Kalau kita petakan ilmu menjadi tiga: alamiah, ilmiah (teori) dan terapan (produk jadi), Indonesia selalu mentok di ilmiah. Wabilkhusus perihal teknologi. Full mekanikal maupun elektrikal.
Pun sudah banyak kita dengar kabar tokoh-tokoh Indonesia yang raih gelar akademik mentereng di luar sana, tapi karya ilmiah mereka selalu menjadi arsip. Tidak pernah diterapkan. Tidak pernah diubah menjadi produk jadi yang bermanfaat bagi khalayak.
Mungkin juga karya ilmiah mereka tidak menjadi arsip. Tetap termanfaatkan. Tapi orang lain yang memanfaatkannya. Bukan Indonesia. Bukan pemerintah kita yang notabene membiayai kuliah mereka.
Pernah sekali Habibie membuat N250 Gatot Kaca. Pesawat itu diuji tes dan terbang mulus di langit Halim Perdanakusuma. Tapi langkah pemilik puluhan karya ilmiah di jurnal internasional itu dihentikan pemerintah. Ada yang bilang karena krisis moneter. Ada juga yang bilang: petinggi Boeing menghadap Presiden Soeharto dan muncullah keputusan itu.
Nah, kalau ada teknokrat Indonesia yang nongkrong bekerja di luar negeri, itu hal wajar. Di luar sana, ilmu mereka lebih mudah diterapkan daripada di Indonesia. Fasilitas dan biayanya mumpuni. Di Indonesia, Rp 400 trilliun menguap jadi bansos dalam setahun. Mengadakan makanan di atas meja itu lebih penting dibandingkan mengubah teori menjadi produk jadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar