Jumat, 05 April 2013

Catatan dari Yogyakarta

Udara malam menyambut saya di bandara Adisutjipto. Di bandara tempat terbakarnya pesawat Garuda Indonesia pada 7 Maret 2007 silam itu, saya mewujudkan sebuah keinginan lama: menginjakkan kaki di kota Yogyakarta.

Yogyakarta adalah ibukota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya berada di selatan Pulau Jawa. Nama Yogyakarta diambil dari bahasa sangsekerta yang berarti kedamaian (ayogya) dan kebaikan (karta).

Siapa Adisutjipto? Dia adalah anggota Angkatan Udara Republik Indonesia dan pejuang kemerdekaan. Pesawat yang dikemudikannya ditembak jatuh oleh Belanda pada 1940. Dia pun wafat. Untuk mengenang dan menghargai jasa-jasanya, dinamakanlah bandara itu Adisutjipto.

Saya di sekitaran Stasiun Kereta Api (foto: Muhardi)
Tugu Yogya
Selama di Yogya, saya menginap di Hotel Pop. Hotel yang desainnya penuh warna itu terletak tepat di belakang pasar Kranggan, ‘tak jauh dari perempatan Tugu Yogya, dan hanya berjarak sekira satu kilometer dari jalan Malioboro.

Di Tugu Yogya, keramaian terlihat jelas. Banyak muda-mudi foto-foto di situ. Saya jadi bertanya-tanya, apa menariknya Tugu itu? Ternyata Tugu itu adalah lambang kota Yogya yang sangat bersejarah. Dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I pada sekira abad ke-18. Sudah sangat tua, bukan?

Selain itu, secara magis, tugu Yogya -katanya- menjadi pengghubung tiga lokasi: Laut Selatan, Karaton Yogya, dan Gunung Merapi. Di mana letak magisnya? Entahlah, sebagian orang Yogya memang memiliki kepercayaan lain-lain. Saya sendiri sulit memahaminya.

Tugu Yogya (foto: Muhardi)
Jalan Malioboro
Nama Malioboro juga berasal dari bahasa sangsekerta. Terdiri dari dua kata: maliya yang berarti mulai dan bara yang berarti mengembara. Ada juga yang mengartikan Malioboro sebagai jalan bunga atau karangan bunga. Yang mana yang benar? Entahlah.

Jalan Malioboro adalah pusat kegiatan bisnis di kota Yogya. Di jalan yang siang-malam ramai dikunjungi orang-orang itu, ragam wisata tersedia.

Pertama, wisata belanja. Di sepanjang jalan Malioboro, berjajar tempat belanja: pasar tradisional Beringharjo, mall Malioboro, dan toko-toko yang menjajakan ragam jenis barang dan makanan. Pokoknya mau belanja apa saja semuanya tersedia.

Tempat belanja itu buka sampai pukul 10.00 malam. Setelahnya, “ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila,” kata Kla Project. Kehidupan berlanjut terus sampai pagi. Dijamin aman dan nyaman. ‘Tak salah Yogya berjargon Berhati Nyaman.

Musisi jalanan (foto: Muhardi)
Sambil menikmati sajian makanan, para “musisi jalanan siap beraksi,” kata Kla Project lagi.

Malam itu saya beruntung menemukan musisi hebat. Jumlah mereka bertiga, masing-masing memegang gitar, bas betok, dan banjo. Sajian musik mereka sangat baik. Hebatnya, mereka dengan fasih menyanyikan lagu Makassar berjudul Anakkukang.

Kedua, wisata sejarah. Di jalan Malioboro dan sekitarnya terdapat beberapa tempat bersejarah: Keraton Yogya, Museum Serangan Umum 1 Maret, Stasiun Kereta Api, Benteng Vredenburg, dan termasuk Tugu Yogya. Tempat-tempat itu -secara kasat mata- tampak terpelihara dengan sangat baik.

Ketiga, wisata pendidikan. Di sekitar jalan Malioboro, terdapat beberapa tempat untuk kepentingan pendidikan: Taman Pintar, Taman Budaya, dan kawasan toko buku murah. Semuanya tampak ramai dikunjungi orang.

Terkait pendidikan, Yogya memang terkenal sebagai kota pelajar. Di kota itu berdiri sekira 187 universitas. Yang paling terkenal jelas adalah Universitas Gajah Mada (UGM). Saya menyempatkan diri jalan-jalan pagi ke kampus itu.

Saya kagum melihat tiga bangunan besar di kampus itu: Graha Sabha, Gedung Rektorat, dan Pertamina Tower. Saya bergumam dalam hati: UGM dibandingkan dengan Universitas Hasanuddin Makassar ibarat langit dengan sumur bor.

Jalan Malioboro (foto: Muhardi)
Makanan Khas Yogya
Ciri khas makanan Yogya, seperti gudeg, wedang jahe, dan lainnya, adalah rasanya yang sangat manis. Lidah orang Yogya memang terbiasa dengan yang manis-manis. Bahkan ketika saya menikmati kopi joss (kopi yang dicampuri arang), rasanya juga sangat manis: gulanya lebih banyak dari kopinya.

Seorang teman Yogya menimpali, “Di Yogya, sambal pun dibikin pakai gula.”   Pun begitu, orang Yogya jarang terkena penyakit diabetes. Mereka selalu mengimbangi makanan manis itu dengan meminum jamu yang rasanya pahit.

Makanan lain yang menjadi ciri khas Yogya adalah kue Bakpia Pathok. Kue ini bahkan dijual di sebuah kawasan tersendiri. Di kawasan itu, berjajar toko-toko yang khusus menjual bakpia. Menariknya, pengunjung bisa melihat proses produksi kue secara langsung.

Jadi teringat sama lagu Project Pop. Liriknya kurang-lebih begini:

Bakpia bakpia bakpia pathok
Kue Yogya, kecil, dan mencolok
Sakit encok, sakit gondok atau gigi bengkok
Dijamin sembuh besok

Andong
Kalau Anda ingin menikmati andong (sejenis kereta kuda), datanglah ke Yogyakarta. Di jalan Malioboro, banyak berjajar andong yang siap mengantar Anda ke tujuan. Andong-andong itu datang jauh dari Bantul. Tarifnya bisa dinegosiasikan.

Andong (foto: Muhardi)
Jangan salah, di Yogya, andong itu berbeda makna dengan bendi. Kalau andong rodanya empat, bendi hanya dua. Andong juga lebih banyak menampung penumpang dibandingkan bendi.

Pasar Subuh
Saat saya melintasi belakang Pasar Kranggan pukul 01.00 malam, saya merasa iba melihat satu-dua orangtua tidur di jalanan. Saya berpikir: di Yogya banyak juga orangtua tuna wisma.

Ternyata saya salah. Orangtua itu adalah penjual di Pasar Kranggan. Mereka menginap dan tidur di jalanan karena besok kehidupan pasar dimulai subuh hari. Merekalah yang duluan membuka pintu kehidupan.

Batik dan Blangkon
Bersama Solo, Yogya juga dikenal sebagai kota batik. Segala jenis kerajinan batik ada di kota itu: batik tulis (asli), batik cap (pakai stempel), dan batik print (pakai mesin).

Di sepanjang jalan Malioboro, dijajakan ragam jenis batik. Dari yang paling mahal sampai yang termurah. Dari yang berkualitas tinggi sampai berkualitas rendah.

Blangkon Yogya
Batik berasal dari bahasa Jawa. Merupakan gabungan dari dua kata: amba yang berarti garis dan titik yang berarti titik. Jadi, batik adalah garis yang menghubungkan titik-titik. Kurang-lebih begitulah.

Apa perbedaan batik Yogya dengan batik Solo? Saya tidak menemukan penjelasan tentang itu. Yang saya temukan hanya penjelasan tentang beda antara blangkon Yogya dengan blangkon Solo.

Apa bedanya? Kalau blangkon Yogya ada bandulnya (gundukan) di belakangnya, sedangkan batik solo tidak ada. Makna bandul itu adalah walaupun orang Yogya merasa jengkel, dia tetap mampu menyembunyikan rasa jengkel itu di balik wajahnya yang tetap ramah.

Pun banyak orang yang memaknainya lain: orang Yogya itu manis di depan tapi menikam di belakang. Entahlah, saya rasa standar moral di setiap tempat sama saja, tinggal pengendalian diri masing-masing. Yang penting, Yogya Berhati Nyaman-lah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar