Jumat, 22 Januari 2016

Dahlan Iskan: Koran Cetak Dibunuh Wartawannya Sendiri

Dahlan Iskan (foto: Merdeka.com)
Hidup koran semakin sulit, mungkin mati lebih mudah. Dan koran Sinar Harapan memilih cara mudah: mati di akhir tahun 2015. Ada yang berpendapat, itu cuma sementara. Sinar Harapan akan kembali bersinar setelah ada harapan (investor) baru.

Saya 'tak percaya dengan investor baru. Saya percaya dengan kata teman dari Jawa Pos ini, "Sekarang susah koran kecil mau jadi besar. Yang ada, koran besar yang jadi kecil."

Koran Sinar Harapan sudah pernah besar. Kalau toh kemudian dia kecil dan mati, itu berarti dia tidak akan mungkin lagi tumbuh dan menjadi besar.

Dan saya juga meyakini, koran Kompas, Jawa Pos, Media Indonesia, Republika, dan lainnya, akan mati satu demi satu. Begitu pula dengan koran-koran lokal yang mereka kelola.

Hebatnya Produk Subtitusi
Awal 2000-an, bisnis warung internet (warnet) begitu luar biasa. Sejalan beriring dengan masuknya internet ke dalam masyarakat.

Tapi siapa sangka, bisnis itu 'tak bertahan lama. Adanya warung kopi berfasilitas wi-fi dan modem sebagai barang subtitusi membuat bisnis warnet mati total. 

Begitu pula koran cetak, sudah punya produk subtitusi bernama koran on-line dan media sosial via internet. Dengan kecepatan informasi yang lebih wwuusshh dan seketika, rasa-rasanya orang sudah tidak perlu lagi membaca koran.
 
Koran Cetak Dibunuh Wartawannya Sendiri
Dahlan Iskan, dalam bukunya Hidup Antusias, tidak menganggap internet sebagai musuh. Meskipun dia juga meyakini internet akan membuat koran cetak terpojokkan.

Menurut Dahlan, koran, radio, televisi, dan internet, akan memiliki kehidupannya masing-masing. Di jaman ditemukannya radio, koran tidak terbunuh. Di jaman ditemukannya televisi, radio tidak terbunuh. Di jaman ditemukannya internet, televisi pun tidak terbunuh.

Namun Dahlan memrediksi: dulu, ketika televisi muncul, setiap daerah dihuni dua koran yang bersaing. Kini, setelah internet ada, setiap daerah kemungkinan akan ada satu koran saja.

Bahkan dengan keras, Dahlan tidak mempermasalahkan internet, dia mempermasalahkan komitmen wartawan. Dahlan mengamati, justru wartawanlah yang membunuh koran cetak.

Banyak, kata Dahlan, wartawan yang lebih serius menulis di blog pribadinya dan akun media sosialnya dibandingkan menulis di korannya. Bahkan tulisan di blog dan akunnya itu lebih menarik dibandingkan korannya, padahal tulisan di koranlah yang memberikannya gaji.

Dengan miris, Dahlan pun berkata, "Hidup (koran) memang sulit. Tapi mati dengan cara dibunuh oleh orang (wartawan) sendiri sama sekali tidak ada nikmatnya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar