Minggu, 17 Mei 2020

Bagaimana Imam Bukhari Mengumpulkan Haditsnya?

Shahih Bukhari (dok. Wikipedia)
Ketika kita mendapatkan sebuah informasi, ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk menguatkan informasi itu:

Pertama, datangi sumber informasi. Misal kita dapat info: Pantai Losari kotor. Kita datangi langsung pantainya. Lihat, dengar, dan rasakan! Hehe, kayak lagu.

Kedua, kalau kita tidak bisa mendatangi sumber informasi, kita bisa cek kualitas penyebar informasinya, terpercaya atau tidak. Misal kita dapat info itu dari Aco. Setelah dicek, Aco itu ternyata tukang parkir di dekat Pantai Losari, tinggal di jalan Rajawali dekat pantai, sehari-hari selalu nongkrong di pantai. Sangat bisa dipercaya.

Ketiga, kalau kita tidak bisa datangi sumber informasi; tidak bisa pula cek kualitas penyebar informasinya, kita bisa tanyakan info itu ke banyak orang.

Rumusnya sederhana: semakin banyak orang yang membenarkan info yang kita tanyakan itu, semakin besar pula kemungkinan info itu valid. Apalagi kalau kita tanyakan kepada orang-orang yang berwenang. Petugas kebersihan atau wartawan, misalnya.

*****

Tahun 810, sekira 200 tahunan setelah Nabi Muhammad wafat, seorang anak terlahir ke dunia dengan nama Muhammad bin Ismail. Dia lahir di Bukhara, sebuah daerah yang kini menjadi bagian Uzbekistan.

Dalam perjalanannya, Muhammad bin Ismail Al Bukhara yang kemudian dikenal sebagai Imam Bukhari ternyata punya keterkaitan dengan ilmu agama Islam, terkhusus ilmu hadits. Namun hatinya diliputi keraguan: banyak hadits yang beredar, didengar, dan dihapalnya, tapi tidak jelas apakah hadits itu asli dari Nabi Muhammad atau tidak.

Maka Imam Bukhari pun bertekad mengumpulkan hadits-hadits kemudian menyeleksi keasliannya. Secara tidak langsung, dalam proses pengumpulan hadits, dia memakai tiga metode di atas secara bersamaan.

Pertama, Imam Bukhari melakukan perjalanan jauh mendatangi langsung sumber hadits. Dia pergi ke negeri hejaz (Mekkah dan Madinah), ke Persia (Baghdad, Teheran, dll.), ke Mesir, ke Yaman, dan lain-lainnya. Dia melakukan perjalanan selama 16 tahun.

Kedua, Imam Bukhari megecek sejarah para periwayat hadits. Siapa, apa, dan bagaimana bisa sampai ke Nabi Muhammad (sanad). Secara detil. Jumlah periwayat yang ditelitinya tidak main-main: sekira 80 ribu orang.

Ketiga, Imam Bukhari menanyakan hadits-hadits kepada bukan cuma satu-dua guru yang dijumpainya dalam perjalanan, tapi sampai 1.000 guru lebih. Sejarah mencatat: ada 1.080 guru.

Dari hasil perburuannya, Imam Bukhari berhasil mengumpulkan jutaan hadits. Dia kemudian menyeleksinya secara ketat. Hasilnya: tersisa 9.806 hadits yang disusunnya dalam kitab yang diberi judul Al Jami' Al Musnad As Sahih Al Mukhtasar min Umur Rasulullah Sallallahu Alaihi Wa Sallam wa Sunanihi wa Ayamihi. Kitab itu kemudian dikenal sebagai Shahih Bukhari.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar