Udara malam menyambut saya di bandara Adisutjipto. Di bandara tempat terbakarnya pesawat
Garuda Indonesia pada 7 Maret 2007 silam itu, saya mewujudkan sebuah keinginan lama: menginjakkan kaki di kota Yogyakarta.
Yogyakarta adalah ibukota provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Letaknya berada di selatan Pulau Jawa. Nama Yogyakarta diambil dari
bahasa
sangsekerta yang berarti kedamaian (
ayogya) dan kebaikan (
karta).
Siapa Adisutjipto? Dia adalah anggota Angkatan Udara Republik
Indonesia dan pejuang kemerdekaan. Pesawat yang dikemudikannya ditembak
jatuh oleh Belanda pada 1940. Dia pun wafat. Untuk mengenang dan
menghargai jasa-jasanya, dinamakanlah bandara itu Adisutjipto.
|
Saya di sekitaran Stasiun Kereta Api (foto: Muhardi) |
Tugu Yogya
Selama di Yogya, saya menginap di Hotel Pop. Hotel yang desainnya penuh
warna itu terletak tepat di belakang pasar Kranggan, ‘tak jauh dari
perempatan Tugu Yogya, dan hanya berjarak sekira satu kilometer dari
jalan Malioboro.
Di Tugu Yogya, keramaian terlihat jelas. Banyak muda-mudi foto-foto
di situ. Saya jadi bertanya-tanya, apa menariknya Tugu itu? Ternyata
Tugu itu adalah lambang kota Yogya yang sangat bersejarah. Dibangun oleh
Sultan Hamengkubuwono I pada sekira abad ke-18. Sudah sangat tua,
bukan?
Selain itu, secara magis, tugu Yogya -katanya- menjadi pengghubung
tiga lokasi: Laut Selatan, Karaton Yogya, dan Gunung Merapi. Di mana
letak magisnya? Entahlah, sebagian orang Yogya memang memiliki
kepercayaan lain-lain. Saya sendiri sulit memahaminya.
|
Tugu Yogya (foto: Muhardi) |
Jalan Malioboro
Nama Malioboro juga berasal dari bahasa
sangsekerta. Terdiri dari dua kata:
maliya yang berarti mulai dan
bara
yang berarti mengembara. Ada juga yang mengartikan Malioboro sebagai
jalan bunga atau karangan bunga. Yang mana yang benar? Entahlah.
Jalan Malioboro adalah pusat kegiatan bisnis di kota Yogya. Di jalan
yang siang-malam ramai dikunjungi orang-orang itu, ragam wisata
tersedia.
Pertama, wisata belanja. Di sepanjang jalan Malioboro,
berjajar tempat belanja: pasar tradisional Beringharjo, mall Malioboro,
dan toko-toko yang menjajakan ragam jenis barang dan makanan. Pokoknya
mau belanja apa saja semuanya tersedia.
Tempat belanja itu buka sampai pukul 10.00 malam. Setelahnya,
“ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera, orang duduk bersila,” kata Kla Project. Kehidupan berlanjut terus sampai pagi. Dijamin aman dan nyaman. ‘Tak salah Yogya berjargon Berhati Nyaman.
|
Musisi jalanan (foto: Muhardi) |
Sambil menikmati sajian makanan, para
“musisi jalanan siap beraksi,”
kata Kla Project lagi.
Malam itu saya beruntung menemukan musisi hebat.
Jumlah mereka bertiga, masing-masing memegang gitar, bas betok, dan
banjo. Sajian musik mereka sangat baik. Hebatnya, mereka dengan fasih
menyanyikan lagu Makassar berjudul
Anakkukang.
Kedua, wisata sejarah. Di jalan Malioboro dan sekitarnya
terdapat beberapa tempat bersejarah: Keraton Yogya, Museum Serangan Umum
1 Maret, Stasiun Kereta Api, Benteng Vredenburg, dan termasuk Tugu
Yogya. Tempat-tempat itu -secara kasat mata- tampak terpelihara dengan
sangat baik.
Ketiga, wisata pendidikan. Di sekitar jalan Malioboro,
terdapat beberapa tempat untuk kepentingan pendidikan: Taman Pintar,
Taman Budaya, dan kawasan toko buku murah. Semuanya tampak ramai
dikunjungi orang.
Terkait pendidikan, Yogya memang terkenal sebagai kota pelajar. Di
kota itu berdiri sekira 187 universitas. Yang paling terkenal jelas
adalah Universitas Gajah Mada (UGM). Saya menyempatkan diri jalan-jalan
pagi ke kampus itu.
Saya kagum melihat tiga bangunan besar di kampus
itu: Graha Sabha, Gedung Rektorat, dan Pertamina Tower. Saya bergumam
dalam hati: UGM dibandingkan dengan Universitas Hasanuddin Makassar
ibarat langit dengan sumur bor.
|
Jalan Malioboro (foto: Muhardi) |
Makanan Khas Yogya
Ciri khas makanan Yogya, seperti gudeg, wedang jahe, dan lainnya, adalah
rasanya yang sangat manis. Lidah orang Yogya memang terbiasa dengan
yang manis-manis. Bahkan ketika saya menikmati kopi joss (kopi yang
dicampuri arang), rasanya juga sangat manis: gulanya lebih banyak dari
kopinya.
Seorang teman Yogya menimpali,
“Di Yogya, sambal pun dibikin pakai gula.” Pun
begitu, orang Yogya jarang terkena penyakit diabetes. Mereka selalu
mengimbangi makanan manis itu dengan meminum jamu yang rasanya pahit.
Makanan lain yang menjadi ciri khas Yogya adalah kue Bakpia Pathok.
Kue ini bahkan dijual di sebuah kawasan tersendiri. Di kawasan itu,
berjajar toko-toko yang khusus menjual bakpia. Menariknya, pengunjung
bisa melihat proses produksi kue secara langsung.
Jadi teringat sama lagu Project Pop. Liriknya kurang-lebih begini:
Bakpia bakpia bakpia pathok
Kue Yogya, kecil, dan mencolok
Sakit encok, sakit gondok atau gigi bengkok
Dijamin sembuh besok
Andong
Kalau Anda ingin menikmati andong (sejenis kereta kuda), datanglah ke
Yogyakarta. Di jalan Malioboro, banyak berjajar andong yang siap
mengantar Anda ke tujuan. Andong-andong itu datang jauh dari Bantul.
Tarifnya bisa dinegosiasikan.
|
Andong (foto: Muhardi) |
Jangan salah, di Yogya, andong itu berbeda makna dengan bendi. Kalau
andong rodanya empat, bendi hanya dua. Andong juga lebih banyak
menampung penumpang dibandingkan bendi.
Pasar Subuh
Saat saya melintasi belakang Pasar Kranggan pukul 01.00 malam, saya
merasa iba melihat satu-dua orangtua tidur di jalanan. Saya berpikir: di
Yogya banyak juga orangtua tuna wisma.
Ternyata saya salah. Orangtua itu adalah penjual di Pasar Kranggan.
Mereka menginap dan tidur di jalanan karena besok kehidupan pasar
dimulai subuh hari. Merekalah yang duluan membuka pintu kehidupan.
Batik dan Blangkon
Bersama Solo, Yogya juga dikenal sebagai kota batik. Segala jenis
kerajinan batik ada di kota itu: batik tulis (asli), batik cap (pakai
stempel), dan batik print (pakai mesin).
Di sepanjang jalan Malioboro, dijajakan ragam jenis batik. Dari yang
paling mahal sampai yang termurah. Dari yang berkualitas tinggi sampai
berkualitas rendah.
|
Blangkon Yogya |
Batik berasal dari bahasa Jawa. Merupakan gabungan dari dua kata:
amba yang berarti garis dan
titik yang berarti titik. Jadi, batik adalah garis yang menghubungkan titik-titik. Kurang-lebih begitulah.
Apa perbedaan batik Yogya dengan batik Solo? Saya tidak menemukan
penjelasan tentang itu. Yang saya temukan hanya penjelasan tentang beda
antara blangkon Yogya dengan blangkon Solo.
Apa bedanya? Kalau blangkon Yogya ada bandulnya (gundukan) di
belakangnya, sedangkan batik solo tidak ada. Makna bandul itu adalah
walaupun orang Yogya merasa jengkel, dia tetap mampu menyembunyikan rasa
jengkel itu di balik wajahnya yang tetap ramah.
Pun banyak orang yang memaknainya lain: orang Yogya itu manis di
depan tapi menikam di belakang. Entahlah, saya rasa standar moral di
setiap tempat sama saja, tinggal pengendalian diri masing-masing. Yang
penting, Yogya Berhati Nyaman-lah.