Pada 596, di usia 25 tahun, Muhammad menikah dengan Khadijah yang
berusia 40 tahun. Pernikahan keduanya berlangsung bahagia hingga
membuahkan dua orang putra: Qasim dan Abdullah, dan empat orang putri:
Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az Zahra. Dalam
perjalananya, semua putra Muhammad meninggal saat masih kecil.
Muhammad menghidupi keluarganya dengan berdagang. ‘Tak salah beliau
amat memuliakan profesi yang satu ini. Beliau bahkan berkata,
“Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya
dan setiap jual beli (perdagangan) yang mabrur.”
Muhammad juga menghiasi keluarganya dengan akhlak yang baik:
perkataan lemah-lembut, kerja keras, kejujuran, dan lainnya. Tidak
pernah sekalipun dia mencontohkan keluarganya kebiasaan buruk: meminum khamr, salah satunya. Padahal kebiasaan itu umum di kalangan warga Quraisy Mekkah kala itu yang masih jahiliyah.
Yang menarik, Muhammad juga menghindarkan keluarganya dari pemahaman
kuat warga Quraisy Mekkah kala itu, yaitu menyembah berhala. Bahkan
beliau melarang untuk memakan daging hewan yang disembahkan untuk
berhala.
Selain akhlak dan perilaku yang baik, Muhammad juga dikaruniai
kemampuan untuk mengambil keputusan. Itu terbukti pada peristiwa
renovasi ka’bah saat usia beliau menginjak 35 tahun.
Ka’bah kala itu masih berupa bangunan susunan batu setinggi sembilan
hasta (siku manusia dewasa), lebih tinggi dari manusia. Bentuknya yang
tanpa atap membuat banyak pencuri yang mengambil isi dalam ka’bah.
Dengan keadaan seperti itu, bangunan ka’bah menjadi rapuh karena sering
dimanjati.
Banjir yang terjadi di Mekkah semakin membuat Ka’bah rapuh. Para
petinggi kaum Quraisy pun sepakat untuk merenovasi bangunan peninggalan
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail itu.
Dimulailah renovasi Ka’bah di bawah pengawasan arsitek asal Romawi
bernama Baqum. Dana pembangunan disepakati hanya dari yang baik-baik,
bukan dari dana pelacuran, dana sistem rente (riba), dan dana dari harta
rampasan.
Tatkala pembangunan sampai pada bagian Hajar Aswad, para petinggi
kaum Quraisy berdebat perihal siapa yang berhak mengangkat dan
memindahkannya. Perdebatan berlangsung hingga berhari-hari, bahkan
meruncing ke perang, pertumpahan darah.
Ternyata ditakdirkan: orang yang berhak mengangkat Hajar Aswad adalah
Muhammad. Namun Muhammad mengambil sebuah keputusan yang sangat bijak:
beliau meminta sebuah selendang lalu meletakkan Hajar Aswad di atasnya.
Muhammad kemudian menyuruh para petinggi kaum Quraisy untuk
masing-masing memegang ujung selendang dan mengangkatnya bersama-sama.
Saat akan tiba di tempatnya, Muhammad mengambil Hajar Aswad itu dan
menaruhnya pada tempatnya semula.
Begitulah peristiwa renovasi Ka’bah sehingga menjadi seperti yang
kita lihat saat ini: bangunan setinggi 15 hasta. Pun kemudian dilakukan
lagi beberapa renovasi oleh generasi selanjutnya.
Referensi: Buku Sirah Nabawiyah, karya Syaikh Safiyyurrahman Al Mubarakfury.
Selasa, 13 Agustus 2013
Minggu, 14 Juli 2013
Kehidupan Nabi Muhammad (583 - 596): Ikut Perang, Keliling Berdagang, dan Menikah dengan Khadijah
Sejak berumur 12 tahun, Muhammad menetap di Mekkah bersama pamannya, Abu Thalib. Sehari-hari, dia mencari kehidupan dengan mengembala kambing, sesekali juga membantu pamannya itu berdagang.
Dalam berdagang, Muhammad menunjukkan etika yang baik. Dia cerdik dalam menjual tapi tidak licik. Jujur dan amanah sangat dipegang teguh oleh Muhammad. Etika baik Muhammad pun tersebar ke mana-mana.
Ikut Perang
Saat Muhammad berusia 15 tahun, meletus perang di Mekah. Perang itu bernama Perang Fijar yang melibatkan antara pihak Quraisy bersama Kinanah melawan pihak Qais Ailan. Muhammad ikut dalam perang itu. Dia membantu mengumpulkan busur (anak panah) untuk dipakai paman-pamannya berperang.
Pascaperang, terjadi perundingan antara kedua belah pihak yang juga dihadiri Muhammad. Perundingan berujung pada kesepakatan: tidak ada satu pun penduduk Mekkah yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, harus dibela. Siapa yang menganiaya, harus dihukum.
Dua pengalaman tersebut di atas sangat berharga bagi Muhammad. Perang dan perundingan, dua pengalaman yang kelak mengasah jiwa kepemimpinan Muhammad.
Keliling Berdagang
Etika baik Muhammad dalam berdagang sampai ke telinga Khadijah, seorang pedagang kaya, cantik dan terkenal. Muhammad pun dipercaya memperdagangkan barang-barang milik Khadijah dengan imbalan bagi hasil.
Maka kelilinglah berdagang anak muda Muhammad yang kala itu berumur 25 tahun. Dia berdagang ke Syam dengan didampingi seorang pembantu utusan Khadijah bernama Maisarah.
Hasilnya: Khadijah kagum dengan omzet dagang melimpah yang diperoleh Muhammad. Ditambah cerita-cerita Maisarah perihal etika Muhammad yang sangat baik, itu semakin menambah kekaguman Khadijah.
Menikah dengan Khadijah
Dalam perjalanannya, kekaguman Khadijah kepada Muhammad berubah menjadi cinta dan keinginan untuk menikah dengan Muhammad. Melalui perantara seorang perempuan bernama Nafisah, Khadijah menyampaikan keinginannya kepada Muhammad.
Muhammad sepakat. Dia pun menemui pamannya untuk mengutarakan perihal rencana pernikahannya dengan Khadijah itu.
Maka pernikahan pun dilangsungkan. Muhammad yang berusia 25 tahun menikahi Khadijah yang berusia 40 tahun dengan mahar 20 ekor onta muda.
Pernikahan keduanya berlangsung bahagia hingga membuahkan dua orang putra: Qasim dan Abdullah, dan empat orang putri: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az Zahra.
Referensi: Sirah Nabawiyah, karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, hal. 51 – 53.
Dalam berdagang, Muhammad menunjukkan etika yang baik. Dia cerdik dalam menjual tapi tidak licik. Jujur dan amanah sangat dipegang teguh oleh Muhammad. Etika baik Muhammad pun tersebar ke mana-mana.
Ikut Perang
Saat Muhammad berusia 15 tahun, meletus perang di Mekah. Perang itu bernama Perang Fijar yang melibatkan antara pihak Quraisy bersama Kinanah melawan pihak Qais Ailan. Muhammad ikut dalam perang itu. Dia membantu mengumpulkan busur (anak panah) untuk dipakai paman-pamannya berperang.
Pascaperang, terjadi perundingan antara kedua belah pihak yang juga dihadiri Muhammad. Perundingan berujung pada kesepakatan: tidak ada satu pun penduduk Mekkah yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, harus dibela. Siapa yang menganiaya, harus dihukum.
Dua pengalaman tersebut di atas sangat berharga bagi Muhammad. Perang dan perundingan, dua pengalaman yang kelak mengasah jiwa kepemimpinan Muhammad.
Keliling Berdagang
Etika baik Muhammad dalam berdagang sampai ke telinga Khadijah, seorang pedagang kaya, cantik dan terkenal. Muhammad pun dipercaya memperdagangkan barang-barang milik Khadijah dengan imbalan bagi hasil.
Maka kelilinglah berdagang anak muda Muhammad yang kala itu berumur 25 tahun. Dia berdagang ke Syam dengan didampingi seorang pembantu utusan Khadijah bernama Maisarah.
Hasilnya: Khadijah kagum dengan omzet dagang melimpah yang diperoleh Muhammad. Ditambah cerita-cerita Maisarah perihal etika Muhammad yang sangat baik, itu semakin menambah kekaguman Khadijah.
Menikah dengan Khadijah
Dalam perjalanannya, kekaguman Khadijah kepada Muhammad berubah menjadi cinta dan keinginan untuk menikah dengan Muhammad. Melalui perantara seorang perempuan bernama Nafisah, Khadijah menyampaikan keinginannya kepada Muhammad.
Muhammad sepakat. Dia pun menemui pamannya untuk mengutarakan perihal rencana pernikahannya dengan Khadijah itu.
Maka pernikahan pun dilangsungkan. Muhammad yang berusia 25 tahun menikahi Khadijah yang berusia 40 tahun dengan mahar 20 ekor onta muda.
Pernikahan keduanya berlangsung bahagia hingga membuahkan dua orang putra: Qasim dan Abdullah, dan empat orang putri: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az Zahra.
Referensi: Sirah Nabawiyah, karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, hal. 51 – 53.
Sabtu, 13 Juli 2013
Kehidupan Nabi Muhammad (571 - 583): Lahir dengan Tanda-Tanda Kenabian
Kelahiran dan Penamaan
Senin pagi, 22 April 571, seorang bayi laki-laki lahir di Mekkah dari seorang ibu bernama Aminah. Bayi laki-laki itu lahir dalam keadaan yatim sebab ayahnya Abdullah telah wafat.
Aminah kemudian mengutus seseorang untuk menyampaikan kabar gembira kelahiran bayinya itu kepada Abdul Muththalib, ayah suaminya Abdullah. Ayahnya pun segera datang dengan perasaan suka cita untuk melihat cucunya.
Abdul Muththalib dengan rasa bahagia menggendong cucunya dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah. Di dalam Ka’bah, dia memberi nama Muhammad kepada cucunya, sebuah nama yang belum pernah ada yang memiliki sebelumnya.
Nama Muhammad berasal dari kata Al hamdu: yang terpuji. Sering juga disebut Ahmad: yang paling terpuji.
Diasuh Halimah dan Peristiwa Pembelahan Dada
Wanita pertama yang mengasuh dan menyusui Muhammad adalah Tsuwaibah lalu kemudian Halimah. Halimah menceritakan bahwa banyak keberkahan yang diperolehnya saat mengasuh Muhammad.
Pada saat Halimah pertama kali menerima dan menggendong Muhammad, dia seperti tidak merasakan beban apa-apa. Dia pun menuju keledainya dan membawa pergi Muhammad. Keledainya yang telah berjalan cukup jauh terlihat sangat kuat dan perkasa, tanpa lelah sedikit pun.
Setiba di rumahnya, di daerah Bani Sa’d. Halimah melihat bahwa tanah di tempatnya tumbuh dengan sangat subur; domba-domba peliharaannya pun terlihat sangat kenyang dan sehat. Sangat berbeda dengan domba-domba peliharaan tetangganya.
Di bawah asuhan Halimah, Muhammad tumbuh dengan baik. Bahkan di umur dua tahun, pertumbuhannya sangat pesat dibandingkan anak-anak yang lain. Hingga pada saat berumur empat tahun, terjadilah peristiwa besar terhadap Muhammad.
Pada saat Muhammad sedang bermain bersama teman-temannya, Malaikat Jibril datang dan memegangnya. Jibril kemudian menelengtangkannya dan membelah dadanya. Hati (segumpal darah) dikeluarkan dari dadanya. Jibril mengatakan, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.”
Jibril mencuci hati (gumpalan darah) itu dengan air zamzam dalam baskom emas. Setelah dicuci, Jibril memasukkan dan menatanya kembali ke tempat semula.
Teman-teman Muhammad berlarian dan berteriak, “Muhammad telah dibunuh!” Para ibu pun, dengan perasaan panik, datang menghampiri Muhammad. Mereka menemukan Muhammad dalam keadaan baik dan bahkan dengan wajah yang semakin berseri.
Kembali ke Ibu Hingga Menjadi Yatim-Piatu
Setelah peritiwa itu, Halimah menjadi takut. Dia pun mengambil keputusan untuk mengembalikan Muhammad ke pangkuan ibu kandungnya, Aminah. Muhammad pun hidup bersama Aminah.
Suatu ketika, Aminah merasa perlu mengenang suaminya, Abdullah. Dia pun pergi dari Mekkah untuk menziarahi kuburan suaminya di Madinah bersama Muhammad dan pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Mereka menetap di Madinah selama satu bulan.
Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Mekkah, Aminah jatuh sakit dan kemudian wafat. Dia wafat di Abwa’, daerah antara Madinah dan Mekkah.
Diasuh Sang Kakek dan Paman
Sepeninggal ibunya, Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib. Muhammad diasuh dengan penuh kasih sayang oleh kakeknya. Bahkan, Abdul Muththalib lebih mengutamakan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Pada saat Muhammad berusia delapan tahun, Abdul Muththalib wafat. Sebelum wafat, dia menitipkan pesan bahwa pengasuhan Muhammad diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib, yang merupakan saudara kandung dari ayah Muhammad, Abdullah.
Sama seperti Abdul Muththalib, Abu Thalib mengasuh Muhammad dengan penuh kasih sayang. Dia juga lebih mementingkan Muhammad dibandingkan anak-anaknya sendiri. Bahkan Abu Thalib rela menjalin permusuhan demi melindungi Muhammad.
Pekerjaan dan Tanda Kenabian
Masa remaja Muhammad banyak dihabiskan dengan bekerja sebagai pengembala kambing. Dari pekerjaan itu, dia memperoleh beberapa imbalan dinar.
Pada saat Muhammad berusia 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya pergi berdagang ke Syam, hingga tiba di Bushra.
Di Bushra, keduanya bertemu dengan seorang rahib Yahudi bernama Bahira. Rahib Bahira menghampiri Muhammad dan memegang tangannya sambil berkata, “Anak ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam!”
Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?” Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwah yang ada di bagian bawah tulang bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapati tanda itu dalam kitab kami.”
Referensi: Sirah Nabawiyah, karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, hal. 45 – 51.
Senin pagi, 22 April 571, seorang bayi laki-laki lahir di Mekkah dari seorang ibu bernama Aminah. Bayi laki-laki itu lahir dalam keadaan yatim sebab ayahnya Abdullah telah wafat.
Aminah kemudian mengutus seseorang untuk menyampaikan kabar gembira kelahiran bayinya itu kepada Abdul Muththalib, ayah suaminya Abdullah. Ayahnya pun segera datang dengan perasaan suka cita untuk melihat cucunya.
Abdul Muththalib dengan rasa bahagia menggendong cucunya dan membawanya masuk ke dalam Ka’bah. Di dalam Ka’bah, dia memberi nama Muhammad kepada cucunya, sebuah nama yang belum pernah ada yang memiliki sebelumnya.
Nama Muhammad berasal dari kata Al hamdu: yang terpuji. Sering juga disebut Ahmad: yang paling terpuji.
Diasuh Halimah dan Peristiwa Pembelahan Dada
Wanita pertama yang mengasuh dan menyusui Muhammad adalah Tsuwaibah lalu kemudian Halimah. Halimah menceritakan bahwa banyak keberkahan yang diperolehnya saat mengasuh Muhammad.
Pada saat Halimah pertama kali menerima dan menggendong Muhammad, dia seperti tidak merasakan beban apa-apa. Dia pun menuju keledainya dan membawa pergi Muhammad. Keledainya yang telah berjalan cukup jauh terlihat sangat kuat dan perkasa, tanpa lelah sedikit pun.
Setiba di rumahnya, di daerah Bani Sa’d. Halimah melihat bahwa tanah di tempatnya tumbuh dengan sangat subur; domba-domba peliharaannya pun terlihat sangat kenyang dan sehat. Sangat berbeda dengan domba-domba peliharaan tetangganya.
Di bawah asuhan Halimah, Muhammad tumbuh dengan baik. Bahkan di umur dua tahun, pertumbuhannya sangat pesat dibandingkan anak-anak yang lain. Hingga pada saat berumur empat tahun, terjadilah peristiwa besar terhadap Muhammad.
Pada saat Muhammad sedang bermain bersama teman-temannya, Malaikat Jibril datang dan memegangnya. Jibril kemudian menelengtangkannya dan membelah dadanya. Hati (segumpal darah) dikeluarkan dari dadanya. Jibril mengatakan, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.”
Jibril mencuci hati (gumpalan darah) itu dengan air zamzam dalam baskom emas. Setelah dicuci, Jibril memasukkan dan menatanya kembali ke tempat semula.
Teman-teman Muhammad berlarian dan berteriak, “Muhammad telah dibunuh!” Para ibu pun, dengan perasaan panik, datang menghampiri Muhammad. Mereka menemukan Muhammad dalam keadaan baik dan bahkan dengan wajah yang semakin berseri.
Kembali ke Ibu Hingga Menjadi Yatim-Piatu
Setelah peritiwa itu, Halimah menjadi takut. Dia pun mengambil keputusan untuk mengembalikan Muhammad ke pangkuan ibu kandungnya, Aminah. Muhammad pun hidup bersama Aminah.
Suatu ketika, Aminah merasa perlu mengenang suaminya, Abdullah. Dia pun pergi dari Mekkah untuk menziarahi kuburan suaminya di Madinah bersama Muhammad dan pembantu wanitanya, Ummu Aiman. Mereka menetap di Madinah selama satu bulan.
Dalam perjalanan pulang dari Madinah ke Mekkah, Aminah jatuh sakit dan kemudian wafat. Dia wafat di Abwa’, daerah antara Madinah dan Mekkah.
Diasuh Sang Kakek dan Paman
Sepeninggal ibunya, Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib. Muhammad diasuh dengan penuh kasih sayang oleh kakeknya. Bahkan, Abdul Muththalib lebih mengutamakan Muhammad daripada anak-anaknya sendiri.
Pada saat Muhammad berusia delapan tahun, Abdul Muththalib wafat. Sebelum wafat, dia menitipkan pesan bahwa pengasuhan Muhammad diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib, yang merupakan saudara kandung dari ayah Muhammad, Abdullah.
Sama seperti Abdul Muththalib, Abu Thalib mengasuh Muhammad dengan penuh kasih sayang. Dia juga lebih mementingkan Muhammad dibandingkan anak-anaknya sendiri. Bahkan Abu Thalib rela menjalin permusuhan demi melindungi Muhammad.
Pekerjaan dan Tanda Kenabian
Masa remaja Muhammad banyak dihabiskan dengan bekerja sebagai pengembala kambing. Dari pekerjaan itu, dia memperoleh beberapa imbalan dinar.
Pada saat Muhammad berusia 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya pergi berdagang ke Syam, hingga tiba di Bushra.
Di Bushra, keduanya bertemu dengan seorang rahib Yahudi bernama Bahira. Rahib Bahira menghampiri Muhammad dan memegang tangannya sambil berkata, “Anak ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam!”
Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?” Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang Nabi. Aku bisa mengetahui dari stempel nubuwah yang ada di bagian bawah tulang bahunya, yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapati tanda itu dalam kitab kami.”
Referensi: Sirah Nabawiyah, karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, hal. 45 – 51.
Jumat, 05 Juli 2013
Dalam Kenangan, Usman (Renungan Menjelang Ramadhan)
Ada yang tidak bisa penulis lupa saat kuliah dulu. Seorang sahabat, Usman namanya. Sahabat kuliah, sahabat diskusi, dan kalau ada tingkatan di atas sahabat, pasti dia akan menempatinya.
Usman telah wafat. Waktunya kapan, penulis sudah lupa. Sesaat menjelang subuh, sebuah truk menabraknya saat mengendarai motor di depan Pesantren Immim Makassar, sepulang dari membeli bekal untuk sahur.
Tubuh Usman terpental; kepalanya terbentur keras di aspal jalanan; motornya rusak parah. Tubuh Usman segera dilarikan ke RS Dr. Wahidin Sudirohusodo yang kebetulan dekat dengan lokasi kejadian.
Siang hari saat penulis menjenguknya di rumah sakit, darah ‘tak berhenti mengalir keluar dari kepalanya. Sungguh miris melihatnya dalam keadaan seperti itu. Ditambah melihat pemandangan duka keluarganya yang jauh datang dari Takalar.
Hingga mendung menginjak senja, Usman ‘tak kuasa lagi. Dia akhirnya menghembuskan nafas terakhir, kembali kepada-Nya.
*****
Mati tidak mengenal usia! Penulis semakin menyadari itu saat kematian Usman. Badannya yang cukup kekar dan semangatnya yang menggebu-gebu 'tak cukup untuk menahan kemauan Sang Pemilik manusia untuk mencabut nyawanya.
Sebab, hidup hanyalah pergulatan ruang dan waktu dimana kematian akan mengakhirinya, kapan pun itu! Dan kemudian, kita pun kembali kepada-Nya.
Untuk sahabatku Usman, semoga dosa-dosamu diampuni-Nya dan semoga amal-amalmu diterima di sisi-Nya!
Usman telah wafat. Waktunya kapan, penulis sudah lupa. Sesaat menjelang subuh, sebuah truk menabraknya saat mengendarai motor di depan Pesantren Immim Makassar, sepulang dari membeli bekal untuk sahur.
Tubuh Usman terpental; kepalanya terbentur keras di aspal jalanan; motornya rusak parah. Tubuh Usman segera dilarikan ke RS Dr. Wahidin Sudirohusodo yang kebetulan dekat dengan lokasi kejadian.
Siang hari saat penulis menjenguknya di rumah sakit, darah ‘tak berhenti mengalir keluar dari kepalanya. Sungguh miris melihatnya dalam keadaan seperti itu. Ditambah melihat pemandangan duka keluarganya yang jauh datang dari Takalar.
Hingga mendung menginjak senja, Usman ‘tak kuasa lagi. Dia akhirnya menghembuskan nafas terakhir, kembali kepada-Nya.
*****
Mati tidak mengenal usia! Penulis semakin menyadari itu saat kematian Usman. Badannya yang cukup kekar dan semangatnya yang menggebu-gebu 'tak cukup untuk menahan kemauan Sang Pemilik manusia untuk mencabut nyawanya.
Sebab, hidup hanyalah pergulatan ruang dan waktu dimana kematian akan mengakhirinya, kapan pun itu! Dan kemudian, kita pun kembali kepada-Nya.
Untuk sahabatku Usman, semoga dosa-dosamu diampuni-Nya dan semoga amal-amalmu diterima di sisi-Nya!
Sabtu, 29 Juni 2013
Ahmadiyah
Pada 2001 silam, penulis bersama teman-teman SMA mengunjungi sebuah panti asuhan di jalan Anuang nomor 112 Makassar. Panti asuhan itu cukup besar. Berada dalam satu kompleks luas bersama masjid dan kantor.
Beberapa waktu lalu, kompleks bangunan itu diserang oleh Forum Pembela Islam (FPI) Makassar. Kenapa? Ya, di kompleks itulah Ahmadiyah Makassar bermarkas. Aliran yang dicap sesat dan menyesatkan.
Ketika penulis bekerja di Fajar TV Makassar, seorang pemuda bertampak alim datang dengan maksud mengajukan kerjasama penyiaran. Dia mengaku perwakilan Muslim TV, perusahaan televisi Islam internasional yang berpusat di 16 Gressen Hall Road SW 18,5 QL London, Inggris.
Intinya, pemuda itu ingin memutar karya dokumentasi Muslim TV dengan membayar sejumlah rupiah. Dia lalu memberikan contoh karya dokumentasinya dalam bentuk CD. Di stiker CD itu tertera logo MTA, singkatan dari Muslim TV Ahmadiyah.
Dalam perjalanannya, kami tidak saling sepakat bekerjasama. Namun, penulis masih menyimpan CD itu hingga kini.
Apa isi CD itu? CD itu berisi profil Khalifatul Masih IV Ahmadiyyah, Mirza Tahir Ahmad, saat berkunjung ke Indonesia Juni 2000 silam. Mirza Tahir Ahmad kemudian wafat pada 2003.
Dalam kunjungan ke Indonesia itu, Mirza Tahir Ahmad melakukan beberapa aktifitas: bertemu Amin Rais (ketua MPR RI saat itu), menjadi keynote speaker dalam Seminar Islam di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan menemui para pengurus Ahmadiyah.
Selama beraktifitas di Indonesia, sang Khalifatul Masih IV dan rombongannya dikawal oleh polisi.
*****
Apa itu Ahmadiyah? Ahmadiyah adalah organisasi Islam yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad. Kepada pengikutnya, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan dirinya sebagai pemilik nafas Al Masih (cahaya) dan pewaris tahta Imam Mahdi, Imam akhir zaman yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad.
Pernyataan tersebut kemudian menjadi akidah utama jema'at Ahmadiyah. Selanjutnya, pemimpin Ahmadiyah diberi gelar Khalifatul Masih yang berarti pemimpin yang mewarisi nafas Al Masih (cahaya) dan pewaris tahta Imam Mahdi, Imam akhir zaman.
Dalam perkembangannya, setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal pada 1908, Ahmadiyah sudah dipimpin lima orang Khalifatul Masih hingga hari ini: Hakim Maulana Nuruddin (1908-1914), Alhaj Mirza Bashiruddin Mahmod Ahmad (1914-1965), Hafiz Mirza Nasir Ahmad (1965-1982), Mirza Tahir Ahmad (1982-2003), dan Mirza Masroor Ahmad (2003-sekarang).
Setiap jema’at Ahmadiyah wajib berba’iat setia mengikuti sang Khalifatul Masih. Saat ini, sekira 150 juta orang yang tersebar di 174 negara di seluruh dunia telah berbaiat setia kepada sang Khalifatul Masih.
Berikut syair bai’at setia yang penulis kutip dari isi CD:
Oh cahaya tercinta; Pemilik nafas Al Masih
Pewaris Tahta Mahdi, Imam Zaman
Oh Penghulu, Oh Sang Dermawan
Penuntunku penuh kemurahan
Demi Tuhan kami, kami berbai’at setia kepadamu
Kau telah menjadi milik kami, kami telah menjadi milikmu
*****
Dari pengalaman di atas dan dari isi CD, penulis berkesimpulan: satu, Ahmadiyyah adalah organisasi besar bertaraf internasional yang sudah lama berdiri. Bahkan lebih besar dari Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dua, Ahmadiyah adalah organisasi yang digerakkan dengan dana besar. Kalau mereka tidak punya dana besar, mana mungkin mereka mampu membuat production house televisi.
Tiga, Pemerintah Republik Indonesia dan jajarannya (pejabat, polisi, dan lainnya) sudah lama mengenal dan mengetahui Ahmadiyah, baik secara organisasi maupun pergerakan.
Empat, cendikiawan muslim Indonesia juga sudah bergaul dengan para ulama-ulama Ahmadiyah, salah satunya Amien Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah, organisasi yang mengharamkan Ahmadiyah.
Lima, salah satu aqidah jema'at Ahmadiyah adalah menganggap pemimpin mereka sebagai pemilik nafas Al Masih dan pewaris tahta Imam Mahdi, imam akhir zaman.
Dari pemaparan di atas, penulis berharap pembaca secara sendirinya bisa menilai Ahmadiyah, apakah berada di jalan yang lurus atau sesat.
Beberapa waktu lalu, kompleks bangunan itu diserang oleh Forum Pembela Islam (FPI) Makassar. Kenapa? Ya, di kompleks itulah Ahmadiyah Makassar bermarkas. Aliran yang dicap sesat dan menyesatkan.
Ketika penulis bekerja di Fajar TV Makassar, seorang pemuda bertampak alim datang dengan maksud mengajukan kerjasama penyiaran. Dia mengaku perwakilan Muslim TV, perusahaan televisi Islam internasional yang berpusat di 16 Gressen Hall Road SW 18,5 QL London, Inggris.
Intinya, pemuda itu ingin memutar karya dokumentasi Muslim TV dengan membayar sejumlah rupiah. Dia lalu memberikan contoh karya dokumentasinya dalam bentuk CD. Di stiker CD itu tertera logo MTA, singkatan dari Muslim TV Ahmadiyah.
Dalam perjalanannya, kami tidak saling sepakat bekerjasama. Namun, penulis masih menyimpan CD itu hingga kini.
Apa isi CD itu? CD itu berisi profil Khalifatul Masih IV Ahmadiyyah, Mirza Tahir Ahmad, saat berkunjung ke Indonesia Juni 2000 silam. Mirza Tahir Ahmad kemudian wafat pada 2003.
Dalam kunjungan ke Indonesia itu, Mirza Tahir Ahmad melakukan beberapa aktifitas: bertemu Amin Rais (ketua MPR RI saat itu), menjadi keynote speaker dalam Seminar Islam di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan menemui para pengurus Ahmadiyah.
Selama beraktifitas di Indonesia, sang Khalifatul Masih IV dan rombongannya dikawal oleh polisi.
*****
![]() |
Mirza Ghulam Ahmad dan pengikut Ahmadiyah (alislam.org) |
Pernyataan tersebut kemudian menjadi akidah utama jema'at Ahmadiyah. Selanjutnya, pemimpin Ahmadiyah diberi gelar Khalifatul Masih yang berarti pemimpin yang mewarisi nafas Al Masih (cahaya) dan pewaris tahta Imam Mahdi, Imam akhir zaman.
Dalam perkembangannya, setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal pada 1908, Ahmadiyah sudah dipimpin lima orang Khalifatul Masih hingga hari ini: Hakim Maulana Nuruddin (1908-1914), Alhaj Mirza Bashiruddin Mahmod Ahmad (1914-1965), Hafiz Mirza Nasir Ahmad (1965-1982), Mirza Tahir Ahmad (1982-2003), dan Mirza Masroor Ahmad (2003-sekarang).
Setiap jema’at Ahmadiyah wajib berba’iat setia mengikuti sang Khalifatul Masih. Saat ini, sekira 150 juta orang yang tersebar di 174 negara di seluruh dunia telah berbaiat setia kepada sang Khalifatul Masih.
Berikut syair bai’at setia yang penulis kutip dari isi CD:
Oh cahaya tercinta; Pemilik nafas Al Masih
Pewaris Tahta Mahdi, Imam Zaman
Oh Penghulu, Oh Sang Dermawan
Penuntunku penuh kemurahan
Demi Tuhan kami, kami berbai’at setia kepadamu
Kau telah menjadi milik kami, kami telah menjadi milikmu
*****
Dari pengalaman di atas dan dari isi CD, penulis berkesimpulan: satu, Ahmadiyyah adalah organisasi besar bertaraf internasional yang sudah lama berdiri. Bahkan lebih besar dari Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
Dua, Ahmadiyah adalah organisasi yang digerakkan dengan dana besar. Kalau mereka tidak punya dana besar, mana mungkin mereka mampu membuat production house televisi.
Tiga, Pemerintah Republik Indonesia dan jajarannya (pejabat, polisi, dan lainnya) sudah lama mengenal dan mengetahui Ahmadiyah, baik secara organisasi maupun pergerakan.
Empat, cendikiawan muslim Indonesia juga sudah bergaul dengan para ulama-ulama Ahmadiyah, salah satunya Amien Rais yang saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah, organisasi yang mengharamkan Ahmadiyah.
Lima, salah satu aqidah jema'at Ahmadiyah adalah menganggap pemimpin mereka sebagai pemilik nafas Al Masih dan pewaris tahta Imam Mahdi, imam akhir zaman.
Dari pemaparan di atas, penulis berharap pembaca secara sendirinya bisa menilai Ahmadiyah, apakah berada di jalan yang lurus atau sesat.
Rabu, 29 Mei 2013
Lumpur Porong
Minggu, 19 Mei 2013
Robert Kearns, Ilmuwan yang Melawan Korporasi Raksasa
![]() |
Robert Kearns dan temuannya |
Maka ketika temuannya yang telah dipatenkan berupa kipas kaca intermittent (windscreen wiper) pada mobil dibajak oleh Ford Motor Company, dia berjuang menuntutnya. Tawaran uang damai yang menggiurkan dari Ford ditolaknya.
Kearns hanya menginginkan satu hal: temuannya diakui publik dan Ford harus meminta maaf kepada publik melalui media karena telah mencuri idenya. Ford menolaknya. Dan hukum dan perjuangan untuk keadilan pun berlanjut melalui pengadilan.
Butuh 12 tahun bagi Kearns untuk memperjuangkan keadilan atas dirinya. Dalam kurun waktu itu, dia sempat menjadi gila sesaat, waktunya untuk keluarga tidak ada, dan bahkan dia harus berpisah dengan istrinya.
Yang paling menarik, semua pengacara yang membelanya mengundurkan diri. Pengacara itu beralasan sulit mengalahkan korporasi raksasa secara hukum. Kearns pun berjuang sendiri di pengadilan dibantu anak-anaknya.
Perjuangan Kearns berujung sukses. Ford dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan harus membayar 10 juta dollar kepada Kearns. Dalam perjalanannya, Chrysler Corporation yang juga memakai ide Kearns diwajibkan membayar 18,5 juta dollar kepada Kearns.
Kearns mendapatkan semuanya: keadilan dan kesejahteraan, sebelum dia meninggal dunia pada 2005 di usia 77 tahun. “Ini bukan soal uang, tapi soal salah dan benar,” kata Kearns.
Kipas kaca intermittent adalah teknologi yang berguna menghapus kaca ketika hujan. Kini, teknologi itu dipakai oleh ratusan juta mobil di dunia. Tidak hanya mobil, tapi juga kereta api dan kapal laut.
Referensi: Artikel Flash of Genius, oleh John Seabrook (dimuat di The New Yorker dan difilmkan oleh Marc Abraham dengan judul yang sama).
Langganan:
Postingan (Atom)