Pabrik Smelter Ferro Nickel (FeNi) PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS) milik keluarga Kalla sudah selesai dibangun di Bua, Luwu. Saat ini, smelter sedang proses commisioning untuk memastikan semua mesin berjalan maksimal sesuai kapasitasnya.
Smelter BMS mulai digarap pada 2014. Diawali pembebasan lahan, lanjut pembangunan setahap demi setahap, sampai jadilah seperti saat ini di 2024. Pas sepuluh tahun. Lumayan lama.
Kelamaan itu terjadi disebabkan karena keterbatasan dana dan tenaga. Terlebih Manajemen juga fokusnya terpecah karena -di sisi lain- membangun PLTA di Malea, Tana Toraja, memanfaatkan aliran air sungai Saddang. PLTA juga sudah selesai dibangun. Presiden Jokowi meresmikannya awal 2022 silam.
Setelah selesai membangun smelter FeNi, BMS selanjutnya dalam proses membangun pabrik Smelter Nickel Sulfat (NiSo). Target selesai 2025.
*****
Mengapa BMS membangun smelter di Bua yang notabene jauh dari sumber bahan baku? Pilihannya memang dua: bangun dekat sumber bahan baku atau dekat sumber listrik. Pilihan pun jatuh: membangun ditengah-tengahnya. Di antara keduanya.
Dengan membangun smelter di Bua, BMS masih bisa memanfaatkan listrik dari PLTA Malea. Sekira 176 tower transmisi dibangun untuk mengalirkan listrik dari PLTA Malea ke gardu induk smelter di Bua. Lewat jalur Mangkendek, tembus Bastem, lalu ke Bua.
Loh, bukannya listrik PLTA Malea buat dijual ke PLN? Ada dua PLTA yang dibangun di Malea: Malea I (2 x 45 MW) dan Malea II (3 x 75 MW). PLN hanya membeli Malea I. Adapun Malea II dimanfaatkan untuk melistriki smelter.
Untuk bahan baku utama, seperti nikel ore dan batubara, BMS membelinya dari pelbagai perusahaan tambang. Tentunya yang sesuai spesifikasi pabrik.
Untuk memperlancar proses mobilisasi bahan baku, BMS membangun jetty di pinggir laut dekat smelter. Karena di antara smelter dan jetty dilintasi jalan trans Sulawesi, BMS pun membangun fly over guna menghubungkan keduanya. Agar pengendara umum tidak terganggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar