Koneksi Bussiness to Government (B to G) memang selalu menjadi celah korupsi di daerah. Mau itu proyek pemerintah daerah atau bukan, selama koneksi B to G terbentuk, potensi korupsi selalu ada: besar atau kecil.
Mulai dari urus tetek-bengek perizinan sampai urus tagihan, semua tidak gratis. Tidak cukup dengan ucapan terima kasih. Sebagaimana kalimat dari mulut seorang karyawan instansi: "...terima kasih itu tidak dimakan, Pak!"
Pakde Joko sudah coba meminimalisasi potensi korupsi lewat perizinan. Omnibus Law yang didemo (plus tiktokan) Mahasiswa se-Indonesia tahun lalu salah satu isinya berintikan: perizinan dipusatkan. Meskipun belakangan ada pendapat: perizinan tetap dijalankan di daerah oleh Pemda, tapi mengikuti standar pusat.
Kalau fee proyek pemerintah, apa solusinya? Yang paling aman, ubah B to G jadi B to B. Proyek daerah mainkontraktornya harus BUMN. Nanti BUMN yang berhubungan dengan vendor dan kontraktor daerah. Jadi mereka tidak berhubungan langsung lagi dengan Pemda. Tidak ada lagi istilah kontraktor kepercayaan atau vendor kesayangan.
Kalau semua serba BUMN, terus swasta dapat apa? Kuenya jadi kecil? Seingat saya, HIPMI sudah diskusikan itu dengan Pemerintah. Eh, Ketua HIPMI malah diangkat jadi Ketua BKPM. Ya sudahlah. Biarlah mereka baku atur. Toh Menteri BUMN dulunya juga orang HIPMI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar