|
Benteng Somba Opu (foto: dok. pribadi) |
Perang saudara antara Kerajaan Gowa dan Tallo yang berlangsung puluhan
tahun berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa Kesembilan: Daeng
Matanre Karaeng Mangngutungi Tumapa'risi' Kallonna. Sang Raja berhasil
melumpuhkan Kerajaan Tallo yang dirajai Karaeng Tunipasuruk Mangngayoang
Berang dan membujuk mereka melebur bersatu.
Kerajaan Gowa-Tallo
pun bersatu. Karaeng Mangngutungi diangkat sebagai Raja dan Karaeng
Tunipasuruk difungsikan sebagai Mangkubumi (Perdana Menteri dalam
istilah sekarang). Julukan sebagai Kerajaan Kembar pun disematkan atas
persatuan keduanya.
Selain berhasil mempersatukan Kerajaan
Gowa-Tallo, Karaeng Mangnguntungi juga sukses membawa kerajaannya
berjaya secara politik, sejahtera dalam sektor sosial-ekonomi, dan
berpengaruh dalam hal kebudayaan dan sastra. Mari kita membahasnya
satu-persatu:
Secara politik, Kerajaan Gowa berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di
sekitarnya: Marusu, Pangkaje'ne, Sidenreng, Galesong, Polongbangkeng,
dan lainnya. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut tidak dilumpuhkan, tapi
tetap dibiarkan berjalan dengan syarat rutin menyetor upeti kepada
Kerajaan Gowa.
Upeti dari kerajaan-kerajaan kecil tersebutlah
yang dipakai Kerajaan Gowa untuk mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi
di wilayahnya. Kerajaan Gowa tidak hanya mampu mengembangkan pertanian
yang selama ini menghidupi rakyatnya, tapi juga berhasil beralih ke
sektor maritim, kelautan.
Kapal-kapal dagang milik pelaut Gowa
berseliwerang ke laut lepas menuju daerah-daerah luar. Mereka sampai ke
India, Filipina, bahkan Australia. Kapal-kapal dagang milik
negara-negara asing juga sering singgah ke wilayah Gowa untuk
bertransaksi jual-beli hasil bumi: rempah-rempah, padi, dan lainnya.
Berkembangnya
kehidupan politik, sosial, dan ekonomi membuat Karaeng Mangnguntungi
mengambil kebijakan penting: memindahkan ibu kota dan Istana Kerajaan
dari Tamalate yang daerah pebukitan ke daerah maritim, pinggir pantai.
Daerah tersebut kemudian dinamai Somba Opu, dua kata yang bersinonim
dengan kata Raja.
Di Somba Opu (daerah Raja-Raja), dermaga
didirikan untuk menjamu kapal-kapal asing. Benteng dari bahan tanah juga
dibangun di sekeliling kompleks istana untuk memperkuat pertahanan.
Kerajaan Gowa pun menjadi kerajaan maritim besar di Indonesia.
Yang
menarik, Karaeng Mangnguntungi juga berhasil mengembangkan budaya dan
sastra Kerajaan Gowa. Dia menunjuk Daeng Pamatte' untuk menciptakan
huruf dan bahasa lalu kemudian melakukan pencatatan-pencatatan budaya,
kejadian, dan apapun terkait Kerajaan Gowa. Maka terciptalah huruf
lontarak dan karya tulis berbahasa lontarak.
Pada 1546, Karaeng
Mangnguntungi mengalami sakit keras pada bagian lehernya. Makanya dia
pun dijuluki Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (Raja yang sakit lehernya).
Penyakit itu merenggut nyawa sang Raja.
Hingga akhir abad ke-15, ada empat raja yang menggantikan posisi Karaeng Mangnguntungi:
1. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung (1546-1565)
2. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data (1565)
3. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590)
4. I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bonto Langkasa (1590-1593)
Ke-4
Raja tersebut, terkhusus nama nomor 1 dan 3, keduanya berhasil
melanjutkan kejayaan Kerajaan Gowa secara politik. Mereka berhasil
memperluas wilayah kekuasaan tidak hanya meliputi hampir seluruh pulau
Sulawesi, tapi juga sampai ke pulau Kalimantan, Mataram, Maluku, dan
bahkan sampai ke Asia Tenggara: Malaysia dan Filipina.
Keduanya
juga memperkuat Benteng Somba Opu dengan merubah strukturnya dari bahan
tanah ke bahan batu yang diambil dari daerah Marusu (Maros). Walhasil
Benteng tersebut menjadi kuat dan bahkan masih bertahan sampai sekarang
sebagai situs Kerajaan Gowa.
-----
Sejarah kejayaan
maritim Kerajaan Gowa masih bisa dinikmati sekarang dengan berziarah ke
kompleks Benteng Somba Opu yang terletak di jalan Abdul Kadir.
-----
Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.