Rabu, 18 Juli 2012

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer (Episode 1925-1942): Dari Blora Menuju Jakarta

Pram (foto: Indo Progress)
5 Februari 1925, di Blora, Jawa Tengah, seorang lelaki bernama Pramoedyo terlahir ke dunia. Bapaknya Mastoer adalah guru di sekolah Boedi Oetomo; ibunya Oemi Saidah adalah petani. Mastoer dan Oemi Saidah juga memiliki darah sastra dalam bentuk tulisan dan dongeng. Pramoedyo yang oleh bapak-ibunya dipanggil Moek dan oleh saudara-saudarinya dipanggil Mas Moek adalah sulung dari delapan bersaudara, lima lelaki dan tiga perempuan: Pramoedyo, Prawito (Waloejadi), Koenmarjatoen, Oemi Safaatoen, Koesaisah, Koesalah, Soesilo dan Soesetyo. 

Moek menjalani masa kecil sebagaimana anak-anak desa pada umumnya: bermain, mengaji dan bersekolah. Dalam bermain, Moek selalu menjadi anak kalahan. Permainan apapun: gaplek, gundu atau apapun, dia selalu kalah. Dalam mengaji, Moek diajari Pak Kanapi di rumahnya. Dia mengaji bersama saudara-saudaranya dan anak-anak yang ditampung dan menumpang di rumahnya.  

Dalam bersekolah, Moek 'tak berprestasi sama sekali, dia malah tiga kali tidak naik kelas. Walhasil, SD pun diselesaikannya dalam waktu 10 tahun pada umur 15 tahun. Ketika Moek menyampaikan kepada bapaknya bahwa dia sudah lulus SD dan ingin melanjutkan ke SMP, bapaknya lantas berkata, "Anak goblok! Sana kembali!"

Mendengar bapaknya bicara seperti itu, Moek sakit hati dan menangis. Dia lalu pergi membawa air mata dan buku-buku yang digenggamnya. Lalu kemudian, ibunya datang menghibur, "Sini Nang, ayo ikut ibu!" Moek diajak ibunya memanen padi. Hasil panen lalu dijual untuk mendapatkan uang. Moek lalu diberi uang oleh ibunya untuk melanjutkan sekolah. 

Beda dengan bapaknya, ibunya justru sangat mengerti Moek. Berkat uang dari ibunya itu, Moek melanjutkan pendidikan di Sekolah Teknik Radio di Surabaya pada 1940. Alasan Moek memilih sekolah itu sederhana saja: murah dan cepat selesai, hanya satu setengah tahun. Maklum, uang dari ibunya sangat pas-pasan. Moek pun selesai tepat waktu pada 1942, tapi tidak sempat mengambil ijazah karena di saat yang sama Jepang telah menduduki Surabaya. Moek kemudian kembali ke Blora karena tidak mau ikut wajib militer.

Sekembali di Blora, Moek menceritakan kepada bapaknya semua hal yang diketahuinya di Surabaya. Namun bapaknya berkomentar pedis, "Ah, kamu tahu apa!" Moek lagi-lagi sakit hati kepada bapaknya. Rasa sakit hati itu dijadikan Moek sebagai pembakar semangat bahwa dia harus lebih berhasil dari bapaknya. Selain terkenal sebagai guru, Mastoer juga terkenal sebagai tokoh masyarakat berpengaruh di Blora karena jasa-jasanya menampung banyak anak dan menyekolahkannya.

Untuk lebih berhasil dari bapaknya, Moek memulai hidup mandiri dengan bekerja. Terlebih pada masa Jepang, keadaan ekonomi keluarga memburuk. Moek bekerja dengan berjualan barang-barang apa saja untuk membantu kehidupan keluarganya: tembakau, benang, piring, cangkir dan lainnya. Kondisi saat itu memang serba apa adanya, setiap orang butuh apa saja, sehingga jual apa saja pasti laku. Moek membeli barang-barang dari orang-orang yang menjarah toko-toko Cina. Selain menjualnya, Moek juga memberikan sebagian barang-barangnya kepada ibunya. 

Di tahun 1942 pula, Ibu Moek wafat di usia yang masih sangat muda, 34 tahun. Keadaan pun berubah. 'Tak lama kemudian, Moek dan adiknya Prawito (Pra) dibelikan karcis oleh bapaknya menuju Jakarta. Entah apa penyebabnya, Moek menduga bapaknya melakukan itu untuk mengurangi beban keluarga; atau kemungkinan lain, bapaknya punya keinginan untuk menikah lagi. Entahlah, yang jelas kala itu Moek merasa terusir dari rumah.

Referensi: Riwayat Hidup Singkat, oleh Pramoedya Ananta Toer; Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar