Kamis, 21 Mei 2020

Penguasa Versus Oposisi

Sedari awal Pak JK sudah bilang: dia kecewa dengan komposisi Pemerintahan 2019-2024 dimana porsi penguasa lebih besar dibandingkan oposisi. Di eksekutif maupun legislatif.

"Itu menyebabkan proses demokrasi tidak berimbang," kata Pak JK.

Dan yang paling ditakuti, tentunya, bisa terjadi penyalahgunaan kekuasaan secara legal. Sebagaimana terjadi pada era orde baru.

Makanya, tidak heran, sesekali Pak JK turun gunung mengritik kebijakan pemerintah. Yang kemudian disambut negatif oleh buzzer dan pendukung Pak Jokowi. Padahal, Pak JK sudah berusaha menempatkan diri sebagai kritikus, bukan oposisi.

*****

Nah, karena oposisi lemah, partisipasi masyarakat sebagai kritikus maupun oposisi sangat diharapkan. Terkhusus aktifis. Berbasis apapun.

Apakah efektif? Amin Mudzakkir, Peneliti LIPI, memberi contoh, "Penundaan UU Cipta Kerja adalah bukti bahwa Presiden Jokowi mau mendengar, tapi beliau menunggu protes dulu dari masyarakat. Kalau masyarakat tidak protes, bablas sudah."

Dan pada 2020 ini kita sudah melihat beberapa hal yang kebablasan: Satu, KPK versus Harun Masiku. Dua, krisis administratif dalam penanganan covid-19 (kasus staf khusus, data berbeda, kebijakan yang membingungkan, dll.). Tiga, TKA ilegal (data kemenaker versus pernyataan Menteri Luhut).

Yang paling anyar, tentu saja, naiknya tarif BPJS Kesehatan dimana Pemerintah mengabaikan keputusan Mahkamah Agung. Kalau sampai 1 Juli tidak ada yang protes, naik sudah.

*****

Teriring doa, semoga Pemerintahan Pak Jokowi mampu berkinerja baik sampai 2024 nanti. Aamiinn!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar