Jaman sekolah dulu, kita selalu ditakut-takuti sama globalisasi. Di masa depan -katanya- bahasa Inggris sangat penting. Kita akan bersaing dengan orang asing. Yang tidak jago, tidak laku. Maka muncullah banyak tempat kursus bahasa Inggris: LIA, PIA, SIA, apalagi? CIA juga mungkin ada. Dari yang regular buka kelas sampai yang privat, berdua saja seruangan. Kayak tukang pijat.
Apa yang terjadi sekarang? Biasa saja. Bahasa Indonesia tetap bahasa kita. Meskipun adalah terlihat wujud dari globalisasi itu: wc pria-wc wanita berubah jadi men's-women's, supir jadi driver, karyawan jadi officer, direktur bla bla bla jadi chief bla bla bla officer. Atau yang biasa presentase akan menyelipkan kata which is, let's say, dan next.
Apakah bahasa Inggris tidak penting? Penting bagi yang membutuhkan. Jadi, fungsional saja. Bagi yang mau ke luar negeri, silahkan belajar dulu. Bagi yang cuma mau buka kafe, cukup tahulah dengan beberapa kalimat: order here, menu, sama beberapa pepatah Inggris buat hiasan di dinding.
*****
Jaman sekarang, kita ditakut-takuti lagi sama yang namanya digitalisasi. Bagi yang tidak mau berubah -katanya- akan binasa. Hal itu kemudian dikait-kaitkan dengan kematian Yahoo, stasiun televisi, dan koran. Bahkan ada yang bilang: di perusahaan yang full digital, cuma butuh satu akuntan. Bank-bank sudah tidak butuh teller. Wow, begitukah?
Menurut saya, biasa saja. Digitalisasi harus dikembalikan lagi: fungsional atau tidak? Dalam perusahaan bisnis, misalnya, digitalisasi harus jelas: apakah meningkatkan penjualan? Mengurangi biaya? Melindungi aset? Atau cuma gaya-gayaan. Kalau fungsinya tidak jelas, buat apa?
Mochtar Riady, nenek moyang Lippo Group, pernah marah-marah waktu mataharimall.com gagal total. Dia bilang: kita terlalu fokus ke digitalisasi. Rekrut ratusan teknisi bergaji mahal. Kita lupa jualan kita itu tetap fisik. Seharusnya kita fokus ke situ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar