Kamis, 02 Agustus 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1960-1965): Di-PKI-kan dan Dipenjara di Salemba

Pram (foto: kolom-biografi.blogspot.com)
Awal 1960-an adalah masa dimana perseteruan antara komunisme dengan anti-komunisme memanas di Indonesia. Terlebih setelah Presiden Soekarno melalui pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 menetapkan Demokrasi Terpimpin sebagai haluan negara dengan Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) sebagai akarnya. Soekarno menyebut hal tersebut sebagai manifest politik (manipol) dan kemudian disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Perseteruan komunisme dengan anti-komuniems juga melibatkan para sastrawan Indonesia, 'tak terkecuali Pramoedya Ananta Toer (Pram). Pram mendukung kebijakan Soekarno dan melawan pihak-pihak yang menentangnya. Makanya, selepas dari penjara Cipinang pada akhir 1960, Pram menjadi Redaktur rubrik Lentera dalam Majalah Bintang Timur milik Partai Indonesia (Partindo), partai yang politiknya sejalan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Melalui Lentera, Pram kemudian menyerang para sastrawan yang dianggapnya tidak sejalan dengan haluan Demokrasi Terpimpin. Pram menyebut para sastrawan yang anti-komunisme sebagai anti-manipol dan kontra revolusi. Para sastrawan yang anti-komunisme menggabungkan diri mereka dalam Manifest Kebudayaan yang didirikan pada 17 Agustus 1963 dan menyebut diri mereka sebagai penganut humanisme universal. Pram mengolok-olok Manifest Kebudayaan dengan menyebutnya Manikebu. Pram juga mengritisi humanisme universal dan menganggapnya sebagai bagian dari imperialisme-neokolonialisme.

“Kaum Manikebu muncul justru pada saat kita sedang mengarahkan sasaran tembakan pada kaum imperialis-neokolonialis sebagai titik-pusat tembak. Mereka muncul pada garis tembak kita. Apakah mereka tidak kena tembakan?” tanya Pram di Lentera pada 12 April 1964. Lantas Pram melanjutkan, “Pasti kena sasaran tembakan kita secara 'tak terhindarkan. Dengan demikian mereka melemahkan daya tembak kita. Ini adalah bukan hal yang kebetulan.”

Pram kemudian mengeluarkan wacana realisme sosialis sebagai tandingan bagi humanisme universal. Realisme sosialis meletakkan kenyataan dan kebenaran yang lahir dari pertentangan-pertentangan di dalam masyarakat maupun di hati manusia sebagai dasar material kesenian. Seni adalah untuk rakyat. Adapun humanisme universal adalah perjuangan kebudayaan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Intinya, seni untuk kemanusiaan.

Pram juga meneror para sastrawan Manikebu agar dipecat dari jabatan publiknya dan karya-karyanya dilarang untuk diterbitkan, serta tulisan-tulisannya dilarang dimuat dalam majalah dan koran. Dampaknya, Presiden Soekarno membubarkan Manikebu pada 18 Mei 1964. Para sastrawan Manikebu kemudian menjadi "sengsara, terpojok dan tanpa karya," kata Taufiq Ismail, salah seorang pendiri Manikebu.

Entah apa yang ada di pikiran Pram waktu itu. Ajip Rosidi menilai tindakan Pram adalah atas pemikirannya sendiri, bukan atas permintaan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) maupun PKI. Sebabnya, karena Pram sangat mendukung kebijakan Soekarno. Namun karena tindakan Pram menguntungkan pihak kiri, dukungan pun mengalir. Serangan Pram dimanfaatkan pihak kiri untuk menarik perhatian Presiden Soekarno dan mereka siap mengerahkan massa untuk mendukung Pram. "Pram dimanfaatkan," tegas Ajip.

Ajip berpikir tidak mungkin Pram berpaham komunis karena Pram sangat individualis, tidak sama rasa sama rata seperti komunisme. Pram juga punya kepala sendiri, tidak tunduk pada ketentuan partai seperti sistem di PKI. Jadi tidak mungkin Pram berpaham komunis dan tidak mungkin dia menjadi anggota PKI. Hal tersebut diakui Pram belakangan. Pram bahkan mengaku banyak berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh PKI, seperti Njoto dan Aidit.

Namun perseteruan antara dua kubu terlanjur meledak. Manikebu melalui para sastrawannya, di antaranya Taufiq Ismail, HB Jassin dan Mochtar Loebis, menyerang balik para sastrawan Lekra. Satu yang dituju adalah Pram. Taufiq Ismail berkata, "Lekra adalah antek PKI yang pada zamannya melakukan penindasan brutal terhadap orang-orang Manikebu." Bersama DS Moeljanto, Taufiq juga menulis sebuah buku berjudul Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.

Pada 1965, perseteruan mengalami puncaknya ketika terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang berakibat komunisme dan PKI dihabisi hingga ke akar-akarnya. Presiden Soekarno dilengserkan dari jabatannya. Para anggota PKI dan yang diduga terlibat PKI ditangkapi satu persatu dan dipenjara, bahkan sebagian besar dibantai sampai mati. Itu pula yang terjadi pada Pram, dia di-PKI-kan dan dipenjara di Salemba tanpa proses pengadilan.

Kejadian penangkapan Pram terjadi pada Oktober 1965. Rumahnya di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur diserbu massa, gabungan dari masyarakat dan militer. Dia bersama adiknya Koesalah kemudian ditangkap dan dibawa ke markas Komado Daerah Militer (Kodam) sebelum akhirnya dimasukkan ke Penjara Salemba. Massa juga menyita naskah-naskah tulisan Pram, termasuk naskah Panggil Aku Kartini Saja sebanyak lima jilid dari tujuh jilid yang direncanakan (sebelumnya pada 1962, Panggil Aku Kartini Saja jilid I dan II telah diterbitkan). Naskah yang disita massa tersebut kemudian hilang dan tidak pernah terbit.           

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Digdaya Pramoedya!, oleh Iswara N. Raditya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar