Suasana kerusuhan di Jakarta, Mei 1998 (dok. google) |
Pada
Mei 1998, Indonesia menerima dampak buruk dari krisis ekonomi yang
menerpa Asia. Inflasi terjadi, nilai rupiah naik tajam sampai Rp 16.000
per dollar, dan pengangguran meningkat. Ketidakpuasan
pun terjadi di masyarakat. Mosi tidak percaya terhadap Pemerintahan
Soeharto yang baru saja terpilih melalui Pemilu 1997 menyeruak.
Demonstrasi menyerukan reformasi terjadi di mana-mana. Bagi demonstran,
Pemerintahan Soeharto yang dianggap sebagai rezim KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme) harus diganti.
Puncaknya,
pada 12 Mei 1998, mahasiswa di seluruh Indonesia, terkhusus di Jakarta,
sepakat melakukan aksi bersama. Militer membolehkannya dengan satu
syarat: lakukan di dalam kampus! Namun
ternyata, dalam demonstrasi di kampus Trisakti Jakarta, para mahasiswa
memaksa keluar kampus. Mereka ingin berdemontrasi di depan Gedung MPR
yang kebetulan dekat dengan kampus mereka. Dari jam 10 pagi hingga jam
05.00 sore, militer dan demonstran saling berhadap-hadapan di jalanan.
“Demonstrasi sudah keluar kampus dan terjadi martir. Ini tinggal tunggu waktu keadaan bahaya,” kata Wiranto, Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Panglima ABRI kala itu, dalam wawancaranya kepada kanal televisi Trans7. Benar
saja, militer dan demonstran kemudian terlibat baku dorong.
Militer pun
secara bertahap melakukan tindakan represif. Hingga akhirnya hujan
peluru terjadi. Bermodal senjata laras panjang, militer melepaskan
tembakan ke arah demonstran. Demonstran
berhamburan, lari tunggang-langgang. Sebagian besar mahasiswa Trisakti
lari masuk ke dalam kampus mereka dan bahkan menutup rapat pagar kampus.
Pun mahasiswa sudah di dalam kampus, militer tetap melepaskan tembakan
yang dibalas lemparan batu oleh mahasiswa.
Sangat disayangkan, dalam keadaan chaos tersebut,
empat mahasiswa Trisakti terkena peluru tajam. Keempatnya tewas di
tempat: Elang Mulia Lesmana, Hafhidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri
Hartanto. Jenazah keempatnya dievakuasi ke Rumah Sakit Sumber Waras.
Keluarga dan puluhan teman mengiringi jenazah dengan tangisan dan bacaan
ayat Al Qur’an.
*****
Menjelang
pukul 12.00 malam, dr. Mun’im Idris (ahli forensik) datang ke RS Sumber
Waras atas permintaan Idham Azis, Kasat Serse Polres Metro Jakarta
Barat. Dr. Mun’im hendak melakukan pemeriksaan bedah mayat atas keempat
mahasiswa korban penembakan.
Awalnya, keinginan dr. Mun’im ditolak
keluarga. Namun akhirnya, setelah hampir setengah jam negosiasi, dr.
Mun’im melakukan bedah mayat dengan satu syarat: keluarga menyaksikannya
langsung.
Kurang-lebih
90 menit, dr. Mun’im membedah jenazah keempat mahasiswa Trisakti
tersebut. Dia menemukan luka tembak pada bagian mematikan di tubuh
keempat korban: ada di dahi tembus ke kepala, di leher, di punggung, dan
di dada. “Jelas tembakan yang dilepaskan militer bertujuan mematikan, bukan melumpuhkan,” tulis dr. Mun’im dalam bukunya Indonesia X-Files. Selain itu, dr. Mun’im juga berhasil mengamankan peluru dari tubuh korban.
Setelah
proses bedah, kepada Pers dan mahasiswa yang sudah ramai berkumpul, dr.
Mun’im membenarkan telah terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti
dengan menggunakan peluru tajam. Namun, dr. Mun’im tidak menjelaskan
secara detil karena itu menjadi konsumsi penyidik ke depannya.
Selanjutnya, dr. Mun’im meninggalkan RS Sumber Waras.
Dr.
Mun’im ‘tak langsung pulang ke rumah. Dia menghadap Kapolda dulu, Irjen
Pol. Hamami Nata, untuk mendiskusikan hasil pemeriksaannya. Kepada
Kapolda, dr. Mun’im bilang, “Pak, ini proyektil yang saya dapatkan
tertanam pada leher salah satu korban. Dua korban pelurunya menembus,
sedangkan satunya lagi masih tertanam di daerah dada kiri dan saya tidak
bisa mengeluarkannya.”
Mendengar penjelasan dr. Mun’im, Pak Hamami Nata menerawang. Dengan nada kecewa dia berkata, “Saya
sudah perintahkan kepada semua anak buah saya agar mereka tidak
menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi para pengunjuk rasa
hanya dibekali peluru karet atau peluru hampa yang terbatas jumlahnya.
Dari mana datangnya peluru ini?”
Sebelum
bertemu dr. Mun’im, Pak Hamami Nata bersama Pangdam Jaya Sjafrie
Sjamsoeddin telah bertemu Menhankam/Pangab Wiranto. Wiranto kemudian
memerintahkan tiga hal: pertama, usut aparat pelaku penembakan; kedua,
jelaskan kepada masyarakat secara detil perihal kejadian tersebut;
ketiga, minta maaf kepada rakyat Indonesia atas kejadian tersebut.
****
Tanggal 13 Mei 1998, di luar kampus Trisakti, massa entah dari mana terkonsentrasi berkumpul. “Mereka
memprovokasi untuk kita (mahasiswa) keluar. Tapi teman-teman sepakat
untuk ditutup pintu gerbang. Dan yang pertama kali saya lihat adalah ada
dari arah jembatan lima, arah perempatan Grogol, itu ada truk sampah
tiba-tiba berhenti di lampu merah. Orang yang meyupir sama yangnaik dari
truk itu pada turun terus membakar truk itu…”
“…Dan
itulah pertama kali terjadinya kerusuhan. Diawali pembakaran
mobil-mobil di sekitar Hotel Ciputra, Citra Land itu, terus menjalar ke
arah Daan Mogot terus mengarah ke Kali Deres,” kata Julianto Hendro Cahyono, Ketua Senat Mahasiswa Trisakti, kepada Trans7.
Dan
kerusuhan pun terjadi di Jakarta pada 13 mei 1998 sepanjang hari. Massa
melakukan pembakaran, penjarahan, dan bahkan pemerkosaan terhadap
objek-objek menarik yang ada didepannya. Faktor ekonomi sangat dominan
dalam kerusuhan ini. Ratusan orang tewas dan luka-luka.
****
Tanggal
14 Mei 1998, Presiden Soeharto kembali ke Indonesia dari perjalanannya
di Kairo, Mesir. Dia kemudian memanggil pejabat-pejabat berwenang untuk
menjelaskan secara lengkap perihal peristiwa penembakan mahasiswa
Trisakti dan kerusuhan massal yang terjadi. Presiden Soeharto juga
membangun komunikasi dengan sejumlah tokoh masyarakat dan agama.
Dalam
perjalanannya, keadaan menjadi berat bagi Soeharto karena ternyata
tokoh masyarakat dan agama tidak mendukungnya. Ditambah lagi 14 menteri
kabinetnya seketika mengundurkan diri, seperti Ginanjar Kartasasmita dan
Akbar Tanjung.
Di
tanggal 21 Mei 1998, ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR tanpa
tindakan represif dari militer. Beberapa mahasiswa bahkan bertindak
anarkis. Akhirnya, karena tidak mampu lagi mengendalikan keadaan,
Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya sebagai
Presiden yang kemudian disambut gembira para mahasiswa. Sesuai aturan,
Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie naik menjadi Presiden.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar