Senin, 31 Mei 2021

Laa Ilaaha Illallah

APAKAH ISLAM AGAMA INTOLERAN? Tergantung apa yang dibahas. Kalau yang dibahas keimanan, ketuhanan, Islam sangat intoleran. Tidak ada tenggang rasa sama sekali. Tidak ada basa-basi khas orang Indonesia yang selalu meneriaki tetangga yang lewat depan rumahnya, "Singgahki!"

Pondasi dasarnya adalah kalimat Laa ilaaha illallah. Ketika seorang muslim teguh mengucapkannya, maka dia harus minimal memaknai: tidak ada Tuhan selain Allah. Ada pula yang memaknai: tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Dr. Nurcholis Madjid rahimahullah bahkan memaknai lebih tegas: semua Tuhan harus dihapus, harus dihilangkan, kecuali yang betul-betul Tuhan.

Maka tidak salah kalau seorang muslim menolak mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, apalagi hari rayanya berhubungan dengan ketuhanan. Itu adalah salah satu upayanya ber-Laa ilaaha illallah. Bahasa pancasilanya: upaya untuk meng-Esakan Tuhan.

Tidak salah pula ketika seorang muslim menolak konsep pluralisme yang diusung para liberalis. Konsep yang sebenarnya pernah dinegosiasikan orang Quraysi kepada Nabi Muhammad. Tapi kemudian Nabi menolaknya karena menerima wahyu surah Al Kafirun dari Allah.

BAGAIMANA KALAU KONSEP KETUHANANNYA SUDAH DIHILANGKAN DAN YANG TERSISA HANYALAH SIMBOL BELAKA? Ini yang jadi perdebatan sampai sekarang. Dr. Nurcholis Madjid rahimahullah kasih contoh: "Kenapa kita sekarang dengan rileks memasang gambar Garuda di kantor-kantor kita, padahal itu kan kendaraannya Dewa Wisnu? Apakah kita tidak takut musyrik? Tidak, karena Garuda itu sudah kita bunuh begitu rupa, sehingga sekarang fungsinya tinggal dekorasi atau ornamen. Sebagai orang Islam kita harus memang begitu."

"Contoh lain adalah lambangnya Kampus ITB di Bandung, yaitu Patung Ganesha. Itu lebih gawat lagi, karena Ganesha itu Dewa Ilmu. Apakah para mahasiswa ITB ngalap berkah dari logo Ganesha itu? Jelas tidak. Mereka memakai jaket dengan gambar Ganesha tetapi sholat di masjid Salman. Mengapa? Karena Ganesha sebagai Dewa sudah "dibunuh" atau sudah terkena Laa ilaaha illallah itu. Proses ini penting. Dan itu sebenarnya yang secara sosiologis disebut sekularisasi, devaluasi, atau kadang-kadang juga disebut demitologisasi."

Begitu pula kalau ada muslim Indonesia yang namanya Wisnu, Ganesha atau Fortuna. Apakah mereka berharap berkah dari para Dewa-Dewa itu? Itu sudah harus dihilangkan. Harus didemitologisasi. Harus "dibunuh" dengan Laa ilaaha illallah.

Konsep demitologisasi inilah yang menjadi dasar Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias HAMKA untuk menghalalkan patung. Dulu patung disembah; diberhalakan. Sekarang, patung hanya sekadar karya seni, dekorasi, ornamen. Pun banyak ulama lain yang berpendapat sebaliknya.

DI MANA TOLERANSI ISLAM? Toleransi Islam ada dalam hal kemanusiaan. Nabi Muhammad sendiri mencontohkan bagaimana beliau secara rutin memberi makan kepada tetangga tuna netranya yang Yahudi. Padahal Yahudi itu sering mengkritisi kiprah dakwah Nabi.

Maka sangat tepatlah Nahdhatul Ulama (NU) memasang kalimat mutiara di lobi kantornya: "Mereka yang Bukan Saudaramu Dalam Keimanan adalah Saudaramu Dalam Kemanusiaan." Kalimat itu sangat tepat menggambarkan aplikasi toleransi dalam Islam.

Contoh lain: seorang pegawai di kantor. Karena alasan keimanan, dia menolak memberi ucapan selamat Natal kepada karyawan yang Kristen. Sebaliknya, karena alasan kemanusiaan, dia membela karyawan Kristen yang tidak menerima THR sesuai haknya.

Begitulah ketuhanan dan kemanusiaan itu. Biarlah berjalan di relnya masing-masing. Tidak perlu dibentur-benturkan. Toh di Pancasila pun keduanya punya pasal masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar