Freddy Budiman dan anggota BNN (dok. Tempo) |
Ketika pada 2012 Freddy diketahui menjadi salah satu dalang penyelundupan 1,4 juta butir ekstasi asal Cina ke Indonesia, mata masyarakat dan sorotan jurnalis mulai tertuju kepadanya. Terlebih, pria asal Surabaya itu mengendalikan penyelundupan dari balik jeruji melalui telepon, meskipun larangan komunikasi masuk dalam salah satu larangan Freddy selama dalam Lapas.
Atas penyelundupan itu, Freddy divonis mati Pengadilan. Enam teman yang membantunya sebagian divonis mati; sebagian lain divonis seumur hidup. Satu aparat yang terlibat, Serma Supriadi, divonis tujuh tahun penjara plus pemecatan.
Yang paling mencengangkan, pada 2013, Freddy terciduk memiliki pabrik sabu di dalam Lapas. Freddy bahkan bebas didatangi teman perempuannya; bahkan sampai ngeseks. Wakil Kepala Lapas Cipinang, Gunawan Wibisono, yang terbukti membantunya divonis delapan tahun penjara.
Terakhir, pada 2015, Freddy diketahui juga menjadi dedengkot impor sabu dari Belanda. Empat peluncurnya dihukum seumur hidup dan 20 tahun penjara, termasuk Johni Suhendra, adik kandung Freddy. Johni diketahui menjadi pengendali pabrik sabu Freddy di Cengkareng, Jakarta Barat.
Pada Jumat, 29 Juli 2016, eksistensi Freddy akhirnya berakhir. Dia dieksekusi mati. Ada hal yang menarik: Polisi mencatat nilai transaksi narkoba Freddy selama menjadi bandar mencapai puluhan milliar rupiah. PPATK bahkan menemukan transaksi ratusan milliar yang diduga berafiliasi dengan Freddy. Namun, fakta-fakta tersebut ‘tak pernah terungkap. Tenggelam seiring wafatnya Freddy.
Padahal, sebelum wafat, Freddy sempat bilang kepada Haris Azhar (Koordinator Kontras) yang kemudian diposting di dinding Facebook Kontras, “Kalau saya ingin menyelundupkan narkoba, saya tentu acarain (atur) itu. Saya telpon Polisi, BNN, Bea Cukai. Dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar