Daeng Azis & Haji Usman berdamai (dok. Kepolisian) |
Karena suasana ramai, tapi kurang hiburan, seorang Mandar bernama Kamelong merintis usaha judi pada 1968. Karena disukai orang-orang Cina, usahanya berkembang. Sampai-sampai -untuk mengembangkan usahanya- dia banyak memanggil teman sesukunya datang ke Kalijodo guna membantu usahanya.
Dalam perjalanannya, karena faktor sosial dan ekonomi, terjadi gesekan antarsuku yang menyebabkan pertikaian, terkhusus pertikaian antara geng Mandar dan Makassar. “Mereka sama-sama keras, tak mau kalah kalau sudah saling ledek. Buntutnya ya saling tusuk dengan badik,” tutur Kunarso Suro Hadi Wijoyo, purnawirawan ABRI yang lama menetap di Kalijodo.
Pada 1992, Kamelong wafat dan mewariskan usaha judinya pada keponakannya yang bernama Haji Usman Nur. Yang menarik, pergerakan Haji Usman sebagai bos judi ‘tak diketahui keluarga dan tetangganya. Dia mampu menjaga imejnya. Dia hanya dikenal sebagai pengusaha.
Geng Makassar ‘tak mau ketinggalan. Pada 1994, pentolannya Abdul Azis Emba atau yang dikenal sebagai Daeng Azis juga membuka tempat judi. Dia pun menjadi pesaing utama Haji Usman. Tapi Daeng Azis lebih unggul karena memiliki jaringan kuat ke tokoh-tokoh Makassar di Jakarta, politikus partai, sampai pejabat Kepolisian. Jaringan itu membuat Daeng Azis kuat.
Pertikaian Geng Makassar dan Mandar akhirnya berujung tawuran massal pada awal tahun 2002. Tawuran itu diliput media massa lokal secara intens. Akhirnya, kedua geng didamaikan oleh kepolisian. Haji Usman dan Daeng Azis menandatangani surat perjanjian damai.
Selepas kejadian itu, identitas Haji Usman diketahui oleh keluarga dan tetangganya. Karena malu, dia pun mundur dari kawasan Kalijodo, pulang ke kampung halamannya di Mandar. Praktis, setelahnya, Daeng Azis dan Geng Makassar menjadi satu-satunya penguasa di Kalijodo.