Pram (foto: Balai Pustaka) |
Awalnya, semua rencana Pram berjalan lancar. Tulisan beberapa penulis berhasil diterbitkan, seperti Rivai Apin dan Amir Pasaribu. Pram sendiri berhasil menelurkan tulisan di antaranya Lemari Buku dan Gulat di Jakarta dengan menggunakan nama barunya: Pramoedya Ananta Toer. Bahkan Pram dan keluarganya sempat menetap di Amsterdam, Belanda, hingga akhir 1953 dalam rangka kegiatan pertukaran budaya. Namun keadaan berbalik pada 1954. Pram mengalami krisis keuangan. Mimbar Penyiaran Duta mandeg, 'tak ada lagi penulis yang menyetorkan tulisannya untuk diterbitkan, kecuali tulisan Pram sendiri.
Krisis tersebut akhirnya membuat rumahtangga Pram dengan istrinya kacau yang berakibat Pram diusir oleh mertuanya dari rumah Kebon Jahe Kober Gang III pada pertengahan 1954. Pram pun pindah dengan menyewa rumah di sebuah gang becek tanpa nama di daerah Rawasari di belakang jalan Rawamangun. Ketiga adiknya (Koesaisah, Koesalah dan Soesilo) juga ikut pindah, tapi tidak lagi tinggal bersama Pram. Pernikahan Pram dan istrinya yang melahirkan tiga anak perempuan pun akhirnya berakhir dengan perceraian.
Dalam kondisi keuangan yang carut-marut, Pram bergaul dengan orang-orang kiri (komunis). Pergaulan itu membuat jalan pikirannya sedikit terpengaruh. Terbaca dalam karya-karyanya semisal Korupsi yang dengan lantang mengritiki pemerintahan orde lama Soekarno. Pram memang individualis sejati, berani mengritiki seseorang meskipun orang itu dikaguminya. Pram adalah pengagum Soekarno. Saat Pram ditanya apa pendapatanya tentang Soekarno, dia menjawab, "O, itu tidak ada tandingannya."
Pada September 1954, Pram mengunjungi sebuah pameran Pekan Buku Nasional I yang diadakan penerbit buku Gunung Agung di Gedung Decca Park, Lapangan Merdeka. Di pameran itu, Pram bertemu dengan seorang perempuan penjaga stan bernama Maemunah Thamrin, kemenakan dari pahlawan nasional MH Thamrin. Pram jatuh cinta kepada Maemunah. Mereka pun berkenalan dan menjalin hubungan.
Tiga bulan menjalin hubungan, Pram dan Maemunah menikah pada Januari 1955. Mereka menikah di rumah orangtua Maemunah, HA Thamrin, di jalan Tamansari Gang II, Sawah Besar. Hadir pada pernikahan itu teman-teman Pram: Ramadhan KH, Nugroho Notosusanto, Emil Salim, HB Jassin, Ajip Rosidi dan lainnya. Juga hadir adik-adik Pram: Koesalah dan Soesilo.
Pram dan Maemunah di pelaminan (dok. CNN) |
Keputusan Pram sangat tepat. Di rumah yang sederhana seperti itu ditambah kasih sayang dari Maemunah yang tulus dalam suku maupun duka, gairah menulisnya meningkat. Beberapa karya pun dilahirkannya: Cerita dari Jakarta yang menggambarkan semua tempat-tempat yang pernah ditinggali Pram di Jakarta, tulisan ini diterbitkan Grafica; Sunyi Senyap di Siang Hidup yang menggambarkan perceraian Pram dengan istri pertamanya dan pertemuannya dengan Maemunah, tulisan ini dimuat di majalah Indonesia; Kali Siopas Kantor dan Yang Tinggal dan yang Pergi yang dimuat di majalah Gelanggang dan Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia yang dimuat di majalah Star Weekly. Selain itu, Pram juga menjadi Redaktur sebuah majalah luar negeri.
Hasil tulisan dan pekerjaan sebagai Redaktur majalah luar negeri membuat Pram mampu mengumpulkan uang, membeli sebidang tanah dan membangun rumah sendiri di jalan Multikarya II no. 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pram membayar pengorbanan Maemunah, meskipun dengan sebuah rumah yang sederhana. Pram dan Maemunah pun menapaki sedikit demi sedikit tangga menuju kebahagiaan. Namun, kedekatan dengan pihak kiri membuat perjalanan menuju kebahagiaan Pram terganggu. Pram dimusuhi, terlebih setelah dia pulang dari Cina selepas menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun. 'Tak ada lagi majalah yang mau menerbitkan tulisannya, termasuk majalah Star Weekly milik Peng Koeng Auwjong alias Petrus Kanisius Ojong, pediri Kompas Group. 'Tak hanya Pram yang mengalami nasib seperti itu, semua pengarang yang dekat dengan pihak kiri, di antaranya Utuy Sontani, juga ditolak karya-karyanya.
Keadaan tersebut membuat Pram kembali mengalami krisis keuangan. Bahkan Pram terpaksa mengungsikan Maemunah ke rumah mertuanya untuk sementara. Pram pun tinggal dan berjuang sendiri di rumah Rawasarinya. Suatu ketika, saking susahnya, Pram pergi ke rumah kontrakan Ajip Rosidi di Kramatpulo. Pram mengetuk pintu. Setelah Ajip Rosidi membuka pintu, Pram berkata dengan suara yang sangat dalam, "Kau ada nasi tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan!" Pram kemudian memakan nasi dingin bercampur mentega yang disajikan Ajip.
Krisis keuangan Pram akhirnya teratasi berkat bantuan pihak kiri. Pram ditugasi menerjemahkan karya-karya pengarang Uni Soviet semisal Ibunda karya Maksim Gorki. Dari situ, Pram mendapatkan uang untuk menyambung hidup. Selain itu, pada 1959, Pram diutus bersama Utuy mengikuti Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasykent, Uni Soviet. Di saat yang sama, nama Pram dan Utuy juga dimasukkan dalam susunan pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi sastra milik pihak kiri. Kedua hal tersebut membuat pihak antikiri semakin menuduh Pram dan Utuy tergabung dalam pihak kiri yang berpaham komunis. Terkait namanya di pengurusan Lekra, Pram tidak merasa dan hanya menganggapnya sebagai sebuah kehormatan.
Pada 1960, buku Pram berjudul Hoakiau di Indonesia, yang mengritisi Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 yang melarang kaum Tionghoa bergiat di pedalaman negeri ini, diterbitkan. Akibat buku itu, Pram ditangkap Pemerintahan Orde Lama dan ditahan di Penjara Cipinang selama sembilan bulan hingga keluar pada akhir 1960. Selama di Cipinang, Pram menyibukkan diri dengan menulis.
Referensi: Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; Pramoedya Ananta Toer 80 Tahun: Berlomba dengan Maut, oleh P. Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati P.; wikipedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar