Senin, 23 April 2012

70 Tahun Jusuf Kalla: Menjadi Pemimpin di Semua Model Organisasi (2)

Jusuf Kalla terlahir sebagai pemimpin. Tidak salah penulis berkata seperti itu. Di usia JK yang pada 15 Mei 2012 mendatang genap 70 tahun, JK telah menjadi pemimpin di semua model organisasi: kepelajaran, kemahasiswaan, bisnis, asosiasi, pemerintahan, politik dan sosial.

Untuk organisasi kepelajaran, JK menjadi Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Sulawesi Selatan pada 1950-an. Jabatan itu diperoleh JK saat menjadi siswa di Sekolah Islam Datumuseng Makassar. Di organisasi PII inilah jiwa kepemimpinan JK mulai terasah.

Untuk organisasi kemahasiswaan, JK menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makassar periode 1965-1966, Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Hasanuddin Makassar periode 1965-1966 dan Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan periode 1966-1967.

Dalam sebuah kesempatan, JK pernah menceritakan masa-masa aktifnya sebagai aktifis mahasiswa. “Mahasiswa itu tidak selalu harus marah. Kami juga dulu sering berdemonstrasi, tapi tidak pernah bakar ban.”

Untuk organisasi bisnis, JK menjadi Direktur Utama NV Hadji Kalla dari 1968 sampai 1999. Bagi JK, organisasi bisnis itu tidak hanya berorientasi pada profit, tapi juga pertumbuhan (growth). “Profit bukanlah yang utama dikejar. Ada nilai yang sebenarnya lebih arif untuk dikejar, yakni growth.” kata JK.

Untuk organisasi asosiasi, JK menjadi Ketua Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin Makassar (Ika Unhas) dari 1992 sampai sekarang.  Sebuah cerita, entah benar atau tidak: seorang akademisi Unhas protes terkait kepemimpinan JK di Ika Unhas.

Akademisi itu protes karena JK bukanlah seorang Profesor, sedangkan banyak Profesor lain yang lebih pantas. Pernyataan orang itu dibantah oleh Prof. Halide (Guru Besar Fakultas Ekonomi Unhas) dengan mengatakan bahwa JK memang bukan Profesor, tapi dia lebih hebat dari Profesor.

Untuk organisasi pemerintahan, JK menjadi pemimpin di Departemen Perindustrian & Perdagangan dari 1999 sampai 2000 dan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat dari 2001 sampai 2004.

Bagi JK, organisasi pemerintahan itu harus berorientasi pada proses. “Pemerintah harus memberikan pelayanan yang terbaik. Pandangan sinis bahwa kalau bisa dipersusah kenapa dipergampang harus dihindari,” kata JK.

Untuk organisasi politik, JK menjadi Ketua Umum Partai Golongan Karya. JK terbilang cukup setia dengan Partai Golkar meskipun banyak pandangan sinis terhadap partai binaan Soeharto itu. Di Golkar, JK memulai dengan menjadi kader muda di tahun 1980-an sampai menjadi Ketua Umum periode 2004 sampai 2009.

Untuk organisasi sosial, JK menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) dari 2009 sampai sekarang.

Banyak orang yang mengatakan bahwa JK tidak cocok memimpin di PMI karena bukan bidangnya, tapi JK mampu membuktikan bahwa dirinya bisa. JK telah membuat banyak terobosan baru di organisasi itu, terutama pastisipasi PMI dalam penanganan bencana.

Itulah JK yang telah menjadi pemimpin di semua model organisasi. Sayang, JK gagal menyempurnakannya dengan menjadi pemimpin negara. “Sekiranya jadi Presiden, lengkap betul hidup ini,” kata JK.

Terkait kepemimpinan, JK berujar di hadapan Direktur pelbagai perusahaan dalam sebuah acara yang diadakan majalah Warta Ekonomi: “Segala sesuatunya itu sebenarnya ditentukan oleh kepepimpinan, bukan organisasi. Organisasi itu penting, tapi organisasi baru bisa berjalan dengan kepemimpinan yang baik.”

Sabtu, 21 April 2012

70 Tahun Jusuf Kalla: Merasakan Semua Era Kepresidenan (1)

JK [foto: Solichin Jusuf]
Pada 15 Mei 2012 mendatang, Jusuf Kalla genap berusia 70 tahun. Banyak sudah pengalaman hidup yang dialami JK di usianya itu, salah satunya adalah JK merasakan semua era kepresidenan, dari Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono.

Saat Soekarno menjadi Presiden pada 1945, JK menghabiskan masa kecilnya di kota Watampone, Bone, Sulawesi Selatan. Awal 1950-an, keluarganya pindah ke Makassar, JK pun menjalani masa sekolahnya di Makassar.

Pada 1966, JK menjadi aktifis mahasiswa dan Ketua organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang lantang mengritisi pemerintahan Soekarno hingga lengser setahun kemudian. Nama JK pun terukir dalam jajaran aktifis ‘66 bersama Akbar Tanjung, Mar’ie Muhammad, Nurcholis Madjid, Soe Hok Gie dan lainnya.

Saat Soeharto menjadi Presiden menggantikan Soekarno pada 1967, JK telah selesai menempuh pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar. Di tahun yang sama, JK juga menikahi Mufidah dan mewarisi perusahaan ayahnya, NV Hadji Kalla Trading Company.

Selama 21 tahun, JK tidak bersentuhan sama sekali dengan pemerintahan Soeharto. JK sibuk mengembangkan perusahaannya dan menjadi ayah dari lima anak: Muchlisa, Muswira, Imelda, Solichin dan Chaerani.

Baru pada 1988, JK memulai karirnya di pemerintahan Soeharto dengan menjadi anggota MPR. Jabatan itu terus berlanjut hingga Presiden Soeharto jatuh pada 1998 karena gerakan reformasi dan posisinya digantikan oleh BJ Habibie.

Pascareformasi, saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden pada 1999, JK ditunjuk menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Saat Gus Dur jatuh dan digantikan Megawati Soekarno Putri pada 2001, JK ditunjuk menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.

Saat Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden pada 2004, JK menjadi wakilnya. Saat SBY menjadi Presiden lagi untuk kedua kalinya pada 2009, JK menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) sampai sekarang.

Itulah JK yang memiliki pengalaman merasakan semua era kepresidenan. Sayang JK gagal menggenapkan pengalamannya dengan merasakan era kepresidenannya sendiri.

JK menceritakan: “Hidup saya itu selalu berjenjang. Waktu di organisasi kemahasiswaan, saya mulai dari anggota kemudian sekjen, kemudian bendahara dan terakhir sebagai Ketua.”

“Di perusahaan, saya mulai dari karyawan, kemudian naik menjadi manajer, kemudian Direktur Utama dan terakhir Komisaris.”

“Di pemerintahan, saya menjadi menteri, kemudian menko, kemudian wakil Presiden. Cuma satu yang kurang. Sekiranya jadi Presiden, lengkap betul hidup ini.”

Senin, 26 Desember 2011

Syech Yusuf Discovery, Bangunan 'Tak Bertuan

Syech Yusuf Discovery dari kejauhan
BANGUNAN itu tampak cantik dari jauh karena huruf berbahan fiber berdiri tegap bertuliskan Syech Yusuf Discovery. Di belakangnya tampak beberapa bangunan berkubah kerucut dengan bangunan inti di tengah yang didesain menyerupai passappu': tutup kepala suku Makassar. Kalau di Jeneponto disebut patonro'.

Suasana halaman dengan rumput yang meninggi
Ya, Syech Yusuf Discovery nama bangunan itu. Kalau dibahasa-Indonesiakan berarti Penemuan Syaikh Yusuf. Syaikh Yusuf adalah ulama besar Gowa yang gaungnya sampai ke Afrika. Apa penemuannya? Itu yang membingungkan. Bangunan itu dari segi nama menipu memang karena Syaikh Yusuf sama sekali tidak memiliki temuan. Dan faktanya, beliau adalah seorang ulama, bukan penemu.

Papan nama yang dicoret-coreti pengunjung
Papan nama yang terlepas
Kalau dimaksudkan nama itu adalah pengunjung bisa menemukan segala informasi tentang Syaikh Yusuf dari bangunan itu, ternyata juga tidak sama sekali. Di bangunan itu hanya didapati sepasang muda-mudi yang lagi pacaran, tembok bangunan yang terkelupas sana-sini, rumput-rumput di halaman bangunan yang sudah meninggi, dan ragam kesemrawutan lainnya. Informasi macam apa?

Rumput yang meninggi, tidak terawat
Bangunan itu sungguh 'tak bertuan. Tidak jelas model, filosofi, maksud, dan tujuan pembangunannya. Mungkin lebih cocok bangunan itu dijadikan tempat shooting film horor karena bangunannya yang tampak horor.

Sabtu, 17 Desember 2011

Pamanca' dan Tari Pa'deko

Dua pamanca melakukan tari pamanca'
Ada dua hiburan rakyat dalam helatan pernikahan kaum bangsawan (karaeng) di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan: Pamanca' dan tari Pa'deko.

Pamanca' adalah adu silat antara dua atau sekelompok orang. Silat yang digunakan adalah silat tradisional. Pesilatnya menggunakan pakaian tradisional berupa sarung dan patonro (penutup kepala).

Tari pa'deko
Agar silat tampak lebih alami, sebelum bersilat, para pesilat meneguk dulu ballo' tala', minuman keras khas Jeneponto yang terbuat dari buah tala' (lontar).

Musik berirama dari gendang dan gong mengiringi sepanjang adu silat berlangsung.

Tari Pa'deko adalah tari menumbuk lesung padi dengan tongkat. Tari ini dilakukan oleh beberapa wanita lokal berpakaian tradisional baju bodo.

Sama seperti pamanca', tari pa'deko juga diringi irama dari gong dan gendang. Irama dari gong dan gendang seiring dengan bunyi tumbukan dari lesung padi.

Jumat, 09 Desember 2011

Wisma Kalla: Dinamis dan Hijau

WIsma Kalla
WISMA KALLA adalah gedung perkantoran milik kelompok usaha Kalla Group yang terletak di Jalan Dr. Sam Ratulangi No. 8 Makassar. Terdiri dari 15 lantai (minus lantai 13), menjadi yang tertinggi ketiga setelah Menara Bosowa dan Fajar Graha Pena.

Kalau diperhatikan secara seksama, gedung Wisma Kalla berbentuk perahu di atas ombak. Lantai 5 sampai 15 berbentuk trapesium yang melebar ke atas, sedangkan lantai 3 sampai basement berbentuk gelombang yang menggambarkan ombak.

Bentuk tersebut ingin menunjukkan betapa dinamisnya Kalla Group dalam menjalankan usahanya hingga pada 2012 nanti sudah mencapai umur 60 tahun. Bentuk yang juga tergambar pada logo Kalla Group yang terbaru.

Logo terbaru Kalla Group
HIJAU mendominasi warna gedung, menunjukkan bahwa Wisma Kalla ingin bersatu dengan alam. Pohon-pohon depan dan belakang gedung yang dibiarkan tetap tumbuh lebat turut menguatkan hal tersebut.

Interior dalam Wisma Kalla
Keberpihakan terhadap alam juga tampak pada tata ruangan dalam gedung. Sekat-sekat antarruang menggunakan kaca, sehingga cahaya matahari dari luar maksimal menyinari seluruh ruang. Pemakaian lampu listrik pun bisa diminimalisir.

Baubau, Kota Sejarah yang Multietnik

Benteng Wolio, Keratong
'TAK SALAH saya menyebut Baubau sebagai kota sejarah. Di kota yang sempit berbukit ini, bukti sejarah terpelihara. Benteng Wolio atau biasa disebut Keratong yang berdiri megah di puncak bukit kota Baubau adalah salah satu bukti sejarah yang paling menarik.

Benteng milik Kerajaan Buton itu cukup luas dan dibangun dengan material batu gunung yang sangat kokoh. Di sekitarnya berjajar rumah-rumah panggung milik penduduk yang juga masih keturunan dekat Kerajaan.

Di puncak atas Benteng terdapat gua kecil. Di gua itulah Aru Palakka, Raja Bone, bersembunyi dari pencarian pasukan Bontomarannu Kerajaan Gowa. Papan pengumuman dari besi berdiri di dekat gua dan menuliskan sejarah tersebut.

Dari puncak Benteng juga terlihat keadaan kota Baubau yang sangat padat. Dari kejauhan juga tampak Pulau Makassar, pulau yang menjadi tempat persinggahan pasukan Bontomarannu ketika mengejar Aru Palakka. Di pulau itu pula pasukan Bontomarannu dikepung pasukan Belanda sehingga banyak dari mereka yang mati dan tertangkap.

Suasana Kota Baubau dari atas Benteng Wolio, Keratong
'Tak salah juga saya menyebut Baubau kota multietnik. Di kota terbesar ketiga di Sulawesi Tenggara setelah Kendari dan Kolaka itu, hidup berdampingan ragam etnik. Ada suku asli Buton, Bugis, Tolaki (Kendari), Raha, dan pascakonflik Ambon, banyak juga orang Ambon yang menghuni kota ini; bahkan mereka diberikan kawasan tersendiri.

Rabu, 07 Desember 2011

Kolaka, Kota Tanpa Kesan

Kota Kolaka [foto: sultra.kemenag.go.id]
BUTUH naik mobil empat jam dari Kendari untuk menuju Kolaka. Jalanan yang dilalui pun sangat panjang dan berkelok, membelah pebukitan yang ditumbuhi pepohonan dan belukar lebat. Beberapa daerah kecil terlewati, termasuk lokalisasi prostitusi Kilo 12 yang memang berjarak sekira 12 kilometer sebelum Kolaka.

Melihat Kolaka, tidak ada yang istimewa. Bangunan, jalanan, tata ruang, semuanya kurang-lebih sama dengan kebanyakan daerah lainnya di Indonesia. Sebenarnya, pantai di kota ini cukup luas dan indah untuk dinikmati, tapi sayang belum tertata semisal Kendari Beach. Tepinya sangat kumuh.

Pantas saja pariwisata tidak berkembang di kota ini yang menyebabkan bisnis hotel juga tidak marak. Hotel terbaik saja tempat saya menginap tidak jauh beda dengan hotel terburuk di Kendari.

Berbeda dengan bisnis hotel, bisnis lainnya seperti restoran, cafe, beli-jual mobil, dan lainnya, cukup berkembang. Bahkan harga makanan di kota ini cukup mahal, semahal harga makanan di Makassar. Mungkin karena jarak Kolaka yang dekat dengan Pomala, daerah tambang milik PT Aneka Tambang. Kebiasaan pengawai Antam yang berlibur ke Kolaka dengan banyak uang menyebabkan harga-harga melambung tinggi.

Terakhir, saya sempat mengunjungi Kantor Bupati Kolaka yang dari depan bangunannya tampak cantik. Namun keadaan kontras terlihat saat saya masuk ke dalamnya: dinding antarruang hanya dilapisi tripleks-tripleks 'tak bercat; tata letak ruang juga sangat kumal, 'tak berestetika. Semoga segera direnovasi.

Intinya, tidak ada yang berkesan di Kolaka, itu saja! Mungkin juga karena saya cuma sebentar di kota itu dan belum sempat mengelilinginya lebih jauh.