manajemen Bugis Waterpark
Ini kali pertama saya menikmati wisata air selain kolam renang. Meluncur dalam pipa air dengan badan dan ban, baru pertama kali saya melakukannya. Hal tersebut terjadi saat saya mengunjungi Bugis Waterpark Adventure, taman wisata air yang terletak di perumahan Bukit Baruga, Antang, Makassar, Ahad kemarin (21/10/2012).

Taman wisata air tersebut milik PT Baruga Asrinusa Development (BAD), anak perusahaan Kalla Group yang dikembangkan oleh keluarga H. Kalla sejak 24 April 1994.

‘Tak perlu ditanya kenapa taman wisata tersebut bernama Bugis Waterpark Adventure. Nenek moyang Kalla Group adalah suku Bugis asli, dari H. Kalla, Jusuf Kalla, sampai ke anak-cucunya. Meskipun sebagian telah bercampur dengan suku Jawa, Padang dan lainnya.

Bugis Waterpark Adventure dibangun oleh BAD bekerjasama dengan Poolin Waterpark & Pool System, perusahaan asal Turki. Tak heran jika desain taman air, sistem pompa dan saluran air, serta wahana yang disediakan, semuanya berstandar internasional.

Saya menikmati semua wahana yang disediakan, dari yang paling santai (kolam arus) sampai yang paling ekstrim (black hole). Sangat seru rasanya. Tiket akhir pekan (Sabtu-Minggu) senilai Rp 125.000 terbalaskan dengan kepuasan yang dinikmati. Untuk hari-hari biasa (Senin sampai Jum’at), tiketnya seharga Rp 75.000.

Jika tiga atau lima tahun mendatang semua pohon-pohon di Bugis Waterpark Adventure sudah tumbuh tinggi dan rindang, tentu kenikmatan akan lebih bertambah lagi.

Senin, 15 Oktober 2012

Kuri Lompoa, Kampung Nelayan di Tepi Selat Makassar

Tidak susah mencari wilayah kampung Kuri Lompoa yang terletak di Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Anda tinggal menyusuri jalan Pate'ne Raya yang berada di samping kiri jalan Tol Ir. Sutami, Makassar. Tepat di ujung jalan Pate'ne Raya itulah kampung Kuri Lompoa berada, letaknya di tepi Selat Makassar.

Kuri Lompoa adalah kampung nelayan. Sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Di belakang rumah-rumah panggung penduduk juga terdapat dermaga kecil untuk menyandarkan perahu. Segala kegiatan yang berkaitan dengan binatang laut juga lengkap di kampung ini: penangkapan, empang, penjualan, dan lainnya. Bahkan, Kuri Lompoa terkenal sebagai pusat empang di Sulawesi Selatan.

Kuri Lompoa terbilang kampung yang cukup maju. Semua fasilitas sudah tersedia di kampung itu: listrik 24 jam, masjid besar tempat beribadah, dan sekolah dari TK sampai SMP. Satu-satunya kendala di kampung itu adalah ketersediaan air. Seorang anak yang saya tanya kenapa tidak sekolah memberikan alasan, "Tenapa ku je'ne', Pak! Susai je'neka rinni (Belumpa mandi, Pak! Susah air di sini)."

Jumat, 14 September 2012

Masterchef Putu Cangkir

Tangan Fitri (38 tahun) dengan lincah mencampur adonan beras ketan, gula merah, gula pasir, dan parutan kelapa dalam sebuah cetakan lalu meletakkannya di atas sebuah kukusan. Dalam hitungan menit, putu cangkir pun jadi dan siap dijual.

Itulah rutinitas harian Fitri dan keluarganya: membuat putu cangkir, kue khas Bugis-Makassar, dan menjualnya. Dengan menggunakan gerobak, Fitri yang asli Makassar menjajakan putu cangkirnya seharga Rp 800 per biji dari sore hingga sekira pukul 12 malam. Fitri berjualan di pinggiran jalan dekat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Daya, Makassar. 

Gerobak Fitri 'tak pernah sepi dari pembeli. Rasa gula merah yang legit menjadi ciri khas putu cangkir jualannya yang digemari pembeli. Terlebih Fitri juga selalu memberikan bonus kue lebih kepada pembeli.

Pantai Kering di Bone


Pernah dengar sebutan Pantai Kering di Bone. Ya, itulah sebutan bagi jajaran cafe yang berlokasi di jalan Veteran, kota Watanpone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Cafe-cafe di Pantai Kering menyerupai cafe-cafe di Pantai Karebosi Makassar atau Kendari Beach Kendari. Jajanannya pun sama: minuman jus, kopi, roti, kue, gorengan, dan lainnya. Cuma bedanya, tidak ada pantainya. Makanya dinamakan Pantai Kering.

Pantai Kering sangat ramai dikunjungi pada malam hari. Banyak pelanggan terutama dari kalangan anak muda yang memilihnya sebagai tempat nongkrong. Kata Andi Khairuddin, warga Watanpone, "Kalau malam banyak orang. Jalanan di situ sudah tidak kelihatan."

Kamis, 06 September 2012

Ullang, Pria Dengan Kemampuan Berhitung Luar Biasa


Ullang Co’mo’, begitulah pria 22 tahun ini akrab disapa. Badannya memang co’mo’ (gemuk) berisi. Seberisi otaknya yang memiliki kemampuan berhitung luar biasa. Dia mampu menghitung perkalian, penjumlahan, pengurangan, dan pembagian secara cepat dengan otaknya, tanpa cakaran. Pun perhitungan dengan menggunakan angka-angka besar. Ullang bahkan menglaim mampu berhitung dengan pola sin, cos dan tang.

Banyak orang menyangka, pria yang hanya sekolah sampai kelas III SD ini adalah orang terbelakang. Hal yang wajar melihat penampilan kumuhnya dan kebiasaannya berjalan jauh tanpa alas kaki. Namun saat penulis menraktirnya minum kopi di sebuah Warkop di jalan Urip Sumohardjo, Makassar, ‘tak tampak ciri terbelakang pada dirinya. Dia bisa bicara dengan normal, apa adanya. Dia bahkan mampu menjelaskan secara detil sejarah hidupnya, keluarganya, alamatnya, dan lain-lainnya dengan bahasa Indonesia yang tegas, sesekali menggunakan bahasa Makassar, bahasa yang sangat dikuasainya.

Ullang juga dengan percaya diri menawarkan kemampuan berhitungnya kepada penulis. Tentunya dengan harapan menerima upah ala kadarnya. Itulah memang rutinitas harian Ullang. Dia keluar rumah pagi-pagi dan berjalan kaki keliling kota Makassar menawarkan kemampuan berhitungnya. Dia baru pulang ke rumahnya selepas Isya. Kalau uang yang didapatnya banyak, dia pulang dengan menyewa ojek.

Ullang yang bernama asli Ruslan Yusuf lahir di Palopo pada 13 Juni 1990, hari Rabu pukul 10.00 malam. Dia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya Yusuf adalah seorang tukang batu; ibunya Nuraeni adalah ibu rumahtangga. Bersama keluarganya, Ullang tinggal di jalan Teuku Umar 12 nomor 10 C, Butta-Butta Ca’di, Galangan Kapal, Makassar.

Sehebat apa kemampuan berhitung Ullang? Anda bisa bayangkan, saat penulis bertanya berapa hasil perkalian dari 353 x 273, Ullang menjawab dengan cepat: 96.369. Jawaban Ullang tepat. Saat penulis bertanya lagi berapa hasil perkalian dari 253 x 714 x 510, Ullang menjawab: 92.127.420, meskipun dengan durasi berpikir yang lebih lama dari pertanyaan pertama, tapi jawabannya tepat. Kemampuan berhitung yang luar biasa, bukan? Saat penulis tanya apa rahasia berhitung Ullang, dia ‘tak menjawab. Dia hanya tersenyum. Mungkin memang tidak ada jawabannya alias kemampuan Ullang itu adalah anugrah Ilahi.

Waktu berlalu, ‘tak terasa hampir maghrib. Penulis pun pamit pulang kepada Ullang. Uang ala kadarnya penulis berikan kepadanya sebagai upah dari pertunjukan kemampuannya berhitung. Dia menerimanya dengan bahagia. “Terimakasih, Om! Saya doakan semoga Om panjang umur!” Kata Ullank, lugu dan apa adanya.

Senin, 06 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1979-2006): Menulis Sampai Mati

“Aku ini orang yang sederhana sekali. Aku nggak perlu macam-macam. Kebutuhanku cuma kerjaku!” (Pramoedya Ananta Toer)

Pram (foto: In-Docs.Org)
Pada 1979, Pramoedya Ananta Toer (Pram) bebas dari hukuman penjara akibat keterkaitannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia kembali kepada keluarganya di rumahnya di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Namun Pram belum bebas sepenuhnya, dia dijadikan tahanan rumah sampai 1992 dan wajib melapor sekali seminggu ke Kodim Jakarta Timur. Cibiran dan teror juga kerap diterimanya dari orang-orang sekitar yang menganggapnya komunis. Makanya di tahun-tahun awal bebas, dia jarang keluar rumah, pun ke teras rumah. “Aku nggak bisa keluar. Keluar berarti menambah kemungkinan diteror,” kata Pram.

Pada 1980, dua buku yang ditulisnya di Pulau Buru berjudul Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa diterbitkan oleh Hasta Mitra. Lanjut pada 1982 dan 1985, terbit pula buku Gadis Pantai dan buku ketiga Pulau Buru berjudul Jejak Langkah. Namun, Pemerintahan Orde Baru Soeharto membredel buku-buku itu. Atas pembredelan buku-buku Pram, Wakil Presiden Adam Malik berkata kepada Pram, “Wah, kalau Suharto saja sudah melarang, jangankan kamu Pram, saya sendiri bisa ditembaknya”. Pram menatap Adam Malik getir, dalam hati ia berkata “Saya harus bertahan terhadap jaman yang ‘tak benar ini”.

Atas pertolongan seorang Australia bernama Max Lane, naskah-naskah tulisan Pram dapat terbit di banyak negara di luar Indonesia dengan ragam bahasa, di antaranya Malaysia dan Belanda, sehingga harapan Pram untuk mendapatkan uang dan menyambung hidup pun masih ada. “Karya saya sudah diterjemahkan ke ragam bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di dalam negeri Indonesia,” kata Pram.

Pram juga berencana membagi-bagikan sebagian honorarium dari buku-bukunya yang terbit di luar negeri itu kepada teman-teman eks-Pulau Burunya yang telah memudahkannya menulis di dalam penjara. Walau pun untuk itu, Pram harus bersabar dan berjuang sampai bertahun-tahun. “Belanda itu gila juga. Sudah cetakan ketiga, uangnya nggak ada juga,” kata Pram. Lain lagi Malaysia yang mencetak 15 ribu buku, tapi mengaku cuma tiga ribu buku. Pram pun menuntut haknya atas sisa cetakan; bahkan sampai ke pengadilan meskipun harus dengan susah-payah menyewa pengacara. “Yang wajar saja. Saya minta honorarium dari jumlah cetak yang ada. Itu saja. Harga buku enam dollar dan saya dapat sepuluh persen,” kata Pram. Selain dari buku, Pram juga terkadang mendapatkan amplop dari hasil wawancara, tapi itu sangat sedikit sekali dan bahkan mengherankannya. Pram berkata, “Heran, kok jadi begini saya sekarang, jadi penerima amplop!”

Tinggal di rumah terus membuat pikiran Pram tertekan. Dia pun menghibur diri dengan terus menulis dan mendokumentasikan berita-berita penting dari koran (klipping). Pram memang sedang merencanakan pembuatan buku Ensiklopedia Indonesia. Pikiran Pram semakin tertekan ketika keadaan ekonomi keluarganya menyempit, terlebih setelah dia membiayai pernikahan tiga putrinya dalam waktu berdekatan. Di umurnya yang sudah 60-an, dia merasa tidak bisa lagi bekerja, apalagi beberapa penyakit sudah menggerogoti tubuhnya, di antaranya diabetes. Berat badan Pram terus merosot hingga sangat kurus sekali.

Pada 1987, Pram dirundung kesedihan mendalam. Moedigdo (Om Dig), paman yang dicintainya, meninggal dunia. “Aku malu sama Tante (istri Om Dig). Aku belum bisa membalas kebaikannya,” kata Pram. Saat pertama kali ke Jakarta pada 1942, Pram dan adiknya Prawito menumpang di rumah Om Dig di daerah Gang Sawo, Kemayoran. Om Dig pula yang berjasa memasukkan Pram ke sekolah Taman Siswa sehingga kemampuan menulis Pram berkembang. Kecintaan Pram terhadap Om Dig dibuktikannya saat terakhir menjenguk saudara kandung dari bapaknya itu, Pram mencium kaki Om Dig dan memberikan uang kepada tantenya.

Pada 1988, buku keempat Pulau Buru berjudul Rumah Kaca terbit. Di tahun yang sama, Pram juga mendapatkan penghargaan PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award dan The Fund for Free Expression Award dari Amerika Serikat setahun kemudian. Dari situ, Pram mendapatkan uang yang cukup sehingga keadaan ekonomi keluarganya berangsur membaik. Menyusul pada 1992, Pram lagi-lagi mendapatkan English P.E.N Centre Award dari Inggris dan Stichting Wertheim Award dari Belanda. Dari situ, Pram memperoleh uang yang cukup untuk membangun sebuah rumah di daerah Citayam. Rumah itu dia peruntukkan untuk anaknya. Di Tahun 1992 pula, Pram sudah boleh keluar rumah karena status tahanannya telah berubah dari tahahan rumah menjadi tahanan negara.

Pada 1995, karya-karya Pram kembali diterbitkan: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan Arus Balik. Pram juga kembali memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts dari Filipina. Prof. Wertheim asal Belanda yang memberikan penghargaan kepada Pram 1992 silam melarang Pram menerima Ramon Magsaysay Award karena diberikan oleh pihak anti-komunis; hadiah uangnya pun dari Amerika Serikat. Namun Pram yang individualis mengabaikan larangan Prof. Wertheim tersebut sehingga Prof. Wertheim kecewa berat terhadapnya. Dulu Pram banyak mengritik kapitalisme, sekarang hidupnya malah banyak dibiayai dari uang-uang para kapitalis. Dan Pram menyadari hal tersebut.

Pada 1999, seiring era reformasi di Indonesia, Pram terbebas penuh. Tak ada lagi status tahanan yang melekat pada dirinya. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan secara terbuka meminta maaf kepada Pram dan menawarkan ide rekonsiliasi. Dalam wawancaranya bersama majalah Tempo, Pram menganggap pernyataan maaf Gus Dur itu “cuma basa-basi…. Gus Dur mesti menempatkan lebih dulu posisi dia. Sekalipun kapasitas sebagai presiden, Gus Dur tak bisa minta maaf begitu saja…. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi,” kata Pram.

Seiring era reformasi pula, buku-buku lama Pram kembali dicetak ulang bahkan hingga ke dalam 42 bahasa dunia, selain beberapa buku barunya: Arok Dedes, Mangir, Larasati, Sebuah Roman Revolusi, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, dan Cerita dari Digul. Selain itu, Pram juga secara bebas melakukan perjalanan ke luar negeri pada tahun 2002 hingga 2004 untuk menerima penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Michigan, Chancellor’s Distinguished Honor Award dari Universitas California, Berkeley, Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres Republic dari Prancis France dan 11th Fukuoka Asian Culture Prize dari Jepang. Pram juga dihargai oleh Majalah Time sebagai Asian Heroes.

Penghasilan dari kebebasan penerbitan buku-bukunya dan penghargaan yang diperolehnya dari dunia internasional dipergunakan Pram untuk membangun rumah tiga tingkat di jalan Warung Ulan no. 9, Bojong Gede, Bogor. Setelah membangun rumahnya itu, Pram berkata, “Rumah ini adalah bukti saya bisa melawan Orde Baru dengan kemenangan saya. Saya berhasil menjadi manusia ketika saya dibunuh berkali-kali”. Pram juga berkata, “Bahwa ketersingkiran dalam hidup harus dilawan dan dimenangkan.”

Pada 2005, Pram menyampaikan sejarahnya sebagai penulis kepada adiknya Koesalah. Pram menceritakan bahwa dia mulai mengarang sejak kelas lima SD. Dia menulis karena malu berbicara. Tulisannya tentang resep dan khasiat obat-obatan dalam bahasa Indonesia. Tulisan itu dikirim Pram ke penerbit Tan Koen Swie tapi ‘tak pernah ada kabar. Tulisan pertama Pram yang dipublikasikan adalah Ke Mana di majalah Panji Pustaka milik Balai Pustaka. Saat tulisan pertamanya tersebut dipublikasikan, Pram merasa dunia di genggamannya dan dia merasa menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya, Pram terus menulis melahirkan karya demi karya. Dia terus menulis untuk hidup dan menghidupi. Terlebih setelah kedua orangtuanya meninggal dunia, dia harus menjadi kepala keluarga atas adik-adiknya. Selain menulis karya sendiri, Pram juga menerjemahkan karya-karya orang lain, seperti Lode Zelins, Maxim Gorky, Leo Tolstoy dan lainnya. Ada dua penulis yang menjadi inspirasi Pram: John Steinbeck dan I Njoman Pandji Tisna.

Pram juga mengatakan bahwa dia sangat puas sebagai penulis. Karya-karyanya sudah diterjemahkan ke-42 bahasa, terakhir bahasa Yunani yang belum ada menyamai. Terkait kritik atas tulisannya, Pram menilainya sebagai hal biasa. “Tulisan itu untuk umum, silahkan kalau mau menilai,” kata Pram. Beberapa penulis yang pernah mengritik tulisan Pram di antaranya Mochtar Lubis, Taufiq ismail dan Rosihan Anwar.

Pada 30 April 2006, Pram menghembuskan nafas terakhirnya sebagai manusia. Dia tutup usia di rumah sakit Santa Carolus. Oleh keluarga, Pram kemudian dimakamkan di kompleks Pemakaman Umum Karet Bivak Blok AA 1, Jakarta Pusat dan tidak memenuhi keinginan Pram agar jasadnya dibakar dan abunya ditaburkan. Satu hal yang belum diraih Pram dalam hidupnya adalah hadiah nobel. Padahal dia secara tersirat sangat mendambakannya, begitu pula orang-orang yang mendukungnya. Setelah kepergian Pram, karya-karyanya masih memberikan kehidupan bagi keluarganya dalam bentuk royalti. Sebagaimana kata Pram sendiri, “Buku saya memiliki kehidupannya sendiri.”

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Biography of Pramoedya Ananta Toer, oleh James R. Rush; Pramoedya Ananta Toer, oleh Anton DH; Nyanyi Sunyi Pram, oleh Fachri Salam.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1965-1979): Hidup di Salemba, Nusakambangan dan Pulau Buru

Kerja paksa di Pulau Buru (foto: narodnaknjiga.co.yu)
Pada 1965, Pramoedya Ananta Toer (Pram) ditahan di Penjara Salemba karena keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pram harus meninggalkan istrinya Maemunah yang baru saja melahirkan putra keduanya. Maemunah telah mengaruniakan kepada Pram enam orang anak, empat perempuan dan dua lelaki (satu lelaki meninggal dunia saat masih kecil), sehingga jumlah anak Pram yang hidup berjumlah delapan anak, lima dari Maemunah dan tiga dari istri pertamanya.

Tidak hanya itu, naskah-naskah tulisan Pram juga dirampas dan dihilangkan, di antaranya lima jilid Panggil Aku Kartini Saja dari tujuh jilid yang direncanakan (jilid I dan II telah terbit pada 1962) dan dua jilid Gadis Pantai dari trilogi yang direncanakan (hanya terbit satu buku lama kemudian). Massa yang menyerang rumah Pram di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur, membuat api unggun di belakang rumah dan membakar satu demi satu naskah tulisan Pram.

Di Penjara Salemba, Pram menghabiskan waktunya dengan belajar bahasa Jawa Kuno, Jerman dan Prancis. Istri Pram, Maemunah, juga secara rutin mengirimkan makanan dan menjenguk Pram setiap jadwal kunjungan. Pada kunjungan tertentu, anak-anak Pram juga datang menjenguk. "Saya ingat, saya memegang Astuti di pangkuanku dan berbisik di telinganya," kata Pram.

Pram sungguh tertekan dalam penjara. Dalam pikirannya banyak penyesalan-penyesalan. Salah satunya, Pram menyesal menyuruh dua adiknya (Koesalah dan Soesilo) sekolah di Rusia sehingga mereka juga dituduh komunis dan ditangkapi. Sebelumnya, Prawito adik Pram juga ditangkapi, sehingga ada empat laki-laki dari keluarga Toer yang ditangkap. Hal tersebut membuat sedih keluarga Pram di Blora. Apalagi, dalam pikiran keluarga, tahanan komunis kemungkinan akan dibantai sampai mati.

Selama di penjara, Pram tidak memberikan nafkah kepada keluarganya. Maemunah pun berjuang sendirian menghidupi delapan anaknya. Maemunah berjualan makanan untuk mencari uang membiayai kebutuhan anak-anaknya. Penderitaan Maemunah dan anak-anaknya semakin bertambah ketika orang-orang di sekitar mencibir dan menuduh mereka sebagai komunis. Atas kondisi tersebut, Pram merasa menyesal dan bertanggungjawab. Rasa tanggungjawab Pram ditunjukkannya dengan menyuruh Maemunah menikah lagi, tapi Maemunah menolaknya dan tetap setia kepada Pram.

Selain fisiknya ditahan dan keluarganya dicibir, buku-buku Pram juga dilarang terbit dan beredar di Indonesia. Anehnya, buku-buku Pram justru dicetak di negara tetangga Malaysia. Buku Keluarga Gerilya bahkan menjadi buku wajib bagi para pelajar Malaysia selama bertahun-tahun. Royalti dari buku-buku yang dicetak di Malaysia itulah yang kemudian diperjuangkan Maemunah melalui perantara beberapa pihak untuk diperoleh.

Pada Juli 1969, sekira 500 tahanan termasuk Pram dipindahkan dari Penjara Salemba menuju Penjara Nusakambangan di sebuah pulau di lepas pantai Selatan Jawa. Keadaan Penjara Nusakambangan cukup menjijikkan. Lantai barak penjara itu ditutupi dengan bukit dari kotoran manusia. Sebulan di Nusakambangan, pada 16 Agustus 1969, Pram bersama banyak tahanan lainnya diangkut oleh Kapal Adri XV milik Militer menuju Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Kapal berlayar sekira 10 hari lamanya.

Pulau Buru adalah pulau liar yang pada 1969 tidak ada kehidupan sama sekali. Di bawah pengawasan Militer, Pram dan tahanan lainnya memulai kehidupan di pulau itu dengan menggarap perkebunan. Berbekal cangkul, parang dan gergaji, mereka mulai membangun jalan dan membuka ladang untuk menanam singkong, tebu dan jagung. Untuk menambah tenaga dalam bekerja, para tahanan memakan apa saja: ular, cacing, tikus, kucing dan anjing. Banyak tahanan yang tidak bertahan hidup karena sakit dan lapar. Pram sendiri beratnya merosot sampai hanya sekira 58 kilogram dan menderita penyakit maag yang sampai berdarah.

Pram dan kawan-kawan dibawa ke pulau Buru (dok. CNN)
Para tahanan hidup dan bekerja keras di bawah otoritas brutal Militer penjaga kamp. Para tahanan hanya memiliki pakaian lusuh; beberapa tahanan bahkan sampai telanjang bekerja di ladang. Pram sendiri beruntung karena memperoleh kiriman baju dari Maemunah yang diselundupkan melalui seorang pendeta Jerman. Seseorang juga memberikan Pram pena dengan tinta dan kertas untuk menulis. Pram pun kemudian mencoba mengatur jadwal 15 menit sehari untuk menulis, tetapi dia tidak konsentrasi. "Saya tidak bisa mengumpulkan pikiran saya," kata Pram. Dan, beberapa waktu kemudian, Pram membarter alat tulisnya itu dengan sebuah topi koboi yang melindunginya dari matahari.

Pada 1973, kehidupan mulai terlihat di Pulau buru. Beberapa tanaman tumbuh subur. Orang-orang mulai makan teratur, melepaskan pikiran dengan memancing dan mengumpulkan tanaman pangan dari hutan, serta memelihara hewan. Pram sendiri memiliki delapan ekor ayam. Pram juga mulai berolahraga secara teratur. Pram dan tahanan lainnya juga saling berbagi pengetahuan tentang akupresur, obat-obatan herbal dan obat tenunan sendiri yang bisa menyembuhkan kejang perut. Dari situ, penyakit maag yang diderita Pram sejak dari penjara Salemba sembuh karena khasita sebuah air. Selain itu, "Orang-orang menghibur diri dengan alat musik buatan sendiri dan dengan berbagi surat mereka yang berharga dari rumah," Pram bercerita.

Pada suatu ketika, gairah menulis pram bangkit lagi. Secara sembunyi-sembunyi, Pram pun mulai menulis dengan bantuan teman-temannya yang menyelundupkan pena, tinta dan kertas untuknya. Hingga keajaiban datang pada Oktober 1973, dimana ketika Jend. Soemitro datang ke Pulau Buru, dia mengizinkan Pram untuk menulis. Pram bahkan disediakan satu ruangan khusus dengan peralatan mesin ketik. Di ruangan khusus itu, Pram secara bebas menulis, terlebih teman-teman Pram memasok rokok dan kopi untuk Pram. 

Di ruangan itu, Pram mengumpulkan pikirannya untuk merumuskan tulisan-tulisan baru. Maka lahirlah tulisan Pram berupa quartet Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain itu, Pram juga menulis beberapa surat untuk istrinya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya. Dalam surat-surat itu, Pram menyampaikan banyak hal yang kemudian menjadi dasar bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit lama kemudian.

Atas desakan dunia internasional, para tahanan komunis akhirnya dibebaskan secara bertahap pada 1978 hingga 1979. Pram termasuk yang bebas pada 1979. Pram bersama tahanan lainnya dipulangkan dengan kapal laut menuju Surabaya. Dari Surabaya, mereka naik kereta menuju Penjara Salemba, Jakarta, sebelum akhirnya dibebaskan ke rumah asal masing-masing. Sekeluar dari Penjara Salemba, Pram dijemput oleh adiknya Koesalah.

Pram dan adiknya Koesalah disambut anak-anaknya (dok. CNN)
Pram menggendong anaknya (dok. CNN)
Pram memandang wajah anaknya (dok. CNN)
Pram memeluk istrinya Maemunah (dok. CNN)
Pram disambut keluarganya saat lepas dari Pulau Buru (dok. CNN)

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Biography of Pramoedya Ananta Toer, oleh James R. Rush.

Kamis, 02 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1960-1965): Di-PKI-kan dan Dipenjara di Salemba

Pram (foto: kolom-biografi.blogspot.com)
Awal 1960-an adalah masa dimana perseteruan antara komunisme dengan anti-komunisme memanas di Indonesia. Terlebih setelah Presiden Soekarno melalui pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 menetapkan Demokrasi Terpimpin sebagai haluan negara dengan Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) sebagai akarnya. Soekarno menyebut hal tersebut sebagai manifest politik (manipol) dan kemudian disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Perseteruan komunisme dengan anti-komuniems juga melibatkan para sastrawan Indonesia, 'tak terkecuali Pramoedya Ananta Toer (Pram). Pram mendukung kebijakan Soekarno dan melawan pihak-pihak yang menentangnya. Makanya, selepas dari penjara Cipinang pada akhir 1960, Pram menjadi Redaktur rubrik Lentera dalam Majalah Bintang Timur milik Partai Indonesia (Partindo), partai yang politiknya sejalan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Melalui Lentera, Pram kemudian menyerang para sastrawan yang dianggapnya tidak sejalan dengan haluan Demokrasi Terpimpin. Pram menyebut para sastrawan yang anti-komunisme sebagai anti-manipol dan kontra revolusi. Para sastrawan yang anti-komunisme menggabungkan diri mereka dalam Manifest Kebudayaan yang didirikan pada 17 Agustus 1963 dan menyebut diri mereka sebagai penganut humanisme universal. Pram mengolok-olok Manifest Kebudayaan dengan menyebutnya Manikebu. Pram juga mengritisi humanisme universal dan menganggapnya sebagai bagian dari imperialisme-neokolonialisme.

“Kaum Manikebu muncul justru pada saat kita sedang mengarahkan sasaran tembakan pada kaum imperialis-neokolonialis sebagai titik-pusat tembak. Mereka muncul pada garis tembak kita. Apakah mereka tidak kena tembakan?” tanya Pram di Lentera pada 12 April 1964. Lantas Pram melanjutkan, “Pasti kena sasaran tembakan kita secara 'tak terhindarkan. Dengan demikian mereka melemahkan daya tembak kita. Ini adalah bukan hal yang kebetulan.”

Pram kemudian mengeluarkan wacana realisme sosialis sebagai tandingan bagi humanisme universal. Realisme sosialis meletakkan kenyataan dan kebenaran yang lahir dari pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat maupun di hati manusia sebagai dasar material kesenian. Seni adalah untuk rakyat. Adapun humanisme universal adalah perjuangan kebudayaan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Intinya, seni untuk kemanusiaan.

Pram juga meneror para sastrawan Manikebu agar dipecat dari jabatan publiknya dan karya-karyanya dilarang untuk diterbitkan, serta tulisan-tulisannya dilarang dimuat dalam majalah dan koran. Dampaknya, Presiden Soekarno membubarkan Manikebu pada 18 Mei 1964. Para sastrawan Manikebu kemudian menjadi "sengsara, terpojok dan tanpa karya," kata Taufiq Ismail, salah seorang pendiri Manikebu.

Entah apa yang ada di pikiran Pram waktu itu. Ajip Rosidi menilai tindakan Pram adalah atas pemikirannya sendiri, bukan atas permintaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) maupun PKI. Sebabnya, karena Pram sangat mendukung kebijakan Soekarno. Namun karena tindakan Pram menguntungkan pihak kiri, dukungan pun mengalir. Serangan Pram dimanfaatkan pihak kiri untuk menarik perhatian Presiden Soekarno dan mereka siap mengerahkan massa untuk mendukung Pram. "Pram dimanfaatkan," tegas Ajip.

Ajip berpikir tidak mungkin Pram berpaham komunis karena Pram sangat individualis, tidak sama rasa sama rata seperti komunisme. Pram juga punya kepala sendiri, tidak tunduk pada ketentuan partai seperti sistem di PKI. Jadi tidak mungkin Pram berpaham komunis dan tidak mungkin dia menjadi anggota PKI. Hal tersebut diakui Pram belakangan. Pram bahkan mengaku banyak berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh PKI, seperti Njoto dan Aidit.

Namun perseteruan antara dua kubu terlanjur meledak. Manikebu melalui para sastrawannya, di antaranya Taufiq Ismail, HB Jassin dan Mochtar Loebis, menyerang balik para sastrawan Lekra. Satu yang dituju adalah Pram. Taufiq Ismail berkata, "Lekra adalah antek PKI yang pada zamannya melakukan penindasan brutal terhadap orang-orang Manikebu." Bersama DS Moeljanto, Taufiq juga menulis sebuah buku berjudul Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.

Pada 1965, perseteruan mengalami puncaknya ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berakibat komunisme dan PKI dihabisi hingga ke akar-akarnya. Presiden Soekarno dilengserkan dari jabatannya. Para anggota PKI dan yang diduga terlibat PKI ditangkapi satu persatu dan dipenjara, bahkan sebagian besar dibantai sampai mati. Itu pula yang terjadi pada Pram, dia di-PKI-kan dan dipenjara di Salemba tanpa proses pengadilan.

Kejadian penangkapan Pram terjadi pada Oktober 1965. Rumahnya di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur diserbu massa, gabungan dari masyarakat dan militer. Dia bersama adiknya Koesalah kemudian ditangkap dan dibawa ke markas Komado Daerah Militer (Kodam) sebelum akhirnya dimasukkan ke Penjara Salemba. Massa juga menyita naskah-naskah tulisan Pram, termasuk naskah Panggil Aku Kartini Saja sebanyak lima jilid dari tujuh jilid yang direncanakan (sebelumnya pada 1962, Panggil Aku Kartini Saja jilid I dan II telah diterbitkan). Naskah yang disita massa tersebut kemudian hilang dan tidak pernah terbit.           

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Digdaya Pramoedya!, oleh Iswara N. Raditya.

Senin, 30 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1950-1960): Jatuh-Bangun, Hidup dan Menghidupi dari Menulis

Pram (foto: Balai Pustaka)
Awal 1950-an adalah masa dimana banyak buku Pramoedya (Pram) dicetak lalu diterbitkan. Buku-buku itu: Dia yang Menyerah, Keluarga Gerilya, Perburuan, Percikan Revolusi, Subuh, Tikus dan Manusia (terjemahan buku John Steinbeck), Kembali Kepada Cinta Kasihmu (terjemahan buku Leo Tolstoy), Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, Mereka yang Dilumpuhkan, Cerita dari Blora dan lainnya. Karena banyaknya, Pram merasa sanggup hidup dari menulis. Terlebih saat itu honor penulis memang mencukupi, 20% dari omset penjualan buku. Dengan prinsip tersebut, Pram mengundurkan diri sebagai pegawai di Balai Pustaka dan konsentrasi menjadi penulis. Pram juga mendirikan Mimbar Penyiaran Duta, organisasi yang berfungsi menjadi penghubung antara penulis dan penerbit.

Awalnya, semua rencana Pram berjalan lancar. Tulisan beberapa penulis berhasil diterbitkan, seperti Rivai Apin dan Amir Pasaribu. Pram sendiri berhasil menelurkan tulisan di antaranya Lemari Buku dan Gulat di Jakarta dengan menggunakan nama barunya: Pramoedya Ananta Toer. Bahkan Pram dan keluarganya sempat menetap di Amsterdam, Belanda, hingga akhir 1953 dalam rangka kegiatan pertukaran budaya. Namun keadaan berbalik pada 1954. Pram mengalami krisis keuangan. Mimbar Penyiaran Duta mandeg, 'tak ada lagi penulis yang menyetorkan tulisannya untuk diterbitkan, kecuali tulisan Pram sendiri.

Krisis tersebut akhirnya membuat rumahtangga Pram dengan istrinya kacau yang berakibat Pram diusir oleh mertuanya dari rumah Kebon Jahe Kober Gang III pada pertengahan 1954. Pram pun pindah dengan menyewa rumah di sebuah gang becek tanpa nama di daerah Rawasari di belakang jalan Rawamangun. Ketiga adiknya (Koesaisah, Koesalah dan Soesilo) juga ikut pindah, tapi tidak lagi tinggal bersama Pram. Pernikahan Pram dan istrinya yang melahirkan tiga anak perempuan pun akhirnya berakhir dengan perceraian.

Dalam kondisi keuangan yang carut-marut, Pram bergaul dengan orang-orang kiri (komunis). Pergaulan itu membuat jalan pikirannya sedikit terpengaruh. Terbaca dalam karya-karyanya semisal Korupsi yang dengan lantang mengritiki pemerintahan orde lama Soekarno. Pram memang individualis sejati, berani mengritiki seseorang meskipun orang itu dikaguminya. Pram adalah pengagum Soekarno. Saat Pram ditanya apa pendapatanya tentang Soekarno, dia menjawab, "O, itu tidak ada tandingannya."    

Pada September 1954, Pram mengunjungi sebuah pameran Pekan Buku Nasional I yang diadakan penerbit buku Gunung Agung di Gedung Decca Park, Lapangan Merdeka. Di pameran itu, Pram bertemu dengan seorang perempuan penjaga stan bernama Maemunah Thamrin, kemenakan dari pahlawan nasional MH Thamrin. Pram jatuh cinta kepada Maemunah. Mereka pun berkenalan dan menjalin hubungan.

Tiga bulan menjalin hubungan, Pram dan Maemunah menikah pada Januari 1955. Mereka menikah di rumah orangtua Maemunah, HA Thamrin, di jalan Tamansari Gang II, Sawah Besar. Hadir pada pernikahan itu teman-teman Pram: Ramadhan KH, Nugroho Notosusanto, Emil Salim, HB Jassin, Ajip Rosidi dan lainnya. Juga hadir adik-adik Pram: Koesalah dan Soesilo.

Pram dan Maemunah di pelaminan (dok. CNN)
Mertua Pram adalah orang berada, punya banyak rumah yang disewakan. Pram dan Maemunah pun ingin diberikan satu rumah dengan konstruksi besar dan prima, namun Pram menolak. Pram malah lebih memilih memboyong istrinya tinggal di rumah Rawasarinya. Mungkin baru kali itu Maemunah tinggal di rumah sederhana, namun dia 'tak pernah mengeluh sama sekali. "Saya mendapat kesan bahwa Maemunah tidak mengangumi Pram sebagai sastrawan, karena nampaknya dia tidak suka membaca sastra. Dia jatuh cinta kepada Pram sebagai manusia," kata teman Pram, Ajip Rosidi.

Keputusan Pram sangat tepat. Di rumah yang sederhana seperti itu ditambah kasih sayang dari Maemunah yang tulus dalam suku maupun duka, gairah menulisnya meningkat. Beberapa karya pun dilahirkannya: Cerita dari Jakarta yang menggambarkan semua tempat-tempat yang pernah ditinggali Pram di Jakarta, tulisan ini diterbitkan Grafica; Sunyi Senyap di Siang Hidup yang menggambarkan perceraian Pram dengan istri pertamanya dan pertemuannya dengan Maemunah, tulisan ini dimuat di majalah Indonesia; Kali Siopas Kantor dan Yang Tinggal dan yang Pergi yang dimuat di majalah Gelanggang dan Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia yang dimuat di majalah Star Weekly. Selain itu, Pram juga menjadi Redaktur sebuah majalah luar negeri.                       

Hasil tulisan dan pekerjaan sebagai Redaktur majalah luar negeri membuat Pram mampu mengumpulkan uang, membeli sebidang tanah dan membangun rumah sendiri di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pram membayar pengorbanan Maemunah, meskipun dengan sebuah rumah yang sederhana. Pram dan Maemunah pun menapaki sedikit demi sedikit tangga menuju kebahagiaan. Namun, kedekatan dengan pihak kiri membuat perjalanan menuju kebahagiaan Pram terganggu. Pram dimusuhi, terlebih setelah dia pulang dari Cina selepas menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun. 'Tak ada lagi majalah yang mau menerbitkan tulisannya, termasuk majalah Star Weekly milik Peng Koeng Auwjong alias Petrus Kanisius Ojong, pediri Kompas Group. 'Tak hanya Pram yang mengalami nasib seperti itu, semua pengarang yang dekat dengan pihak kiri, di antaranya Utuy Sontani, juga ditolak karya-karyanya.

Keadaan tersebut membuat Pram kembali mengalami krisis keuangan. Bahkan Pram terpaksa mengungsikan Maemunah ke rumah mertuanya untuk sementara. Pram pun tinggal dan berjuang sendiri di rumah Rawasarinya. Suatu ketika, saking susahnya, Pram pergi ke rumah kontrakan Ajip Rosidi di Kramatpulo. Pram mengetuk pintu. Setelah Ajip Rosidi membuka pintu, Pram berkata dengan suara yang sangat dalam, "Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!" Pram kemudian memakan nasi dingin bercampur mentega yang disajikan Ajip.

Krisis keuangan Pram akhirnya teratasi berkat bantuan pihak kiri. Pram ditugasi menerjemahkan karya-karya pengarang Uni Soviet semisal Ibunda karya Maksim Gorki. Dari situ, Pram mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Selain itu, pada 1959, Pram diutus bersama Utuy mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasykent, Uni Soviet. Di saat yang sama, nama Pram dan Utuy juga dimasukkan dalam susunan pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi sastra milik pihak kiri. Kedua hal tersebut membuat pihak antikiri semakin menuduh Pram dan Utuy tergabung dalam pihak kiri yang berpaham komunis. Terkait namanya di pengurusan Lekra, Pram tidak merasa dan hanya menganggapnya sebagai sebuah kehormatan.

Pada 1960, buku Pram berjudul Hoakiau di Indonesia, yang mengritisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 yang melarang kaum Tionghoa bergiat di pedalaman negeri ini, diterbitkan. Akibat buku itu, Pram ditangkap Pemerintahan Orde Lama dan ditahan di Penjara Cipinang selama sembilan bulan hingga keluar pada akhir 1960. Selama di Cipinang, Pram menyibukkan diri dengan menulis.

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Pramoedya Ananta Toer 80 Tahun: Berlomba dengan Maut, oleh P. Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati P.; wikipedia.

Rabu, 25 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1947-1950): Hidup di Penjara Bukitduri, Kembali ke Blora dan Menjadi Kepala Keluarga

Pram (foto: koleksi keluarga Pram)
Pada 1947, penjajah menjebloskan Pramoedyo (Pram) ke penjara Bukitduri di tepi sungai Ciliwung di Jatinegara. Awalnya, Pram merasa sangat putus asa. Energinya yang membludak sebagai pemuda 22 tahun terkunkung oleh tembok penjara. Dia sampai berpikir untuk bunuh diri, tapi tidak jadi. Beruntung Bukitduri memiliki fasilitas perpustakaan dan alat tulis yang memadai, gairah menulis pram pun tersalurkan, tidak mati.

"Di penjara Belanda itu bebas sekali. Perpustakaan ada; buku-buku boleh masuk. Malah majalah dan koran republik boleh masuk. Aku belajar ekonomi di sana. Kalau dipekerjakan, dapat upah sejam delapan sen. Sehari kerja tiga jam, jadi dapat upah duapuluh empat sen. Dengan uang itu, bisa beli buku-buku," kata Pram.

Walau pun begitu, tidak selamanya Pram terlepas dari penderitaan. Di Bukitduri, Pram dan teman-temannya harus melakoni kerja paksa di antaranya menyingkirkan besi-besi bekas alat berat dan membabat rumput dan ilalang di Lapangan Gambir, Lapangan Terbang Kemayoran dan Jatinegara. Suatu ketika, Pram dan teman-temannya bersepakat menolak kerja paksa. Sampai pada waktunya, ternyata semua orang menerima kerja paksa kecuali Pram. Pram pun dihukum dengan dikurung dalam sel yang diasapi bau got. "Begitulah selalu yang terjadi dengan aku. Sendirian," kata Pram.

'Tak banyak yang menjenguk Pram di Bukitduri, maklum keluarganya jauh di Blora. Salah satu yang menjenguk Pram adalah GJ Resink, seorang penulis senior. Melalui Resink pula, Pram menyelundupkan naskah tulisannya berjudul Perburuan. Oleh Resink, naskah tersebut diserahkan kepada HB Jassin, Redaktur Balai Pustaka, yang kemudian diikutkan dalam sayembara mengarang roman yang diadakan Balai Pustaka. Naskah Perburuan meraih nomor satu dalam sayembara itu.

Selain Resink, Pram juga dijenguk oleh tantenya, istri dari Om Dig. Tantenya datang untuk menyampaikan kepada Pram bahwa dia mendapatkan honorarium untuk bukunya Kranji Bekasi Jatuh. Pram kemudian berkata, "Nah, ambil saja, Tante!" Pram menyerahkan semua honorariumnya kepada tantenya. Itu dilakukan Pram sebagai rasa terimakasih atas jasa-jasa tantenya menampung Pram dan adiknya Pra di rumah Kemayoran waktu pertama kali datang ke Jakarta pada 1942.

Pada akhir 1949, seiring diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh penjajah, Pram dibebaskan dari Bukitduri dan lalu menikahi gadis pujaan hatinya yang dijumpainya di Purwakarta saat aktif di Militer dulu. Pram kemudian tinggal di rumah istrinya di Kebon Jahe Kober Gang III. Untuk menafkahi istrinya, Pram bekerja sebagai Redaktur Sastra Modern pada penerbit Balai Pustaka dan mendapat tugas mengasuh majalah anak-anak, Kunang-Kunang. Naskahnya Perburuan yang memenangkan sayembara lomba mengarang Balai Pustaka juga diterbitkan.

Pram menceritakan saat-saat pertama kali masuk ke Balai Pustaka dimana dia bertemu dengan banyak penulis handal di antaranya Idrus, Redaktur Balai Pustaka dan penulis novel Surabaya dan kumpulan tulisan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Idrus berkata kepada Pram saat berjumpa, "O, ini yang namanya Pramoedya! Pram, engkau ini bukan ngarang, tapi berak!" Entah apa maksud Idrus berkata seperti itu, tapi mendengar kata-kata itu, Pram merasa dikecilkan.

Pada 1950, Pram kembali ke Blora karena bapaknya Mastoer sakit keras. Setelah delapan tahun berpisah, Pram akhirnya bertemu keluarganya, terutama enam adiknya yang sudah beranjak besar. 'Tak lama kemudian, bapaknya meninggal dunia di usia 54 tahun. Pram pun menjadi kepala keluarga.

Salah satu kebijakannya sebagai kepala keluarga yang paling menonjol adalah perintahnya kepada adik-adiknya untuk menambahkan nama Toer (kependekan dari Mastoer) di belakang nama masing-masing. Mas sengaja dihilangkan karena Pram menganggapnya ke-Jawa-an. Sebelumnya Pram juga telah menerapkan prinsipnya itu ketika dalam banyak naskah tulisannya dia memakai nama Pramoedya, bukan Pramoedyo. 

Kebijakan lainnya sebagai kepala keluarga adalah ketika kembali ke Jakarta, dia membawa serta tiga adiknya: Koesaisah, Koesalah dan Soesilo untuk ditanggungnya bersekolah, "Menjadi dokter-dokter, meester-meester," ujar Pram. Ketiga adiknya itu tinggal bersama Pram dan istrinya di Kebon Jahe Kober Gang III.     

Referensi: Riwayat Hidup Singkat, oleh Pramoedya Ananta Toer; Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; wikipedia.

Selasa, 24 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1942-1947): Sekolah di Taman Siswa, Masuk Militer dan Dipenjara

Pram (foto: koleksi keluarga Pram)
Pada 1942, Pramoedyo (Moek) bersama adiknya Prawito (Pra) meninggalkan kampungnya Blora menuju Jakarta. Moek dan Pra tinggal di rumah pamannya Moedigdo (Om Dig) dan istrinya di daerah Gang Sawo, Kemayoran. Di rumah Om Dig, Moek dan Pra hidup pas-pasan dengan hanya makan sekali sehari, itu pun cuma bubur. Maklum, keadaan waktu itu memang sangat susah sekali. Moek juga melakukan banyak pekerjaan rumah membantu tantenya: ngepel, nyuci, nyetrika, termasuk belanja.

Dalam keadaan seperti itu, Moek tetap bersyukur karena bisa hidup, makan dan bersekolah. Oleh Om Dig, Moek dimasukkan ke sekolah Taman Siswa yang berjarak dekat dari rumah, hanya sekira 100 meter. Hal yang kemudian membuat Moek sangat menghormati Om Dig atas jasanya tersebut. Taman Siswa adalah sekolah yang didirikan Ki Hadjar Dewantara dan cukup besar kala itu, memiliki sekira ratusan cabang di seluruh Indonesia.

Di Taman Siswa, jiwa menulis Moek berkembang. Moek kemudian berteman dengan tiga orang yang juga penulis: AK Hadi, Asrul Sani dan Sandjaja. Keempatnya dikenal sebagai Empat Serangkai Taman Siswa yang sering ikut lomba menulis. Dalam perlombaan, AK Hadi selalu menjadi yang nomor satu, disusul Moek, Asrul Sani dan Sandjaja. Oleh teman-temannya, Pramoedyo akrab dipanggil Pram, bukan Moek.

Suatu ketika, Pram menulis surat kepada Bapaknya di Blora. Dalam surat itu, Pram menyampaikan bahwa dia sudah bersekolah setingkat SMA. Pram juga meminta uang kepada bapaknya untuk membeli sebuah buku. Namun, surat Pram 'tak pernah dibalas oleh bapaknya; uang pun 'tak pernah dikirimkan, padahal seminggu lalu bapaknya mengirimkan uang kepada Pra. Pram kembali sakit hati kepada bapaknya dan berjanji tidak akan lagi meminta uang kepada bapaknya. Pram lalu memutuskan untuk mencari kerja.

Sambil bersekolah, Pram akhirnya bekerja di kantor berita Domei (sekarang kantor berita Antara) sebagai juru ketik. Pram bersekolah di pagi hari dan bekerja di sore hari. Uang hasil kerja dipakai Pram membiayai sekolah Pra, sebagian dikirim ke Blora. Di tempat kerjanya, Pram banyak belajar sastra dan pers, termasuk banyak membaca buku-buku untuk menambah wawasannya. Saat libur di hari Ahad, Pram juga meluangkan waktunya membaca buku di perpustakaan Gedung Gajah.

Pada 1945, Pram membantu Om Dig mengurusi penerbitan majalah The Voice of Free Indonesia. Setelah itu, Pram diajak AK Hadi bersama puluhan pemuda bergabung dengan tentara Siliwangi (Militer) di Cikampek. Pram pun menjalani kehidupan baru di Militer. Awalnya, Pram bertugas di bagian perhubungan dimana AK Hadi sebagai Komandannya, tapi kemudian Pram pindah ke bagian perkabaran (korespondensi).

AK Hadi menceritakan kenangan di Militer saat Pram menjadi anakbuahya, "Pram pernah ngawal saya mbongkar gudang bahan makanan punya Belanda.... Pram pernah bertengkar dengan yang namanya Durahman. Entah masalah apa mereka bertengkar, saya ndak tahu. Tapi waktu itu Durahman sempat menodongkan pistolnya pada Pram. Anehnya, Pram bukan angkat tangan, malah berteriak sambil nudingkan telunjuknya pada pistol Durahman, 'Masukkan! Masukkan!' Katanya. Tapi Pram kemudian menjadi koresponden militer. Jadi kami berpisah."  

Saat menjadi koresponden Militer, Pram belajar banyak perihal ilmu pengarsipan dan pers karena tugasnya memang mendokumentasikan kejadian lalu memberitakannya kepada beberapa media, di antaranya koran Merdeka milik BM Diah, majalah Pantja Raja, majalah Siasat dan lainnya. Selain itu, Pram juga banyak mengunjungi daerah-daerah seperti Kranji, Bekasi, Cibubur dan salah satunya Purwakarta tempat dimana dia bertemu dengan istri pertamanya. Setiap hari, dia menuliskan pengalamannya di beberapa daerah itu, muncullah artikel Pram berjudul Kemana, Tanpa Kemudian, Sepuluh Kepala Nica dan lainnya yang juga dimuat di media.

Dua tahun di Militer, Pram mengundurkan diri pada 1947. Pram kecewa melihat praktik korupsi yang terjadi di tubuh Militer. Menurut Pram, praktik tersebut tidak ada bedanya dengan kekejian penjajah. "Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri, kejamnya bukan main," ujar Pram. Pram keluar dari Militer dengan keputusan resmi, ada suratnya. Di surat itu tertulis bahwa Pram berhak atas gaji selama enam bulan dan biaya pulang ke tempat tujuan asal. Tapi setelah dua bulan menunggu, Pram tidak memperoleh hak-haknya. Pram pun pulang ke Jakarta dengan menumpang gratis kereta api.             

Di Jakarta, Pram bekerja di majalah The Voice of Free Indonesia yang didirikannya bersama Om Dig. Pram juga menerbitkan novel pertamanya hasil pengalamannya di Militer: Kranji Bekasi Jatuh. Atas tulisan-tulisannya, Pram menjadi buronan penjajah. Puncaknya, ketika markas The Voice of Free Indonesia di Kemayoran dikepung tentara penjajah (Inggris dan belanda). Pram akhirnya ditangkap dan ditahan di Penjara Bukitduri, Jatinegara. Naskah asli beberapa tulisannya dirampas dan hilang entah di mana.

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi.

Rabu, 18 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1925-1942): Dari Blora Menuju Jakarta

Pram (foto: Indo Progress)
5 Februari 1925, di Blora, Jawa Tengah, seorang lelaki bernama Pramoedyo terlahir ke dunia. Bapaknya Mastoer adalah guru di sekolah Boedi Oetomo; ibunya Oemi Saidah adalah petani. Mastoer dan Oemi Saidah juga memiliki darah sastra dalam bentuk tulisan dan dongeng. Pramoedyo yang oleh bapak-ibunya dipanggil Moek dan oleh saudara-saudarinya dipanggil Mas Moek adalah sulung dari delapan bersaudara, lima lelaki dan tiga perempuan: Pramoedyo, Prawito (Waloejadi), Koenmarjatoen, Oemi Safaatoen, Koesaisah, Koesalah, Soesilo dan Soesetyo. 

Moek menjalani masa kecil sebagaimana anak-anak desa pada umumnya: bermain, mengaji dan bersekolah. Dalam bermain, Moek selalu menjadi anak kalahan. Permainan apapun: gaplek, gundu atau apapun, dia selalu kalah. Dalam mengaji, Moek diajari Pak Kanapi di rumahnya. Dia mengaji bersama saudara-saudaranya dan anak-anak yang ditampung dan menumpang di rumahnya.  

Dalam bersekolah, Moek 'tak berprestasi sama sekali, dia malah tiga kali tidak naik kelas. Walhasil, SD pun diselesaikannya dalam waktu 10 tahun pada umur 15 tahun. Ketika Moek menyampaikan kepada bapaknya bahwa dia sudah lulus SD dan ingin melanjutkan ke SMP, bapaknya lantas berkata, "Anak goblok! Sana kembali!"

Mendengar bapaknya bicara seperti itu, Moek sakit hati dan menangis. Dia lalu pergi membawa air mata dan buku-buku yang digenggamnya. Lalu kemudian, ibunya datang menghibur, "Sini Nang, ayo ikut ibu!" Moek diajak ibunya memanen padi. Hasil panen lalu dijual untuk mendapatkan uang. Moek lalu diberi uang oleh ibunya untuk melanjutkan sekolah. 

Beda dengan bapaknya, ibunya justru sangat mengerti Moek. Berkat uang dari ibunya itu, Moek melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Radio di Surabaya pada 1940. Alasan Moek memilih sekolah itu sederhana saja: murah dan cepat selesai, hanya satu setengah tahun. Maklum, uang dari ibunya sangat pas-pasan. Moek pun selesai tepat waktu pada 1942, tapi tidak sempat mengambil ijazah karena di saat yang sama Jepang telah menduduki Surabaya. Moek kemudian kembali ke Blora karena tidak mau ikut wajib militer.

Sekembali di Blora, Moek menceritakan kepada bapaknya semua hal yang diketahuinya di Surabaya. Namun bapaknya berkomentar pedis, "Ah, kamu tahu apa!" Moek lagi-lagi sakit hati kepada bapaknya. Rasa sakit hati itu dijadikan Moek sebagai pembakar semangat bahwa dia harus lebih berhasil dari bapaknya. Selain terkenal sebagai guru, Mastoer juga terkenal sebagai tokoh masyarakat berpengaruh di Blora karena jasa-jasanya menampung banyak anak dan menyekolahkannya.

Untuk lebih berhasil dari bapaknya, Moek memulai hidup mandiri dengan bekerja. Terlebih pada masa Jepang, keadaan ekonomi keluarga memburuk. Moek bekerja dengan berjualan barang-barang apa saja untuk membantu kehidupan keluarganya: tembakau, benang, piring, cangkir dan lainnya. Kondisi saat itu memang serba apa adanya, setiap orang butuh apa saja, sehingga jual apa saja pasti laku. Moek membeli barang-barang dari orang-orang yang menjarah toko-toko Cina. Selain menjualnya, Moek juga memberikan sebagian barang-barangnya kepada ibunya. 

Di tahun 1942 pula, Ibu Moek wafat di usia yang masih sangat muda, 34 tahun. Keadaan pun berubah. 'Tak lama kemudian, Moek dan adiknya Prawito (Pra) dibelikan karcis oleh bapaknya menuju Jakarta. Entah apa penyebabnya, Moek menduga bapaknya melakukan itu untuk mengurangi beban keluarga; atau kemungkinan lain, bapaknya punya keinginan untuk menikah lagi. Entahlah, yang jelas kala itu Moek merasa terusir dari rumah.

Referensi: Riwayat Hidup Singkat, oleh Pramoedya Ananta Toer; Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer.

Senin, 09 Juli 2012

Misteri Kematian Djaniba, Karyawati Bank Indonesia Cabang Makassar

JUMAT sore, 4 Juli 2008, ruangan lantai 2 gedung Bank Indonesia Cabang Makassar di jalan Jend. Soedirman kosong melompong. Semua karyawan berkumpul di ruangan di lantai lain untuk mengikuti sebuah acara.

Di ruangan lantai 2 yang kosong melompong itulah terjadi tindakan penganiayaan. Akuntan BI, Hj. Djaniba Werang (52 tahun), dianiaya oleh beberapa orang yang juga merupakan karyawan BI.

Tubuh Djaniba yang sudah dipenuhi lebam dan memar kemudian dibuang ke bawah kotak lift melalui pintu lift yang dibuka dengan kunci. Djaniba sempat memberontak, tapi dia 'tak berdaya. Alat CCTV merekam semua kejadian tersebut.

DI LUAR gedung BI, Djasmin menunggu. Dia memang biasa menjemput kakaknya Djaniba saat jam pulang kerja. Namun, penungguannya kali ini berujung resah, sebab sang kakak yang ditunggu-tunggu 'tak jua muncul. Djasmin khawatir.

Hingga malam telah larut, Djaniba 'tak jua muncul, Djasmin pun memutuskan untuk mencari kakaknya ke dalam gedung BI. Ditemani pihak keamanan, Djasmin menyusuri setiap sudut ruangan, termasuk di lantai 2 di ruangan kerja kakaknya.

Di tengah pencarian itu, Djasmin mendengar suara rintihan yang sumbernya berasal dari dalam pintu lift. Pintu lift pun dibuka untuk membenarkan sumber suara rintihan itu. Akhirnya, tubuh Djaniba ditemukan terbaring lemah di bawah kotak lift sekira pukul 02.00 dini hari. Tubuh Djaniba kemudian diangkat lalu dilarikan ke rumah sakit terdekat, RS Akademis. Djaniba langsung dirawat intensif di ruangan ICCU.

SABTU pagi pascakejadian, Subadi Gaffa (karyawan Logistik BI) menelepon Bayu Aji (teknisi lift Otis) untuk datang. Subadi menginformasikan kepada Bayu tentang kejadian adanya karyawan yang terjatuh ke dalam lift.

Saat Bayu datang, Subadi langsung menyerahkan kunci pintu lift kepada Bayu dan menyuruh Bayu untuk segera memeriksa lift. Bayu merasa heran karena kebiasaan selama ini -jika ingin memeriksa lift- dia yang meminta kunci, tapi kali ini justru Subadi-lah yang langsung memberinya kunci.    

Karena heran, Bayu tidak langsung mengikuti suruhan Subadi. Bayu hanya melihat slide lift untuk memeriksa kondisi lift. Hasilnya: lift berfungsi normal. Bayu lalu menginformasikan kejadian tersebut kepada kantor perwakilan Otis di Makassar yang lalu diteruskan ke Jakarta, Singapura, bahkan sampai ke Amerika Serikat. Oleh pihak Otis, Bayu diperintahkan untuk tidak menyentuh lift kecuali bersama Polisi.

Bagi pihak Otis, produsen lift yang terpasang di BI, kejadian tersebut merupakan kejadian luar biasa karena baru pertama kalinya terjadi di dunia dimana pintu lift terbuka secara otomatis dan orang terjatuh ke dalamnya. Bayu menjelaskan, pintu lift tidak mungkin terbuka kecuali dibuka dengan kunci atau dibuka oleh roll yang melekat pada kotak lift yang artinya kotak lift ada saat pintu terbuka.

DI RS Akademis, kondisi Djaniba berangsur baik. Dia bahkan sempat menyebutkan satu nama, Subadi Gaffa, karyawan Logistik BI yang memegang kunci lift. Namun, setelah dua hari dirawat di ruangan ICCU, Djaniba tiba-tiba dipindahkan ke ruangan lain oleh tim medis tanpa sepengetahuan keluarganya. Saat keluarga mempertanyakan kepindahan tersebut kepada tim medis, mereka hanya mengatakan bahwa hal tersebut atas permintaan pihak BI.

Beberapa jam kemudian, setelah dipindahkan, Djaniba ternyata meninggal dunia. Tidak terima dengan kematian Djaniba yang tidak wajar, keluarga melaporkan peristiwa tersebut kepada Polisi.

Polisi kemudian membentuk Tim Penyidik yang melakukan autopsy atas mayat Djaniba dan juga rekontruksi kejadian di gedung BI. Hasil autopsy menemukan bahwa sekujur tubuh Djaniba dipenuhi luka lebam dan memar; kaki kirinya patah dan terdapat bekas suntikan di belakang lehernya, serta bekas cakaran di kedua lengannya. Setelah di-autopsy, jenazah Djaniba di bawah keluarganya ke rumahnya di jalan Muhammad Yamin lalu kemudian dikuburkan di Pemakaman Islam Sudiang Makassar.

Untuk rekonstruksi kejadian, Pihak BI dalam Berita Acara Pemeriksaannya menyatakan kejadian tersebut sebagai kecelakaan kerja. Pihak BI menganggap lift bermasalah sehingga menyebabkan Djaniba terjatuh ke dalamnya.

Bayu (Teknisi Otis), membantah BAP pihak BI tersebut. Bayu tetap bersikukuh bahwa lift tidak bisa terbuka kecuali oleh dua: kunci dan roll pada kotak lift. Pihak Otis sendiri sudah menyiapkan pengacara jika barang produksinya dianggap bermasalah.

Polisi bersama Bayu (teknisi Otis) melakukan pemeriksaan terhadap pintu lift, apakah bisa terbuka secara otomatis atau tidak. Hasilnya: setelah diperiksa puluhan kali, pintu lift tidak bisa terbuka.     

Bagaimana dengan rekaman alat CCTV? Teknisi BI mengaku alat CCTV tidak berfungsi saat kejadian karena kondisi mati lampu.


DALAM perjalanan kasus ini, polisi menetapkan Subadi Gaffa sebagai tersangka, bukan dengan dakwaan membunuh, tapi karena tindakan lalai dalam melakukan pekerjaan sehingga menghilangkan nyawa seseorang (pasal 359 KUHP). Artinya, polisi menganggap kematian Djaniba sebagai kecelakaan, bukan pembunuhan. Polisi beralasan tidak mau gegabah dalam menetapkan keputusan tanpa saksi dan bukti yang kuat. 

Saat ini Subadi Gaffa telah pensiun dari BI dan menetap tenang di rumah besarnya di Kompleks Hartaco Indah Makassar.

Melihat ketidakjelasan penanganan kasus ini, pihak keluarga Djaniba kemudian meminta bantuan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Tujuannya, agar kasus ini dikawal sampai tuntas.

Sekarang, sejak 4 Juli 2008, empat tahun lebih kasus kematian Djaniba tersebut terbengkalai. Belum ada keputusan pasti dari para penegak hukum, apakah Djaniba dibunuh atau kecelakaan. Keluarga Djaniba sendiri saat ini tidak pernah lagi terdengar geliatnya dalam menindaklanjuti kasus kematian Djaniba. Menurut informasi, mereka mendapat santunan yang cukup besar dari pihak BI.