Jumat, 26 Desember 2014

Satu Dekade Tsunami Aceh

Suasana pascatsunami (foto: Hariyo Wibowo)
Di saat pagi tenang
Tiba-tiba laut biru mengekang
Deras air riuh menerjang
Menampar wajah-wajah kaku yang gamang

Seorang anak kecil termenung kelam
Memandangi ruang-ruang yang suram
26 Desember 2004 silam
Aceh tenggelam

Irwandi Yusuf meringkuk di penjara saat gempa menimpa Aceh 26 Desember 2004 silam. Dia merasakan getaran begitu dahsyatnya. Seisi penjara terhenyak, namun Irwandi yang merupakan tawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tenang-tenang saja.

Sampai kemudian, Irwandi melihat burung-burung terbang bergerombol, menjauh dari pantai. Dia pun berfirasat buruk: ada sesuatu yang terjadi di pantai sana. Dia kemudian memutuskan naik ke atas loteng. Di loteng, bersama seorang temannya, dia duduk-duduk sambil menghisap rokok.

Benar saja, ‘tak lama kemudian, tsunami menyapu seluruh yang ada di daratan, termasuk penjara tempat Irwandi dan temannya mendekam. Bangunan rusak, beberapa orang tewas, Irwandi dan temannya selamat.

Sebagai orang asli Aceh, Irwandi jelas sedih atas bencana yang terjadi, terutama korban yang mencapai bilangan ratusan ribu jiwa. Namun dia berusaha kuat dan memaknai hikmah di baliknya.

Dan hikmah itu sungguh terjadi: selepas bencana, Aceh bersatu. ‘Tak ada lagi pertikaian; ‘tak ada lagi GAM. Tahanan GAM dilepaskan, termasuk Irwandi. Semua elemen kemudian bahu-membahu membangun Aceh kembali normal.

Dan siapa sangka, Irwandi Yusuf yang merupakan dosen Universitas Syiah Kuala Aceh jebolan S2 pada Oregon University, Amerika Serikat, terpilih menjadi Gubernur Aceh tiga tahun setelah bencana, tepatnya 8 Februari 2007.

Irwandi memimpin Aceh lima tahun lamanya. Di tangannya, Aceh mencoba bangkit dari keterpurukan. ‘Tak ada lagi sejarah Aceh yang penuh pertumpahan darah. Yang ada hanyalah Aceh yang bersatu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar