Jumat, 21 Oktober 2011

Melihat Kemajuan Singapura

KAMI masuk ke Singapura melalui Batam pada Kamis sore, 3 Februari 2011, sekira pukul 05.00 petang. Menggunakan kapal Ferry berukuran sedang yang kalau ombak sedang kencang, keadaannya cukup menegangkan. Lama perjalanan yang kami tempuh kurang-lebih 45 menit.

Jajaran gedung megah di Singapura
Hampir tiba di Singapura, tampak samar dari jauh gedung-gedung yang menjulang tinggi. Semakin dekat semakin terlihat jelas, menakjubkan! Gedung-gedung itu adalah simbol kemajuan Singapura.

Merapat ke pelabuhan, mata kami tertuju pada kerlap-kerlip cahaya belasan gondola yang menggantung di tali listrik. Gondola-gondola itu adalah salah satu wahana Sentosa Resort, kawasan hiburan andalan Singapura.

Pada 1983, satu dari gondola itu jatuh dan menewaskan satu keluarga kecuali seorang bayi kecil. Bapak dari bayi itu yang kebetulan tidak ikut kemudian mendapatkan uang asuransi dari pemerintah Singapura sebesar 2 juta dollar.

Jembatan yang melalui sungai Singapura
Masuk ke pelabuhan, kami langsung berhadapan dengan Imigrasi Singapura yang sangat ketat. Kami harus antri satu persatu untuk pemeriksaan paspor dan barang bawaan. Bandingkan dengan Imigrasi Indonesia di Batam yang kalau kita berkelompok, paspor bisa dikumpulkan kepada satu orang lalu diperiksa; yang lain tinggal menunggu saja di tempat duduk sambil merokok dan ungkang-ungkang kaki.

Sekeluar dari pelabuhan, kami dijemput oleh bis pariwisata yang telah disiapkan oleh pihak travel. Kami kemudian dibawa menuju Johor, Malaysia. Esok hari, kami memang akan berkeliling kota Kuala Lumpur lebih dulu, baru pada Sabtu pagi kami berkeliling kota Singapura.

Tata kota Singapura yang rapi dan bersih
SABTU, 5 Februari 2011, kami memasuki kota Singapura setelah menghabiskan sehari sebelumnya di kota Kuala Lumpur, Malaysia. Sekali lagi, kami harus melakukan pemeriksaan paspor dan barang bawaan di Imigrasi Singapura yang sangat ketat.

Saking ketatnya, kami dilarang mengambil gambar apapun. Kamera pengintai juga terpasang di mana-mana. Sekeluar dari Imigrasi, kami langsung berjalan-jalan mengelilingi kota Singapura.

Singapura betul-betul sebuah kota, jadi jangan cari kampung di sini. Ukurannya sangat kecil: dari utara ke selatan hanya berjarak 15 kilometer; dari barat ke timur hanya berjarak 43 kilometer. Cukup kecil, bukan? Dulunya Singapura memang bergabung dengan Malaysia, tapi kemudian memisahkan diri menjadi negara sendiri.

Meskipun kota Singapura sangat kecil, jangan berpikir untuk bisa mengelilinginya dalam waktu cepat. Kenapa? Jalanan di Singapura didesain satu jalur (one way street), dimana kalau kita ingin melalui jalanan yang sama, kita harus memutar dulu selama 30 menit. Bandingkan dengan jalanan di Indonesia yang kalau kita mau memutar tinggal memotong saja, melanggar aturan rambu-rambu jalan. Bahkan ada yang berani berkendaraan menyusuri jembatan penyeberangan yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki.

Jalanan di Singapura juga sangat rapi, bersih dan teratur. Tidak macet, kotor dan semrawut seperti jalanan di Indonesia. Bis yang kami tumpangi pun bisa berjalan dengan lancar, tanpa hambatan. Rambu-rambu jalan dan lampu merah berfungsi dengan sangat baik, sehingga memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna jalan, baik yang berkendaraan maupun pejalan kaki.

Ukuran kota yang kecil juga tidak membuat pemerintah Singapura mengabaikan kehijauan kota. Bayangkan, 40 persen wilayah Singapura adalah pebukitan yang ditumbuhi pepohonan, sisanya adalah perumahan, perkantoran, sekolah dan kawasan industri.

Pohon-pohon yang tumbuh di Singapura diimpor dari Malaysia, Thailand, termasuk Indonesia. Sejauh mata memandang, pohon-pohon tertata dengan sangat rapi dan cukup memberikan oksigen segar yang maksimal.

Pemerintah Singapura juga sangat higienis dalam mengelola sumber dayanya. Air, misalnya, diusahakan sehemat mungkin penggunaannya. Air di tempat umum penggunaannya memakai sensor sehingga tidak bisa digunakan seenaknya, melainkan hanya seperlunya.

Gedung megah di sekitar sungai Singapura
Bahkan kalau kita kencing di Singapura, itu berarti kita telah menyumbangkan 10 persen air bagi warga Singapura. Air kencing di Singapura didaur ulang dengan menggunakan teknologi e-water. Luar biasa!

Tanah lain lagi, tanah di Singapura dimiliki penuh oleh pemerintah. Setiap orang atau kelompok hanya memiliki hak guna selama waktu yang ditentukan. Setelah itu, tanahnya akan diambil alih oleh pemerintah; bangunannya dibongkar.

Begitu pula dengan manusia, juga diatur eksistensinya. Setiap suami-istri hanya diperbolehkan memiliki dua anak atau tiga paling maksimal. Kalau lebih dari itu, tidak akan ditanggung oleh pemerintah dan dijamin anak itu tidak akan mendapatkan pekerjaan.

Untuk perumahan, kebanyakan rakyat Singapura tinggal di rumah susun. Penghematan lahan pun bisa berjalan karena warga hidup di tempat yang vertikal ke atas. Meskipun begitu, terdapat juga kawasan rumah elit yang ekslusif. Beberapa orang kaya dan terkenal Indonesia diketahui memiliki rumah elit itu, di antaranya Abu Rizal Bakrie (Bakrie Group), Aksa Mahmud (Bosowa Group), dan Amin Syam (mantan Gubernur Sulawesi Selatan).

Sekira 70 persen penduduk Singapura adalah orang Cina, 20 persen orang Melayu, 5 persen orang India dan 5 persennya lagi eurasia, perpaduan antara orang eropa dan asia. Beragamnya penduduk tersebut menyebabkan beragamnya agama di Singapura. Ada Budha, Konghucu, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Shikh, dan yang tidak memiliki agama juga ada.

Patung Mama Singa berlatar Gedung Perahu Merlion Park
WELCOME to The Fine City adalah jargon Singapura. Jargon itu bukan berarti kota yang baik, tapi kota yang penuh dengan denda dan pajak. Anda merokok sembarangan, akan dikenakan denda sebesar 400 dollar. Anda berkendaraan pribadi, siapkan saja 70 dollar perhari untuk bayar parkir, tol, dan lainnya. Bahkan pada saat Anda mati, keluarga Anda harus membayar 600 dollar untuk kuburan Anda. Kalau jasad Anda dibakar, lebih mahal lagi, 1.200 dollar. Mungkin kalau ini diterapkan di Indonesia, masyarakatnya sudah demonstrasi di mana-mana dan rusuh.

Patung Mama Singa, ikon Singapura
TEMPAT pertama yang kami kunjungi di Singapura adalah patung Mama Singa, patung kepala singa bertubuh ikan duyung. Patung berwarna putih ini sangat terkenal di seluruh dunia dan menjadi ikon Singapura. Terletak di pinggir sungai Singapura; dikelilingi bangunan-bangunan megah: Maybank, HSBC, Pullerton Hotel, dan lainnya.

Gedung Durian Esplanade
Gedung Perahu Merlion Park

Dari tempat patung Mama Singa, juga terlihat di seberang sungai Singapura sana bangunan gedung durian Esplanade dan gedung perahu Merlion Park yang sangat eksotik, berestetika tinggi. Esplanade adalah tempat pertunjukan yang menurut informasi menjadi tempat pertemuan pertama antara Krisdayanti dan Raul Lemos. Merlion Park adalah gedung tempat perbelanjaan, hotel dan casino.

Beberapa turis menikmati suasana dengan menggunakan perahu wisata yang melintasi Sungai Singapura. Dari senyum yang mengembang di wajah turis-turis itu, tampak mereka sangat puas dan menikmati suasana yang ada. Singapura memang layak menjadi tempat tujuan wisata.

Perahu wisata di Sungai Singapura
Selepas dari melihat-lihat patung Mama Singa, kami kemudian makan siang di sebuah restoran dalam mall, Dewi Sartika. Makanan di restoran ini khas sunda, sangat enak. Pemiliknya orang Indonesia asli.

Setelah makan, kami melanjutkan dengan salat berjamaah di masjid Al Falah, masjid yang dari depan berbentuk ruko. Cukup enak dipakai untuk beribadah karena tempat bersucinya bersih; begitu pula tempat salatnya, sejuk dan luas.

Pada siang hari, kami mengunjungi Sentosa Resort, kawasan hiburan yang konsepnya hampir serupa dengan Genting Highland Malaysia, one stop entertainment. Sarananya juga sama: mall, restoran, café, hotel, casino, wahana permainan Universal Studio dan lainnya. Di Sentosa Resort ini juga terdapat patung Bapak Singa yang menyerupai patung Mama Singa.

Sore harinya, kami kembali ke Batam menggunakan kapal Ferry Pacific milik Singapura. Di pelabuhan kapal, sebelum berangkat, ‘tak lupa kami singgah di toko pernak-pernik Singapura yang termurah. Toko yang dikenal karena barang-barangnya yang dijual paket: 10 dollar 3 barang, meskipun sebenarnya barang-barang tersebut juga dijual di Batam dan harganya lebih murah.

Ketika kapal Ferry perlahan melaju meninggalkan pelabuhan, tampak bangunan kondominium mewah dekat pelabuhan. Bentuknya minimalis, harganya mahal. Pemilik kondominium itu, menurut informasi, 60 persen adalah orang-orang Indonesia.

Singapura maju, Indonesia tertinggal. Anehnya, orang Indonesia banyak yang berinvestasi di Singapura. Fenomena yang menjadi sebuah pertanyaan memang.

2 komentar:

  1. Enak ya sob jalan2 ke singapure.
    jgn lupa ya sob mampir diblog ku jga.
    www.idjas.blogspot.com

    BalasHapus