Selasa, 24 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1942-1947): Sekolah di Taman Siswa, Masuk Militer dan Dipenjara

Pram (foto: koleksi keluarga Pram)
Pada 1942, Pramoedyo (Moek) bersama adiknya Prawito (Pra) meninggalkan kampungnya Blora menuju Jakarta. Moek dan Pra tinggal di rumah pamannya Moedigdo (Om Dig) dan istrinya di daerah Gang Sawo, Kemayoran. Di rumah Om Dig, Moek dan Pra hidup pas-pasan dengan hanya makan sekali sehari, itu pun cuma bubur. Maklum, keadaan waktu itu memang sangat susah sekali. Moek juga melakukan banyak pekerjaan rumah membantu tantenya: ngepel, nyuci, nyetrika, termasuk belanja.

Dalam keadaan seperti itu, Moek tetap bersyukur karena bisa hidup, makan dan bersekolah. Oleh Om Dig, Moek dimasukkan ke sekolah Taman Siswa yang berjarak dekat dari rumah, hanya sekira 100 meter. Hal yang kemudian membuat Moek sangat menghormati Om Dig atas jasanya tersebut. Taman Siswa adalah sekolah yang didirikan Ki Hadjar Dewantara dan cukup besar kala itu, memiliki sekira ratusan cabang di seluruh Indonesia.

Di Taman Siswa, jiwa menulis Moek berkembang. Moek kemudian berteman dengan tiga orang yang juga penulis: AK Hadi, Asrul Sani dan Sandjaja. Keempatnya dikenal sebagai Empat Serangkai Taman Siswa yang sering ikut lomba menulis. Dalam perlombaan, AK Hadi selalu menjadi yang nomor satu, disusul Moek, Asrul Sani dan Sandjaja. Oleh teman-temannya, Pramoedyo akrab dipanggil Pram, bukan Moek.

Suatu ketika, Pram menulis surat kepada Bapaknya di Blora. Dalam surat itu, Pram menyampaikan bahwa dia sudah bersekolah setingkat SMA. Pram juga meminta uang kepada bapaknya untuk membeli sebuah buku. Namun, surat Pram 'tak pernah dibalas oleh bapaknya; uang pun 'tak pernah dikirimkan, padahal seminggu lalu bapaknya mengirimkan uang kepada Pra. Pram kembali sakit hati kepada bapaknya dan berjanji tidak akan lagi meminta uang kepada bapaknya. Pram lalu memutuskan untuk mencari kerja.

Sambil bersekolah, Pram akhirnya bekerja di kantor berita Domei (sekarang kantor berita Antara) sebagai juru ketik. Pram bersekolah di pagi hari dan bekerja di sore hari. Uang hasil kerja dipakai Pram membiayai sekolah Pra, sebagian dikirim ke Blora. Di tempat kerjanya, Pram banyak belajar sastra dan pers, termasuk banyak membaca buku-buku untuk menambah wawasannya. Saat libur di hari Ahad, Pram juga meluangkan waktunya membaca buku di perpustakaan Gedung Gajah.

Pada 1945, Pram membantu Om Dig mengurusi penerbitan majalah The Voice of Free Indonesia. Setelah itu, Pram diajak AK Hadi bersama puluhan pemuda bergabung dengan tentara Siliwangi (Militer) di Cikampek. Pram pun menjalani kehidupan baru di Militer. Awalnya, Pram bertugas di bagian perhubungan dimana AK Hadi sebagai Komandannya, tapi kemudian Pram pindah ke bagian perkabaran (korespondensi).

AK Hadi menceritakan kenangan di Militer saat Pram menjadi anakbuahya, "Pram pernah ngawal saya mbongkar gudang bahan makanan punya Belanda.... Pram pernah bertengkar dengan yang namanya Durahman. Entah masalah apa mereka bertengkar, saya ndak tahu. Tapi waktu itu Durahman sempat menodongkan pistolnya pada Pram. Anehnya, Pram bukan angkat tangan, malah berteriak sambil nudingkan telunjuknya pada pistol Durahman, 'Masukkan! Masukkan!' Katanya. Tapi Pram kemudian menjadi koresponden militer. Jadi kami berpisah."  

Saat menjadi koresponden Militer, Pram belajar banyak perihal ilmu pengarsipan dan pers karena tugasnya memang mendokumentasikan kejadian lalu memberitakannya kepada beberapa media, di antaranya koran Merdeka milik BM Diah, majalah Pantja Raja, majalah Siasat dan lainnya. Selain itu, Pram juga banyak mengunjungi daerah-daerah seperti Kranji, Bekasi, Cibubur dan salah satunya Purwakarta tempat dimana dia bertemu dengan istri pertamanya. Setiap hari, dia menuliskan pengalamannya di beberapa daerah itu, muncullah artikel Pram berjudul Kemana, Tanpa Kemudian, Sepuluh Kepala Nica dan lainnya yang juga dimuat di media.

Dua tahun di Militer, Pram mengundurkan diri pada 1947. Pram kecewa melihat praktik korupsi yang terjadi di tubuh Militer. Menurut Pram, praktik tersebut tidak ada bedanya dengan kekejian penjajah. "Kalau menghadapi musuh mereka lari. Tapi kalau menghadapi bangsa sendiri, kejamnya bukan main," ujar Pram. Pram keluar dari Militer dengan keputusan resmi, ada suratnya. Di surat itu tertulis bahwa Pram berhak atas gaji selama enam bulan dan biaya pulang ke tempat tujuan asal. Tapi setelah dua bulan menunggu, Pram tidak memperoleh hak-haknya. Pram pun pulang ke Jakarta dengan menumpang gratis kereta api.             

Di Jakarta, Pram bekerja di majalah The Voice of Free Indonesia yang didirikannya bersama Om Dig. Pram juga menerbitkan novel pertamanya hasil pengalamannya di Militer: Kranji Bekasi Jatuh. Atas tulisan-tulisannya, Pram menjadi buronan penjajah. Puncaknya, ketika markas The Voice of Free Indonesia di Kemayoran dikepung tentara penjajah (Inggris dan belanda). Pram akhirnya ditangkap dan ditahan di Penjara Bukitduri, Jatinegara. Naskah asli beberapa tulisannya dirampas dan hilang entah di mana.

Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar