|
Triangulasi |
Berbagi waktu dengan alam...
Kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya...
[Gie - Erros & Okta]
BAWAKARAENG berarti mulut Tuhan dalam bahasa Makassar:
bawa artinya mulut;
karaeng artinya Tuhan. Merupakan nama sebuah gunung di Provinsi Sulawesi Selatan. Siapa yang memberinya nama dan apa latar belakangnya, entahlah, penulis tidak mendapatkan informasi tentang itu. Yang pasti, Bawakaraeng bukanlah mulut Tuhan dalam arti sesungguhnya.
Bawakaraeng merupakan gunung jenis basah yang terdiri dari jajaran gunung dengan kontur berkelok. Sejauh mata memandang, permukaannya didominasi pepohonan lebat bewarna hijau. Sangat indah dipandangi dari kejauhan. Gunung dengan puncak tertinggi berukuran sekira 2.700 meter dari permukaan laut. Tanda ketinggian (triangulasi) di puncaknya, berupa bangunan batu menyerupai nisan kuburan, menjadi penanda.
Banyak jalur untuk menuju puncak Bawakaraeng, diantaranya kampung Tassoso' di Sinjai, kampung Kanreapiyya di Malakaji dan yang paling terkenal dan umum dilalui para pendaki adalah kampung Lembanna di Malino. Dari jalur kampung Lembanna, pendaki harus melalui 10 pos jalur pendakian dan dua gunung untuk sampai ke puncak tertinggi.
Pos berarti tempat persinggahan, baik untuk beristirahat atau pun bermalam. Biasanya pos ditentukan karena terdapat mata air di dekatnya. Dua gunung berarti pendaki harus berjalan naik dulu, lalu turun, lalu naik lagi sampai ke puncak tertinggi.
|
Jajaran gunung-gunung dengan pepohonan lebat dan hijau |
PAGI sekira pukul 07.00, kami memulai pendakian menuju puncak Bawakaraeng melalui jalur kampung Lembanna. Tujuan kami adalah meliput keindahan alam Bawakaraeng dan sholat Idul Adha plus ritual sesajian yang akan dilaksanakan besok oleh warga di puncak Bawakaraeng.
Kegiatan warga di puncak Bawakaraeng mendapatkan pengawasan khusus dari tim
Search And Rescue (SAR). Hal itu dikarenakan keselamatan warga yang sangat rentang akibat perlengkapan dan peralatan yang mereka miliki sangat minim untuk berlindung dari suhu dingin dan cuaca ekstrim gunung. Menurut cerita Tata' Rasyid, penjaga dan penolong Bawakaraeng, kejadian terparah pernah terjadi pada 1986 dimana 14 warga meninggal dunia.
DALAM pendakian awal, kami dihibur oleh pemandangan kebun-kebun milik penduduk yang membentang luas. Ragam tanaman tumbuh dan meliuk-liuk di kebun-kebun itu: kankung, kol, wortel dan lainnya. Saat panen, tumbuh-tumbuhan itu dibawa ke pasar-pasar di pelbagai daerah untuk dijual. Sebagian besar penduduk Lembanna memang menyandarkan hidupnya dari berkebun.
Di sisi kebun, terdapat bak penampungan air untuk irigasi kebun. Airnya berasal dari mata air Bawakaraeng. Rasanya sangat enak dan menyegarkan. Tidak kalah dengan rasa air minum kemasan paling terkenal di negeri ini. Kami pun menampung air itu ke dalam beberapa botol sebagai bekal pendakian. Mata air Bawakaraeng memang memberikan pasokan air ke beberapa daerah: Makassar, Gowa, Sinjai, Takalar dan lainnya.
Selepas melalui hamparan kebun, jalur mulai menanjak. Di lereng gunung, pohon-pohon pinus tersenyum menyambut kami. Batangnya menjulang tinggi, daunnya khas mengerucut ke atas. Pohon pinus memang menjadi ciri khas lereng gunung basah di Indonesia. Di sela-sela jajaran batang pohon pinus itu, tumbuh semak-semak dan ilalang yang seperti tersipu malu melihat kami.
|
Jajaran pohon pinus |
Jalur menuju pos 1 dan pos 2 tidaklah terlalu terjal, kami pun bisa berjalan dengan normal. Material jalur didominasi tanah merah dan batu-batu kecil. Hujan yang turun semalam membuatnya becek dan licin, kalau tidak hati-hati bisa terpelesat.
Sepanjang perjalanan, pohon-pohon ragam jenis menampakkan kemegahannya. Batangnya berdiameter besar, daunnya rimbun menghias langit. Di batang salah satu pohon terpaku papan himbauan yang dibuat oleh WP Alam Nusantara bertuliskan: AKU MASIH INGIN HIDUP 1000 TAHUN LAGI. Himbauan yang menyerukan kepada setiap pendaki untuk menjaga kelestarian pohon. Semoga!
Oksigen segar yang dihasilkan pohon-pohon itu sangat berkualitas. Tidak mungkin kami menghirupnya di kota Makassar yang udaranya penuh polusi dan debu. Jadi sangat wajar jika kelestarian pohon-pohon itu perlu dijaga. Namun sangat disayangkan, sebagian penduduk mengacuhkan himbauan itu. Mereka membuka lahan perkebunan dengan membabat pohon-pohon di lereng Bawakaraeng dengan menebang dan membakarnya. Kami mendapatkan pemandangan itu dalam perjalanan, sangat ironis.
Setelah berjalan sekira satu jam, kami tiba di pos 2. Pos ini berupa dataran kecil yang dikelilingi semak-semak dan batu-batu gunung berukuran sedang. Bekas perapian tampak ditengah-tengahnya, pertanda para pendaki sering berkunjung di pos ini. Kami juga memutuskan untuk singgah di pos ini untuk sarapan pagi. Secangkir kopi dan roti menjadi menu sarapan kami. Hmm...nikmat!
|
Sarapan pagi di pos 2 |
Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Selanjutnya di hadapan kami, ada tiga jalur pendakian: jalur kanan adalah jalur menuju Ramma (lembah Bawakaraeng), jalur tengah adalah jalur lama menuju pos 3 yang ditutup karena banyaknya pohon bertumbangan diterjang badai, dan jalur kiri adalah jalur baru menuju pos 3. Kami memilih untuk melalui jalur kiri.
Jalur menuju pos 3 cukup rumit. Semak-semak yang menggumpal di kanan-kiri jalur sangat menyulitkan kami. Sebagian semak-semak itu merambat masuk ke dalam jalur, kami pun harus menggunakan tangan untuk menyingkirkannya karena sangat berbahaya jika mengenai mata.
Selain itu, bentuk semak-semak yang serupa juga membuat kami tidak bisa membedakan jalur karena bentuknya yang hampir sama. Sesekali kami pun salah arah dan tersesat. Beruntung ada tanda jalur yang menuntun kami. Tanda jalur berupa tali plastik (tali
rapiah dalam bahasa Makassar) yang diikatkan di ranting pohon, biasa pula diikatkan bersama pembungkus rokok dan sabun.
Keluar dari jalur semak-semak, kami tiba di sebuah daerah terbuka. Dari jauh, kami melihat sebuah pohon besar yang termenung sendiri. Batangnya besar bercabang tanpa ditumbuhi sehelai daun pun. Bentuk pohon itu anker seanker cerita di baliknya. Di pohon itulah, sekira 1980-an, seorang pendaki perempuan bernama Noni menggantung dirinya. Tata Rasyid, penjaga Bawakaraeng, menjelaskan penyebabnya:
"Begitulah kalau perempuan sudah dirusaki (diambil kehormatannya) lalu dibelakangi (diacuhkan)."
Selepas kejadian itu, banyak hal-hal mistis terjadi di pos 3, itu menurut cerita dan kesaksian dari beberapa pendaki. Hal-hal mistis itu seperti tiba-tiba hujan, tiba-tiba angin kencang, ruh Noni muncul dan lainnya. Karena hal-hal mistis itu, para pendaki enggan singgah di pos 3 apalagi mengambil gambarnya, termasuk kami, meskipun penulis pribadi tidak percaya dengan hal-hal mistis itu.
Kami melanjutkan perjalanan menuju pos 4 dan pos 5. Jalur kali ini ditumbuhi pohon-pohon besar beragam jenis yang batangnya diselimuti lumut tebal.
"Seperti hutannya Harry Potter," kata teman. Sebagian batang dari pohon-pohon itu rebah dan menutupi jalur. Kami pun harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melaluinya. Itu membuat kami sesekali singgah untuk sejenak beristirahat melepas dahaga dengan meminum air gunung yang kami ambil di bak air irigasi kebun tadi.
Di jalur menuju pos 5, kami juga sesekali mendapatkan momen untuk melihat Ramma di bawah. Sangat indah! Cahaya matahari yang masuk di sela-sela daun juga memberikan pemandangan yang sangat menarik. Seorang teman memanfaatkannya untuk berjemur. Kata teman itu, cahaya matahari bisa menambah tenaga.
Sekira pukul 12.00 siang, kami akhirnya tiba di pos 5. Dua rebahan batang pohon yang saling memalang menjadi penandanya. Pos 5 berupa dataran luas yang ditumbuhi rumput dan ilalang. Pos ini wajib disinggahi oleh para pendaki untuk beristirahat, salat maupun bermalam. Adanya mata air di sisi kirinya menjadi alasan utama. Kami pun singgah di pos ini untuk makan siang. Nasi kecap plus ikan kering goreng menjadi menu makan siang kami. Sangat nikmat!
Setelah beristirahat sekira satu jam, kami melanjutkan perjalanan. Jalur menuju pos 6 yang kami lalui selanjutnya menghadirkan suasana yang mengenaskan. Puluhan pohon tumbang karena badai dan hangus karena terbakar di jalur ini. Beberapa pendaki menjadi korbannya. Terakhir, dua mahasiswa Geologi Universitas Hasanuddin Makassar, Iccang dan Awy, meninggal dunia karena 'tak tahan melawan badai. Penulis mendapati pusara Awy, kemungkinan di posisi pusara itulah tubuh Awy ditemukan 'tak bernyawa.
|
Suasana jalur menuju pos 6 |
|
|
|
|
Jalur menuju pos 6 yang gersang |
Batu-batu gunung berukuran raksasa juga berserakan di sepanjang jalur naik menuju pos 6. Saya membatin bagaimana kalau batu-batu itu menggelinding turun dan menerpa tubuh kami. Syukurlah itu tidak terjadi. Kabut putih yang tebal di pos ini juga sesekali membuat kami singgah karena penglihatan yang terbatas untuk berjalan.
Suasana kontras kami temukan ketika melalui jalur menuju pos 7. Kalau jalur menuju pos 6 tadi sangat gersang, jalur menuju pos 7 justru sangat subur. Ragam pohon tumbuh di situ. Ranting dari pohon-pohon itu sangat bermanfaat bagi kami sebagai pegangan untuk melalui jalur yang sangat terjal ke atas. Cukup melelahkan!
Segala kelelahan yang kami alami dalam perjalanan menuju pos 7 berganti kepuasan dan kebahagiaan saat tiba di pos 7 yang juga merupakan puncak pertama dari dua gunung yang kami daki. Di pos 7 ini, kami bisa menikmati mahakarya keindahan alam yang luar biasa. Jajaran gunung hijau dengan awan putih yang menghiasi. Luar biasa! Kami menikmati keindahan alam itu dengan sebotol minuman soda dan kacang telur. Puncak pos 7 berukuran sekira 2.560 dari permukaan laut.
Tumpukan batu gunung berukuran besar menjadi penanda pos 7. Menurut informasi, tumpukan batu itu merupakan makam dari seorang pembesar, entah siapa nama dan dari mana asalnya. Para warga sering melakukan ritual sesajian di tumpukan batu itu. Kami menemukan sesajian dalam bentuk telur yang telah dipecahkan di sela-sela batu.
|
Jajaran gunung hijau berselimut awan putih |
|
Tumpukan batu gunung dan pemandangan alam yang luar biasa |
Lama menikmati keindahan alam di pos 7, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami melalui jalur penurunan menuju pos 8. Para pendaki menyebutnya jalur naga karena sangat panjang dan berkelok. Sesekali kami mendapati jalur curam yang kami harus lalui dengan memanjat. Jalur naga ini menggantikan jalur lama karena pos 8 lama habis tertimbun longsor yang terjadi 2004 silam.
Dalam perjalanan, kami pun melihat bukit yang longsor 2004 silam itu. Bentuknya seperti gunungan es krim yang menganga karena telah digigit. Tata Rasyid mengatakan bahwa longsor terjadi karena keserakahan penduduk yang membuka lahan untuk perkebunan. Akibat dari longsor itu, menurut informasi, puluhan rumah penduduk di lembah Bawakaraeng tertimbun.
|
Bukit yang longsor 2004 silam |
Sekira pukul 08.00 malam, kami tiba di pos 8. Kami segera mendirikan tenda untuk bermalam dan berlindung dari rasa dingin yang semakin menyengat. Pos 8 adalah sebuah daerah di dasar lembah yang diapit oleh dua bukit. Di tengah dua bukit itu terdapat sumber air bernama Telaga Bidadari. Air dari telaga itu tersisa sangat sedikit, kotor dan bewarna cokelat.
Rasa lelah menempuh jalur naga menuju pos 8 membuat kami lapar. Nasi dan mie instan hangat menjadi menu makan malam kami. Setelah makan, kami lalu terlelap kelelahan.
PAGI hari kedua kami mendaki. Matahari tampak kembali bersinar cerah. Suara desiran angin yang menggoyang daun di pepohonan riang beriringan dengan suara lalat-lalat gunung yang riuh bergemuruh. Pagi yang cukup indah ditambah secangkir minuman sereal yang menyegarkan.
Pagi ini juga bertepatan dengan hari raya Idul Adha. Seluruh umat Islam melakukan sholat Idul Adha di tempat terbuka, 'tak terkecuali beberapa umat Islam yang melakukannya di puncak Bawakaraeng. Selain sholat, para warga itu juga melakukan ritual sesajian. Ragam sesajian mereka bawa, diantaranya gula merah, beras, telur, lilin dan lainnya.Tata Rasyid menjelaskan perihal sesajian itu,
"Gula merah untuk merasakan manisnya dunia, kelapa untuk merasakan nikmatnya dunia, lilin untuk merasakan terangnya dunia."
Banyak pendapat yang beredar bahwa para warga melakukan ibadah haji di puncak Bawakaraeng, namun pendapat itu dibantah keras oleh Tata Rasyid:
"Warga itu naik untuk lebaran haji, bukan ibadah haji. Tidak ada sejarahnya ibadah haji di Bawakaraeng. Ibadah haji itu di tanah Mekkah."
Sekira pukul 09.00, kami memulai pendakian menuju pos 9 dan pos 10 yang juga merupakan puncak tertinggi sekaligus puncak gunung kedua yang kami daki. Selama perjalanan, keadaan cukup menyegarkan karena banyaknya pohon ragam jenis yang memberikan kesejukan, seperti pohon tambara, pohon strawbery, pohon paku, bunga edelweis dan lainnya. Ranting dari pohon-pohon itu juga sangat bermanfaat sebagai pegangan bagi kami melalui jalur yang memang sangat terjal ke atas.
Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan gerombolan warga yang baru turun dari puncak Bawakaraeng. Jumlah mereka sekira belasan orang. Warga yang berasal dari daerah Sapayya Gowa itu terlihat membawa bekal dan perlengkapan seadanya. Dengan bekal dan perlengkapan seadanya, mereka menginap semalam di puncak Bawakaraeng.
|
Suasana Pos 9 |
|
Jalur menuju pos 9 yang ditumbuhi Bunga Edelweis |
Kami terus berjalan, puncak sudah terlihat dari kejauhan. Samar diselimuti kabut tipis yang berhamburan tertiup angin gunung. Sebelum sampai di puncak tertinggi, kami menyempatkan singgah di sebuah dataran. Rumput di dataran itu yang merapat ke tanah membuat kami menduga bahwa disinilah warga tidur semalam.
Tidak jauh dari dataran itu, terdapat sumur yang airnya cokelat. Sumur itu menjadi satu-satunya sumber air bagi para warga untuk minum. Meskipun air sumur itu warnanya cokelat, tapi rasanya cukup enak dan menyegarkan.
Sekira pukul 11.00 siang kami akhirnya berpijak di pos 10 sekaligus puncak tertinggi Bawakaraeng berukuran 2.700 meter dari permukaan laut. Pos 10 berupa bukit kecil yang gersang dimana sekelilingnya bewarna hitam karena hangus terbakar. Asap bekas kebakaran terlihat masih menggumpal.
Di sekeliling bukit itu, terhampar gunung-gunung gersang yang diselimuti kabut tipis. Kami sejenak menikmatinya, sebuah keadaan alam yang luar biasa.
|
Menikmati gunung dari pos 10 yang gersang |
|
Triangulasi, tanda ketinggian di puncak |
Setelah puas menikmati keadaan alam di pos 10, kami kembali. Dari puncak Bawakaraeng, kami butuh waktu sekira delapan jam untuk kembali ke kampung Lembanna. Jalur penurunan memang terasa lebih cepat dibandingkan jalur pendakian, entah apa penyebabnya. Kami tiba di Lembanna sekira pukul 09.00 malam.