Jatuhnya Pesawat
28 September 2018 silam, banyak yang bersyukur. Batik Air yang mereka tumpangi menghidarkan mereka dari gempa. Selisihnya hanya dalam hitungan detik.
Capt. Fella merekam betul kejadian itu di memorinya. Saat akan lepas landas dari Bandara Mutiara Palu, dia merasakan tanah bergoyang. Pesawat bergerak ke kanan dan ke kiri.
Saat sudah mengangkasa, dia mengirim pesan kepada petugas di Menara Air Traffic Controller. Tidak ada jawaban. Menara ATC sudah roboh karena gempa. Sebagian kota Palu luluh lantak. Ribuan orang meninggal dunia.
*****
Kejadian sebaliknya terjadi 9 Januari 2021 kemarin. Sriwijaya Air yang dikemudikan Capt. Afwan justru membawa 59 awak dan penumpangnya meninggalkan dunia. Mereka yang tak jadi terbang, langsung sujud syukur.
Empat menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Menara ATC kehilangan komunikasi dengan Capt. Afwan. Sriwijaya Air jatuh di laut lepas dekat Pulau Seribu.
*****
Begitulah kematian. Sangat misterius. Bisa menerpa kita di darat, di laut, di udara, bahkan saat sedang tertidur. Ada juga yang saat sedang duduk-duduk ngopi.
Apapun itu, kita semua akan meninggalkan dunia dengan cara dan keadaan masing-masing. Cepat atau lambat. Tanpa bisa menghindar.
Allah sudah mengingatkan dalam Al Qur'an: "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.…” (An Nisaa: 78)
Serupa pengetahuan tentang Tuhan, surga, dan neraka-Nya, pengetahuan tentang virus itu metafisik. Bukan fisik. Artinya apa: kita tidak bisa menjangkaunya dengan pancaindera.
Karena metafisik, indikator yang kita pakai adalah yakin-tidak yakin; percaya-tidak percaya, bukan benar-salah; ngefek-tidak ngefek.
Vaksin, misalnya, katanya bisa menjaga kita dari virus itu. Yakin saja. Percaya saja. Apakah benar? Apakah ngefek? Itu belakangan.
Sama kayak sholat. Itu adalah jembatan kita mengabdi kepada Tuhan. Yang kemudian diganjar Tuhan dengan surga-Nya. Yakin saja. Percaya saja. Apakah Tuhan benar ada? Apakah surga dan neraka berwujud? Itu belakangan.
Nah, yang menjadi tantangan sekarang: apakah penerapan pengetahuan bersifat mandatory atau voluntary? Memaksa atau sukarela?
Agama sendiri yang membahas Tuhan, surga, dan neraka-Nya, meskipun doktrinnya keras dan tegas, tapi tidak pernah memaksa. Itu tertulis dalam Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 256.
Bagaimana dengan virus Itu? Apakah vaksinasi harus dipaksa atau sukarela saja? Entahlah. Yang jelas, konsep darurat belum bisa dipakai. Darurat itu dipakai kalau pilihannya memang cuma hidup atau mati.
Sukarelawan
Terkesan mudah bagi kita menuntut kerja cepat mereka. Tapi di lapangan sesungguhnya tidak semudah itu. Butuh keikhlasan, kekuatan, kesabaran, dan ketabahan.
Ketika ada korban yang berhasil diselamatkan, itu adalah momen yang tidak terlukiskan. Ketika ada yang ditemukan 'tak bernyawa, lebih tidak terlukiskan lagi.
Saya jadi teringat kisah operator excavator di lokasi bencana gempa-tsunami Palu. Saat melakukan evakuasi di Petobo, di kuku bucket-nya menggelantung tiga-empat mayat sekaligus. Terangkat ke atas.
Apa yang terjadi setelahnya? Operator itu mematikan mesin, turun dari exca, lalu pergi tanpa pernah kembali lagi.
Apresiasi kepada seluruh kru TNI, Kepolisian, Yayasan-Yayasan, Badan Amal, dan warga yang bersedia menjadi sukarelawan bencana. Berkah dan pahala dari Allah untuk kalian!
Gempa
Rasulullah ﷺ bersabda: “Mati syahid ada tujuh macam selain berperang di jalan Allah Azza wa Jalla; Orang yang meninggal karena penyakit tha’un (wabah pes) adalah syahid, orang yang meninggal karena sakit perut adalah syahid, orang yang meninggal tenggelam adalah syahid, orang yang meninggal tertimpa benda keras adalah syahid, orang yang meninggal karena penyakit pleuritis adalah syahid, orang yang mati terbakar adalah syahid dan seorang wanita yang mati karena hamil adalah syahid.” (HR An-Nasa`i)
Ucapan belasungkawa atas wafatnya dr. Hj. Adriani Kadir, M. Kes. (YIMN FKUH)
Reuntuhan rumah dr. Adriani (dok. Yayasan Amal Redena)
Rumah dr. Adriani sebelum gempa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar