Abad 14 hingga 17, Eropa mengalami pencerahan jaman (Renaissance). Pada jaman itu, akal manusia mengalami pembebasan. Kitab suci agama samawi terbelenggu. Singkat kata, Renaissance telah melahirkan manusia-manusia yang tercerahkan. Manusia-manusia yang -dicirikan Immanuel Kant- berkitab sendiri.
Karena manusia bebas, budaya masyarakat pun berkembang. Salah satu hasilnya adalah sekulerisme: pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari manusia. Sekulerisme mengfungsikan agama hanya dalam bentuk vertikal saja (manusia dengan Tuhan), tidak lagi horisontal (manusia dengan lingkungannya).
Max Weber, dalam teori perubahan masyarakatnya, bilang: rasionalitas kian membentuk cara manusia melihat hidup dan mengambil keputusan. Mereka ‘tak lagi bersandar pada ajaran agama. Kata Weber tersebut sejalan dengan tesis Kant sendiri: dalam diri manusia ada potensi untuk menyelesaikan masalah etis, tanpa bantuan segala kitab suci di dunia.
Beberapa pemikir yang hidup setelah Weber dan Kant menyimpulkan: agama dan kitab sucinya perlahan-lahan akan mati. Augusto Comte, misalnya, menuliskan teorinya: masyarakat akan meninggalkan keadaan teologis dan akhirnya masuk ke keadaan ilmiah dan positif. Karl Marx dan Engels, dua tokoh sosialis, lebih keras lagi. Keduanya sepakat bahwa revolusi sosial akan menghapus agama.
*****
Apakah agama mati? Ternyata tidak. Sekularisme telah gagal menyingkirkan agama. Meskipun harus diakui, sekularisme berhasil menciptakan liberalisme: paham yang menempatkan manusia sebagai obyek yang bebas, tanpa bisa diatur oleh agama.
Apakah sekularisme berhenti? Ternyata tidak juga. Dalam sebuah esai terbitan 1980, From Secularity to World Religions, Peter Berger memperkenalkan dinamika sekularisme baru yang bernama pluralisme. Berbeda dengan liberalisme yang menempatkan manusia sebagai obyek yang bebas tanpa bisa diatur oleh agama, pluralisme justru menempatkan manusia dan agama sama-sama sebagai obyek yang bebas.
Penganut pluralisme memandang agama dalam perspektif liberal. Mereka menafsirkan kitab suci sesuai perkembangan jaman. Para penganut pluralisme yang ekstrim bahkan sampai pada sebuah pemikiran: semua agama sama; surga dan neraka pun ‘tak bisa dikapling oleh penganut agama tertentu.
Di Indonesia, pluralisme berkembang pesat belakangan. Diusung sejak lama oleh tokoh-tokoh nasionalis yang belajar agama di Eropa. ‘Tak sedikit mereka bahkan bergerak di bawah payung Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama, dua organisasi besar Islam di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar