Rabu, 13 Januari 2021

Etika Politik Jokowi

Gibran dan Bobby (dok. Kristianto Purnomo, KOMPAS)

Ketika Pemerintahannya berjalan 10 tahun, Pak Harto -dengan kekuasaannya- bisa saja mengangkat Noto Suwito, adiknya, yang lurah di Kemusuk menjadi Gubernur Jawa Tengah. Siapa yang berani melarangnya? Tapi Pak Harto tidak mau. Dia Jawa tulen. Paham roso. Ngerti Tepo Seliro. Sangat menghargai hirarki. Dia mau adiknya berusaha dari bawah. Masih banyak orangtua yang hebat di atasnya.

Begitu pun terhadap anak-anaknya. Yang minat politik, silahkan belajar di Partai dulu. Lalu jadi legislator. Kalau siap, baru jadi eksekutor. Dalam perjalanan 32 tahun kekuasaannya, hanya Mbak Tutut yang diangkat Pak Harto jadi Menteri Sosial. Itu pun hanya bertahan dua bulan. Tidak lama setelah itu, Soeharto jatuh.
 
Ke-Jawa-an itu dipegang teguh juga oleh Pak Beye. Dua periode kepemimpinannya, dia tidak berani mengangkat anak-anaknya menjadi eksekutor. Dia suruh belajar di Partai dulu, lalu kemudian menjadi legislator. Agus dan Ibas paham betul itu. Dalam perjalanannya, dua-duanya menjadi pejabat di Partai Demokrat. Lalu Agus mencalonkan diri jadi Gubernur DKI tapi gagal; Ibas berhasil menjadi Legislator.
 
Hal sebaliknya terjadi sama Pak Jokowi. Tidak tanggung-tanggung, anak dan menantunya langsung disuruh menjadi calon eksekutor tertinggi di dua Kota. Satu di Solo dan satu di Medan. Melangkahi banyak tokoh masyarakat. Melangkahi banyak tokoh partai. Menariknya, dua-duanya berhasil. Dia usia sangat muda. Di saat baru kemarin sore gabung partai.
 
Mungkin jaman sudah berubah. Yang muda turut bergerak. Mungkin pula Pak Jokowi adalah seorang Jawa Progresif. Bukan lagi Jawa Konservatif kayak Pak Harto dan Pak Beye. Atau mungkin pula karena latar keilmuan yang berbeda. Pak Harto dan Pak Beye adalah tentara; Pak Jokowi adalah pebisnis. Atau mungkin karena desakan Partai. Banyak kemugkinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar