“Becak, Daeng!” Teriakku kepada Ramli (29 thn). Dengan sigap dia
menyiapkan becaknya untuk kutumpangi. Dia kemudian menggayungnya dengan
cepat. Gayungan yang sepertinya menyiratkan beban. Beban untuk
memberikan secercah hidup kepada keluarganya.
Ramli memiliki
seorang istri dan dua anak. Sehari-hari, dia menghidupi mereka dengan bekerja sebagai tukang becak. Sekira 30 ribu rupiah
per hari diperolehnya dari menggayung becak. “Nisyukkurimi anjo (disyukuri
itu)!” kata dia, sederhana.
Dulu Ramli pernah bekerja
sebagai kuli tambang di Kalimantan. Gajinya lumayan, 1,5 juta rupiah per
bulan. Tapi kemudian dia memilih keluar dan kembali ke kampung
halamannya, Makassar.
Saat saya tanya alasannya, dia menjawab,
“Edede…punna lebba’maki annambang, tenamo ki tanja’ tau (Ah…kalau kita
sudah menambang, kita sudah tidak mirip manusia)” Dia menggambarkan
dirinya yang sangat kurus dan hitam sekeluar dari lubang tambang.
“Ya…rinnimo, Daeng (Ya…di sini saja, Daeng)!” Tibalah
aku di tempat tujuan. Lembaran lima ribu rupiah kuberikan kepada Ramli.
Dia mencium uang itu dan menempelkannya di dahi. Ciri khas orang
Makassar dalam mengungkapkan rasa syukur karena telah mendapatkan uang.
Ah….boyanna doeka (carinya uang)!
“Sebagaimana burung dilahirkan untuk terbang dan ikan untuk berenang, manusia dilahirkan untuk bekerja.” (Nabi Ayyub)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar