Menghasilkan foto terbaik jelas tidak mudah. Butuh momen dan bidikan yang tepat untuk mendapatkannya. Itulah yang saya alami ketika membidik dua foto yang -setidaknya- terbaik menurut versi saya.
Lupakan kamera canggih. "Yang terbaik adalah apa yang Anda miliki," kata Arbain Rambey, fotografer senior Kompas dan pemilik acara Klik Arbain di Kompas TV. Dengan kamera ponsel Nokia berkekuatan dua megapixel, saya mengambil dua foto berikut:
Foto pertama di atas saya ambil di hutan pinus Malino. Jongkok-jongkok di pinggir jalanan sambil melihat dua teman yang lagi foto-foto di hutan pinus berkabut. Saya arahkan kamera ponsel lalu terbidiklah foto di atas. Lumayan bagus, kayak cover film. Tinggal dikasih judul.
Foto kedua di atas saya ambil saat turut berpartisipasi dalam even sepeda Tour de Toraja 2014. Saya jalan di depan terus turun dari sepeda dan memotret teman yang jalan di belakang. Hasilnya luar biasa, bukan? Jadi teringat lukisan pemandangan alam sewaktu SD.
Saya 'tak punya banyak ilmu fotografi. Prinsip saya dalam memotret objek jauh cuma satu: simetris. Ya, objek jauh harus dijaga simetrisnya: vertikal-horisontal, kanan-kiri, atas-bawah. Itulah yang saya lakukan. Masih butuh banyak belajar. Masih jauh dari sempurna.
Teman-teman para fotografer, silahkan menilai!
Minggu, 28 Desember 2014
Jumat, 26 Desember 2014
Satu Dekade Tsunami Aceh
Suasana pascatsunami (foto: Hariyo Wibowo) |
Tiba-tiba laut biru mengekang
Deras air riuh menerjang
Menampar wajah-wajah kaku yang gamang
Seorang anak kecil termenung kelam
Memandangi ruang-ruang yang suram
26 Desember 2004 silam
Aceh tenggelam
Irwandi Yusuf meringkuk di penjara saat gempa menimpa Aceh 26 Desember 2004 silam. Dia merasakan getaran begitu dahsyatnya. Seisi penjara terhenyak, namun Irwandi yang merupakan tawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tenang-tenang saja.
Sampai kemudian, Irwandi melihat burung-burung terbang bergerombol, menjauh dari pantai. Dia pun berfirasat buruk: ada sesuatu yang terjadi di pantai sana. Dia kemudian memutuskan naik ke atas loteng. Di loteng, bersama seorang temannya, dia duduk-duduk sambil menghisap rokok.
Benar saja, ‘tak lama kemudian, tsunami menyapu seluruh yang ada di daratan, termasuk penjara tempat Irwandi dan temannya mendekam. Bangunan rusak, beberapa orang tewas, Irwandi dan temannya selamat.
Sebagai orang asli Aceh, Irwandi jelas sedih atas bencana yang terjadi, terutama korban yang mencapai bilangan ratusan ribu jiwa. Namun dia berusaha kuat dan memaknai hikmah di baliknya.
Dan hikmah itu sungguh terjadi: selepas bencana, Aceh bersatu. ‘Tak ada lagi pertikaian; ‘tak ada lagi GAM. Tahanan GAM dilepaskan, termasuk Irwandi. Semua elemen kemudian bahu-membahu membangun Aceh kembali normal.
Dan siapa sangka, Irwandi Yusuf yang merupakan dosen Universitas Syiah Kuala Aceh jebolan S2 pada Oregon University, Amerika Serikat, terpilih menjadi Gubernur Aceh tiga tahun setelah bencana, tepatnya 8 Februari 2007.
Irwandi memimpin Aceh lima tahun lamanya. Di tangannya, Aceh mencoba bangkit dari keterpurukan. ‘Tak ada lagi sejarah Aceh yang penuh pertumpahan darah. Yang ada hanyalah Aceh yang bersatu.
Senin, 22 Desember 2014
Pesona Taman Wisata Alam Bantimurung
Pintu gerbang |
Patung monyet selepas pintu gerbang |
Patung monyet selepas pintu gerbang |
Pikiran saya sebelum mengunjungi Bantimurung sederhana saja: hanya tempat permandian air terjun biasa. Tidak ada yang istimewa, di tempat lain juga ada. Terlebih air terjunnya buatan.
Mandi-mandi di bawah air terjun |
Mandi ramai-ramai di bawah air terjun |
Merenung dari atas air terjun |
Air terjun dari atas |
Danau yang dipompa menjadi air terjun |
Satu, Bantimurung memiliki sajian alam yang luar biasa. Perpaduan tebing tinggi dan pepohonan memberikan pemandangan alam dan kesejukan, serta oksigen segar yang maksimal.
Perpaduan itu makin sempurna seiring terdengarnya suara gemuruh air dari Telaga Bidadari yang airnya mengalir dari mata air di bawah tebing. Air dari Telaga Bidadari itu pulalah yang menjadi sumber air kolam renang.
Tebing dan pepohonan |
Tebing, pepohonan, dan Telaga Bidadari |
Pohon raksasa |
Tebing dan pepohonan |
Tebing, pepohonan, dan papan informasi |
Telaga Bidadari |
Rebahan batang pohon di sungai |
Indah, bukan? |
Kolam renang |
Air terjun yang deras itu juga bersambung ke kolam renang di bawahnya. Dari air terjun itu, pengunjung biasanya meluncur pakai ban sampai ke kolam renang.
Di sekeliling air terjun dan kolam renang, Pengelola membuat bangunan serupa taman yang dilengkapi gazebo-gazebo. Sangat sempurna bagi pengunjung untuk berkumpul bersama keluarga dan teman-temannya.
Danau dan tebing |
Berfoto ria di pinggir danau |
Danau Kassi Kebo |
Menurut teman yang telah masuk ke gua tersebut, keadaan gua cukup alami. Butuh waktu kurang-lebih sejam untuk menjalaninya. Insya Allah saya akan mencobanya pada kala yang lain. Tentunya dengan membawa senter sendiri dari rumah.
Jalan tangga menuju gua |
Jalan menuju gua |
Pintu masuk gua |
Jalan menuju gua |
Bantimurung, The Kingdom of Butterflies |
Museum kupu-kupu |
Toko-toko sederhana milik warga juga sangat banyak. Mereka menjajakan makanan dan ragam souvenir khas Bantimurung: baju, topi, celana, souvenir kupu-kupu, dan lainnya.
Masjid di kesejukan |
Bebek-bebekan di Telaga Bidadari |
Gazebo-gazebo tempat berkumpul keluarga |
Lebih bagus sepi daripada ramai |
Biayanya cukup murah: Rp 25 ribu per orang plus biaya parkir. Kemarin saya naik motor cuma bayar parkir seribu rupiah. Ya, harga itu sepadanlah dengan pemandangan alam yang kita dapatkan saat di dalam. Selamat menikmati!
Senin, 15 Desember 2014
Mengulik Alam Maros dari Atas Sepeda
Jembatan besi penghubung desa-desa. |
Selain warga yang dengan leluasa menikmati fasilitas jalan beton, juga saya: pasapeda asal Makassar. Pada Ahad (12/14/2014) yang cerah kemarin, saya berkeliling hampir 50 kilometer melintasi desa-desa di Maros: Tenrigangkae, Kurusumange', Sudirman, Lekopancing, Carangki, Tanadidi, Damai, Sambueja, Segesegeri, dan Baji Minasa, termasuk kota Maros sendiri.
Jalanan beton penghubung desa-desa. |
Satu, Maros adalah daerah lumbung padi. Selama perjalanan, saya mendapati banyak sawah yang menghampar luas. Semuanya produktif. Bahkan petani Maros telah menerapkan mekanisasi pertanian guna meningkatkan produktifitas mereka.
Jalanan beton yang membelah hamparan sawah. |
Mekanisasi pertanian |
Panen bambu |
Bukit yang panjang membentang. |
Jembatan besi di atas sungai |
Bendungan Bantimurung |
Sungai yang membelah pepohonan. |
Senin, 08 Desember 2014
Tour de Toraja 2014
Tour de Toraja 2014 berlangsung sukses Ahad (7/12/2014) kemarin. Sekira 500 peserta se-Indonesia hadir meramaikan even sepeda bertaraf nasional yang terlaksana
untuk ketiga kalinya itu.
Lokasi start terletak di Maliba, sebuah daerah pegunungan tempat banyak transmigran bermukim. Para peserta butuh waktu satu jam lebih menuju lokasi tersebut dari Makale, ibukota Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Dari Maliba, peserta kemudian melewati jalur ekstrem sejauh lebih dari 40 kilometer: pendakian, penurunan, jalan berbatu, jalan becek, jalan tanah, jalan beton, jalan aspal, dan jembatan.
Pendakian tajam jelas menjadi hal terberat bagi para peserta. Peserta pun terpaksa harus berjalan kaki mendorong sepeda mereka untuk mendaki bukit di depannya.
Seorang peserta berkata, "Sepeda doronghill ini, bukan downhill." Walhasil, menurut informasi, sekira 70-an peserta harus menyerah di tengah jalan karena kecapekan, sepeda rusak, dan cedera.
Sebagai hiburan bagi peserta yang telah bercapek-capek ria, pemandangan alam hadir dengan keindahannya yang luar biasa: bukit yang menghijau, sawah yang menghampar, rumah adat Tongkonan yang eksotis, dan lainnya. Tana Toraja memang terkenal sebagai daerah dengan keindahan alam yang cukup menonjol. Tidak percaya, silahkan lihat foto-foto!
Kolam patung Pongtiku di pusat kota Makale menjadi tujuan akhir sebagai lokasi finish. Rata-rata peserta mampu menyelesaikan rute dalam waktu delapan jam.
Foto: Arham Nutriawan
Lokasi start terletak di Maliba, sebuah daerah pegunungan tempat banyak transmigran bermukim. Para peserta butuh waktu satu jam lebih menuju lokasi tersebut dari Makale, ibukota Tana Toraja, Sulawesi Selatan.
Dari Maliba, peserta kemudian melewati jalur ekstrem sejauh lebih dari 40 kilometer: pendakian, penurunan, jalan berbatu, jalan becek, jalan tanah, jalan beton, jalan aspal, dan jembatan.
Pendakian tajam jelas menjadi hal terberat bagi para peserta. Peserta pun terpaksa harus berjalan kaki mendorong sepeda mereka untuk mendaki bukit di depannya.
Seorang peserta berkata, "Sepeda doronghill ini, bukan downhill." Walhasil, menurut informasi, sekira 70-an peserta harus menyerah di tengah jalan karena kecapekan, sepeda rusak, dan cedera.
Sebagai hiburan bagi peserta yang telah bercapek-capek ria, pemandangan alam hadir dengan keindahannya yang luar biasa: bukit yang menghijau, sawah yang menghampar, rumah adat Tongkonan yang eksotis, dan lainnya. Tana Toraja memang terkenal sebagai daerah dengan keindahan alam yang cukup menonjol. Tidak percaya, silahkan lihat foto-foto!
Kolam patung Pongtiku di pusat kota Makale menjadi tujuan akhir sebagai lokasi finish. Rata-rata peserta mampu menyelesaikan rute dalam waktu delapan jam.
Lokasi start di Maliba. |
Jalanan beton di antara keindahan alam. |
menikmati genangan air di antara hutan pinus. |
Semangat! |
Mobil Jeep siap mengevakuasi peserta. |
Melaju di samping tedong bonga. |
'Tak kuasa menahan lelah. |
Indah, bukan? |
Ramai-ramai berfoto. |
Menghantam jalur becek. |
Mendaki gunung lewati lembah. |
Lokasi finish di Makale. |
Langganan:
Postingan (Atom)