Selasa, 03 September 2013

Ramli

“Becak, Daeng!” Teriakku kepada Ramli (29 thn). Dengan sigap dia menyiapkan becaknya untuk kutumpangi. Dia kemudian menggayungnya dengan cepat. Gayungan yang sepertinya menyiratkan beban. Beban untuk memberikan secercah hidup kepada keluarganya.

Ramli memiliki seorang istri dan dua anak. Sehari-hari, dia menghidupi mereka dengan bekerja sebagai tukang becak. Sekira 30 ribu rupiah per hari diperolehnya dari menggayung becak. “Nisyukkurimi anjo (disyukuri itu)!” kata dia, sederhana.

Dulu Ramli pernah bekerja sebagai kuli tambang di Kalimantan. Gajinya lumayan, 1,5 juta rupiah per bulan. Tapi kemudian dia memilih keluar dan kembali ke kampung halamannya, Makassar.

Saat saya tanya alasannya, dia menjawab, “Edede…punna lebba’maki annambang, tenamo ki tanja’ tau (Ah…kalau kita sudah menambang, kita sudah tidak mirip manusia)” Dia menggambarkan dirinya yang sangat kurus dan hitam sekeluar dari lubang tambang.

Ya…rinnimo, Daeng (Ya…di sini saja, Daeng)!” Tibalah aku di tempat tujuan. Lembaran lima ribu rupiah kuberikan kepada Ramli. Dia mencium uang itu dan menempelkannya di dahi. Ciri khas orang Makassar dalam mengungkapkan rasa syukur karena telah mendapatkan uang. Ah….boyanna doeka (carinya uang)!

“Sebagaimana burung dilahirkan untuk terbang dan ikan untuk berenang, manusia dilahirkan untuk bekerja.” (Nabi Ayyub)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar