Pram (foto: koleksi keluarga Pram) |
"Di penjara Belanda itu bebas sekali. Perpustakaan ada; buku-buku boleh masuk. Malah majalah dan koran republik boleh masuk. Aku belajar ekonomi di sana. Kalau dipekerjakan, dapat upah sejam delapan sen. Sehari kerja tiga jam, jadi dapat upah duapuluh empat sen. Dengan uang itu, bisa beli buku-buku," kata Pram.
Walau pun begitu, tidak selamanya Pram terlepas dari penderitaan. Di Bukitduri, Pram dan teman-temannya harus melakoni kerja paksa di antaranya menyingkirkan besi-besi bekas alat berat dan membabat rumput dan ilalang di Lapangan Gambir, Lapangan Terbang Kemayoran dan Jatinegara. Suatu ketika, Pram dan teman-temannya bersepakat menolak kerja paksa. Sampai pada waktunya, ternyata semua orang menerima kerja paksa kecuali Pram. Pram pun dihukum dengan dikurung dalam sel yang diasapi bau got. "Begitulah selalu yang terjadi dengan aku. Sendirian," kata Pram.
'Tak banyak yang menjenguk Pram di Bukitduri, maklum keluarganya jauh di Blora. Salah satu yang menjenguk Pram adalah GJ Resink, seorang penulis senior. Melalui Resink pula, Pram menyelundupkan naskah tulisannya berjudul Perburuan. Oleh Resink, naskah tersebut diserahkan kepada HB Jassin, Redaktur Balai Pustaka, yang kemudian diikutkan dalam sayembara mengarang roman yang diadakan Balai Pustaka. Naskah Perburuan meraih nomor satu dalam sayembara itu.
Selain Resink, Pram juga dijenguk oleh tantenya, istri dari Om Dig. Tantenya datang untuk menyampaikan kepada Pram bahwa dia mendapatkan honorarium untuk bukunya Kranji Bekasi Jatuh. Pram kemudian berkata, "Nah, ambil saja, Tante!" Pram menyerahkan semua honorariumnya kepada tantenya. Itu dilakukan Pram sebagai rasa terimakasih atas jasa-jasa tantenya menampung Pram dan adiknya Pra di rumah Kemayoran waktu pertama kali datang ke Jakarta pada 1942.
Pada akhir 1949, seiring diakuinya kemerdekaan Indonesia oleh penjajah, Pram dibebaskan dari Bukitduri dan lalu menikahi gadis pujaan hatinya yang dijumpainya di Purwakarta saat aktif di Militer dulu. Pram kemudian tinggal di rumah istrinya di Kebon Jahe Kober Gang III. Untuk menafkahi istrinya, Pram bekerja sebagai Redaktur Sastra Modern pada penerbit Balai Pustaka dan mendapat tugas mengasuh majalah anak-anak, Kunang-Kunang. Naskahnya Perburuan yang memenangkan sayembara lomba mengarang Balai Pustaka juga diterbitkan.
Pram menceritakan saat-saat pertama kali masuk ke Balai Pustaka dimana dia bertemu dengan banyak penulis handal di antaranya Idrus, Redaktur Balai Pustaka dan penulis novel Surabaya dan kumpulan tulisan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Idrus berkata kepada Pram saat berjumpa, "O, ini yang namanya Pramoedya! Pram, engkau ini bukan ngarang, tapi berak!" Entah apa maksud Idrus berkata seperti itu, tapi mendengar kata-kata itu, Pram merasa dikecilkan.
Pada 1950, Pram kembali ke Blora karena bapaknya Mastoer sakit keras. Setelah delapan tahun berpisah, Pram akhirnya bertemu keluarganya, terutama enam adiknya yang sudah beranjak besar. 'Tak lama kemudian, bapaknya meninggal dunia di usia 54 tahun. Pram pun menjadi kepala keluarga.
Salah satu kebijakannya sebagai kepala keluarga yang paling menonjol adalah perintahnya kepada adik-adiknya untuk menambahkan nama Toer (kependekan dari Mastoer) di belakang nama masing-masing. Mas sengaja dihilangkan karena Pram menganggapnya ke-Jawa-an. Sebelumnya Pram juga telah menerapkan prinsipnya itu ketika dalam banyak naskah tulisannya dia memakai nama Pramoedya, bukan Pramoedyo.
Kebijakan lainnya sebagai kepala keluarga adalah ketika kembali ke Jakarta, dia membawa serta tiga adiknya: Koesaisah, Koesalah dan Soesilo untuk ditanggungnya bersekolah, "Menjadi dokter-dokter, meester-meester," ujar Pram. Ketiga adiknya itu tinggal bersama Pram dan istrinya di Kebon Jahe Kober Gang III.
Referensi: Riwayat Hidup Singkat, oleh Pramoedya Ananta Toer; Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, oleh Koesalah Soebagyo Toer; Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen, oleh Ajip Rosidi; wikipedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar