Sabtu, 12 Maret 2016

Dr. Syafruddin, Profesor Malaria dari Unhas Makassar

Din dan anaknya Harumi (dok. pribadi Amaliah Harumi Karim)
Syafruddin, akrab disapa Din. ‘Tak banyak yang mengenal pria kelahiran Ujung Pandang, 16 Mei 1960 itu. Dia ‘tak seterkenal Jusuf Kalla atau Abraham Samad. Ketika terjatuh akibat stroke ringan pun, dia ‘tak menjadi berita besar.

Namun oleh koleganya di Kedokteran Universitas Hasanuddin, apalagi teman-teman seangkatannya, Din terbilang spesial. ‘Tak salah jika Unhas akan mengangkatnya menjadi Guru besar April mendatang.

Di dunia kedokteran, Din punya andil dalam penanganan penyakit malaria. Bersama Lembaga Penelitian Eijkmann Unit Malaria yang dipimpinnya sejak 1995 hingga 2014, Din meneliti malaria sampai ke pelosok-pelosok daerah Indonesia. Hasilnya, 62 artikel penelitiannya berhasil dimuat dalam Jurnal Internasional Kedokteran. Lembaga Kesehatan Dunia WHO menjadikannya rujukan.

Sekolah
Anak ke-4 dari Abdul Karim dan Kasturi (keduanya sudah wafat) itu masuk Unhas pada 1978. Dari rumahnya di jalan Bete-bete, dia berjalan kaki ke kampus Kedokteran Unhas di jalan Kandea. Dia menyelesaikan kuliahnya pada 1985 dan lalu menjadi dosen setahun kemudian.

Pada 1987, Din bersama beberapa dosen Unhas mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Toyama Medical & Pharmaceutical University, Jepang. Lima tahun kemudian, Din menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar PhD.

Keluarga
‘Tak hanya gelar Doktor yang diperoleh Din di Jepang, dia juga mendapatkan Siti Meiningsih, seorang Peneliti LIPI. Keduanya kemudian menikah dan dikaruniai empat anak: Amaliah Harumi Karim, Andini Nurfatimah Karim, Adel Fahmi Karim, dan Aulina Meidinah Karim.

Anak pertamanya Harumi mengikuti minat bapaknya dengan berkuliah di Kedokteran Universitas Indonesia. Anak keduanya Andien lebih memilih Biologi Institut Teknologi Bandung. Sementara Adel dan Aulina masih sekolah.

Penelitian
Sadar atas kurangnya fasilitas dan dana penelitian yang disediakan Unhas, Din akhirnya bergabung dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkmann pada 1993.

Di Eijkmann, gairah Din akan penelitian lapangan muncul. Dan pria penggemar mobil Jeep itu memilih Malaria sebagai objek penelitian. Sampai sekarang pun, Din tetap aktif meneliti malaria bersama Eijkmann.

Tiap pekan, Din harus bolak-balik Makassar-Jakarta untuk menjalankan kewajibannya di Unhas. Dengan raihan akademiknya dan segala penelitiannya yang bermanfaat, sangat wajar jika Din diberi gelar Profesor, tepatnya Profesor malaria.

1 komentar:

  1. Selamat sahabatku, teruslah mengabdi untuk kemaslahatan umat manusia sebagaimana cita cita kita bersama sewaktu masih menjadi aktivis di kampus baraya.

    BalasHapus