Sabtu, 04 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1965-1979): Hidup di Salemba, Nusakambangan dan Pulau Buru

Kerja paksa di Pulau Buru (foto: narodnaknjiga.co.yu)
Pada 1965, Pramoedya Ananta Toer (Pram) ditahan di Penjara Salemba karena keterkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pram harus meninggalkan istrinya Maemunah yang baru saja melahirkan putra keduanya. Maemunah telah mengaruniakan kepada Pram enam orang anak, empat perempuan dan dua lelaki (satu lelaki meninggal dunia saat masih kecil), sehingga jumlah anak Pram yang hidup berjumlah delapan anak, lima dari Maemunah dan tiga dari istri pertamanya.

Tidak hanya itu, naskah-naskah tulisan Pram juga dirampas dan dihilangkan, di antaranya lima jilid Panggil Aku Kartini Saja dari tujuh jilid yang direncanakan (jilid I dan II telah terbit pada 1962) dan dua jilid Gadis Pantai dari trilogi yang direncanakan (hanya terbit satu buku lama kemudian). Massa yang menyerang rumah Pram di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur, membuat api unggun di belakang rumah dan membakar satu demi satu naskah tulisan Pram.

Di Penjara Salemba, Pram menghabiskan waktunya dengan belajar bahasa Jawa Kuno, Jerman dan Prancis. Istri Pram, Maemunah, juga secara rutin mengirimkan makanan dan menjenguk Pram setiap jadwal kunjungan. Pada kunjungan tertentu, anak-anak Pram juga datang menjenguk. "Saya ingat, saya memegang Astuti di pangkuanku dan berbisik di telinganya," kata Pram.

Pram sungguh tertekan dalam penjara. Dalam pikirannya banyak penyesalan-penyesalan. Salah satunya, Pram menyesal menyuruh dua adiknya (Koesalah dan Soesilo) sekolah di Rusia sehingga mereka juga dituduh komunis dan ditangkapi. Sebelumnya, Prawito adik Pram juga ditangkapi, sehingga ada empat laki-laki dari keluarga Toer yang ditangkap. Hal tersebut membuat sedih keluarga Pram di Blora. Apalagi, dalam pikiran keluarga, tahanan komunis kemungkinan akan dibantai sampai mati.

Selama di penjara, Pram tidak memberikan nafkah kepada keluarganya. Maemunah pun berjuang sendirian menghidupi delapan anaknya. Maemunah berjualan makanan untuk mencari uang membiayai kebutuhan anak-anaknya. Penderitaan Maemunah dan anak-anaknya semakin bertambah ketika orang-orang di sekitar mencibir dan menuduh mereka sebagai komunis. Atas kondisi tersebut, Pram merasa menyesal dan bertanggungjawab. Rasa tanggungjawab Pram ditunjukkannya dengan menyuruh Maemunah menikah lagi, tapi Maemunah menolaknya dan tetap setia kepada Pram.

Selain fisiknya ditahan dan keluarganya dicibir, buku-buku Pram juga dilarang terbit dan beredar di Indonesia. Anehnya, buku-buku Pram justru dicetak di negara tetangga Malaysia. Buku Keluarga Gerilya bahkan menjadi buku wajib bagi para pelajar Malaysia selama bertahun-tahun. Royalti dari buku-buku yang dicetak di Malaysia itulah yang kemudian diperjuangkan Maemunah melalui perantara beberapa pihak untuk diperoleh.

Pada Juli 1969, sekira 500 tahanan termasuk Pram dipindahkan dari Penjara Salemba menuju Penjara Nusakambangan di sebuah pulau di lepas pantai Selatan Jawa. Keadaan Penjara Nusakambangan cukup menjijikkan. Lantai barak penjara itu ditutupi dengan bukit dari kotoran manusia. Sebulan di Nusakambangan, pada 16 Agustus 1969, Pram bersama banyak tahanan lainnya diangkut oleh Kapal Adri XV milik Militer menuju Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Kapal berlayar sekira 10 hari lamanya.

Pulau Buru adalah pulau liar yang pada 1969 tidak ada kehidupan sama sekali. Di bawah pengawasan Militer, Pram dan tahanan lainnya memulai kehidupan di pulau itu dengan menggarap perkebunan. Berbekal cangkul, parang dan gergaji, mereka mulai membangun jalan dan membuka ladang untuk menanam singkong, tebu dan jagung. Untuk menambah tenaga dalam bekerja, para tahanan memakan apa saja: ular, cacing, tikus, kucing dan anjing. Banyak tahanan yang tidak bertahan hidup karena sakit dan lapar. Pram sendiri beratnya merosot sampai hanya sekira 58 kilogram dan menderita penyakit maag yang sampai berdarah.

Pram dan kawan-kawan dibawa ke pulau Buru (dok. CNN)
Para tahanan hidup dan bekerja keras di bawah otoritas brutal Militer penjaga kamp. Para tahanan hanya memiliki pakaian lusuh; beberapa tahanan bahkan sampai telanjang bekerja di ladang. Pram sendiri beruntung karena memperoleh kiriman baju dari Maemunah yang diselundupkan melalui seorang pendeta Jerman. Seseorang juga memberikan Pram pena dengan tinta dan kertas untuk menulis. Pram pun kemudian mencoba mengatur jadwal 15 menit sehari untuk menulis, tetapi dia tidak konsentrasi. "Saya tidak bisa mengumpulkan pikiran saya," kata Pram. Dan, beberapa waktu kemudian, Pram membarter alat tulisnya itu dengan sebuah topi koboi yang melindunginya dari matahari.

Pada 1973, kehidupan mulai terlihat di Pulau buru. Beberapa tanaman tumbuh subur. Orang-orang mulai makan teratur, melepaskan pikiran dengan memancing dan mengumpulkan tanaman pangan dari hutan, serta memelihara hewan. Pram sendiri memiliki delapan ekor ayam. Pram juga mulai berolahraga secara teratur. Pram dan tahanan lainnya juga saling berbagi pengetahuan tentang akupresur, obat-obatan herbal dan obat tenunan sendiri yang bisa menyembuhkan kejang perut. Dari situ, penyakit maag yang diderita Pram sejak dari penjara Salemba sembuh karena khasita sebuah air. Selain itu, "Orang-orang menghibur diri dengan alat musik buatan sendiri dan dengan berbagi surat mereka yang berharga dari rumah," Pram bercerita.

Pada suatu ketika, gairah menulis pram bangkit lagi. Secara sembunyi-sembunyi, Pram pun mulai menulis dengan bantuan teman-temannya yang menyelundupkan pena, tinta dan kertas untuknya. Hingga keajaiban datang pada Oktober 1973, dimana ketika Jend. Soemitro datang ke Pulau Buru, dia mengizinkan Pram untuk menulis. Pram bahkan disediakan satu ruangan khusus dengan peralatan mesin ketik. Di ruangan khusus itu, Pram secara bebas menulis, terlebih teman-teman Pram memasok rokok dan kopi untuk Pram. 

Di ruangan itu, Pram mengumpulkan pikirannya untuk merumuskan tulisan-tulisan baru. Maka lahirlah tulisan Pram berupa quartet Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Selain itu, Pram juga menulis beberapa surat untuk istrinya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya. Dalam surat-surat itu, Pram menyampaikan banyak hal yang kemudian menjadi dasar bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit lama kemudian.

Atas desakan dunia internasional, para tahanan komunis akhirnya dibebaskan secara bertahap pada 1978 hingga 1979. Pram termasuk yang bebas pada 1979. Pram bersama tahanan lainnya dipulangkan dengan kapal laut menuju Surabaya. Dari Surabaya, mereka naik kereta menuju Penjara Salemba, Jakarta, sebelum akhirnya dibebaskan ke rumah asal masing-masing. Sekeluar dari Penjara Salemba, Pram dijemput oleh adiknya Koesalah.

Pram dan adiknya Koesalah disambut anak-anaknya (dok. CNN)
Pram menggendong anaknya (dok. CNN)
Pram memandang wajah anaknya (dok. CNN)
Pram memeluk istrinya Maemunah (dok. CNN)
Pram disambut keluarganya saat lepas dari Pulau Buru (dok. CNN)

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Biography of Pramoedya Ananta Toer, oleh James R. Rush.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar