Senin, 03 Oktober 2016

Sepotong Surga di Jeneponto

Panorama Air Terjun Tamalulua dari Bukit Bossolo' (dok. pribadi)
Siapa sangka, di tengah kontur Jeneponto yang kering dan gersang, ada sepotong surga di sudutnya. Surga itu bernama Bukit Bossolo' dan Air Terjun Tamalulua.

Berjarak sekira 20 kilometer dari kota Jeneponto, kedua panorama alam itu bisa ditempuh dengan berkendaraan darat sekira setengah jam menuju Desa Rumbia. Akses jalan masuk cukup mulus, meskipun sempit.

Puncak Bukit Bossolo' (foto: Muhardi)
Pemerintah Kabupaten Jeneponto serius menjadikan keduanya sebagai objek wisata. Jalanan beton menuju Bukit Bossolo' telah dibangun. Tangga curam dari bahan beton juga sementara dibangun untuk akses menuju air terjun Tamalulua.

Pengunjung punya dua pilihan untuk menikmati panorama yang tersaji: pertama, jalan naik ke Bukit Bossolo' dan memandangi sajian pebukitan yang menghampar luas dengan air terjun Tamalulua di tengahnya. Kedua, jalan turun ke bawah dan melihat air terjun Tamalulua dari dekat.

Dalam menikmati panorama yang tersaji, pengunjung diharapkan berhati-hati. Belum lengkapnya pengaman bisa membuat pengunjung jatuh ke jurang yang cukup dalam dan terjal ke bawah.

Untuk sementara, kedua panorama itu dijual satu paket seharga Rp 5.000 per orang. Ke depannya, ketika fasilitas telah lengkap, mungkin harganya akan naik.

Saya (foto: Jusuf)
Papan bicara (dok. pribadi)
Arah menuju air terjun Tamalulua (dok. pribadi)
Air terjun Tamalulua (dok. pribadi)

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kerajaan Gowa (1593-1653): Islamisasi dan Dimulainya Perang Melawan Belanda

Lukisan Somba Opu (Foto: Tidak Diketahui)
Pada 1593, Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja ke-14, I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung. Selama memimpin, Karaeng Lakiung sangat terbuka terhadap ideologi-ideologi yang masuk dari luar, salah satunya ideologi Islam.

Di Kerajaan Gowa dan daerah sekitarnya, Islam dibawa oleh tiga ulama asal Minang, Sumatera, yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Patimmang. Islam yang mereka bawa pun akhirnya masuk juga ke Kerajaan Gowa.

Pada 1605, Kerajaan Gowa akhirnya menganut Islam sebagai agama mereka mengantikan animisme yang sebelumnya mereka anut. Kerajaan pun secara ideologi berubah menjadi Kesultanan. Karaeng Lakiung mengikrarkan diri masuk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin.

Kerajaan Gowa kemudian menyebarkan Islam ke daerah-daerah sekitarnya, termasuk ke kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasainya. Secara damai maupun melalui perang. Islam pun tersebar di hampir seluruh wilayah Sulawesi secara cepat.

----------
Sultan Alauddin diakui sebagai tokoh yang berjasa menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, terkhusus Makassar dan sekitarnya. Untuk menghargai jasa tersebut, nama Sultan Alauddin disematkan pada nama Universitas Islam Negeri di Makassar. Nama Sultan Alauddin juga disematkan menjadi nama jalan protokol di Makassar dimana kampus UIN berada.
----------

Selain berhasil menyebarkan Islam, Sultan Alauddin juga berhasil mempertahankan hegemoni Gowa sebagai kerajaan maritim dan pusat perdagangan. Kapal asing dari negara-negara eropa bersandar di dermaga Somba Opu untuk bertransaksi rempah-rempah. Pedaganag dari Portugis, Spanyol, dan Belanda bahkan bekerja sama khusus dengan Kerajaan Gowa.

Dalam perjalanannya, Belanda diliputi keserakahan. Dia ingin menguasai perdagangan rempah-rempah dunia. Hubungan dengan Kerajaan Gowa pun menjadi renggang dan bahkan berujung perang. Perang pertama Kerajaan Gowa dan Belanda pun meletus pertama kalinya pada 1630 di laut Maluku.

Perang melawan Belanda membuat Kerajaan Gowa banyak membangun benteng-benteng untuk pertahanan. Salah satunya membangun benteng berbentuk hewan penyu yang dinamai Benteng Penyu (Benteng Panyua) yang terletak di daerah ujung (tepi) laut yang banyak ditumbuhi pohon pandan. Letaknya tidak jauh dari Benteng Somba Opu. 

----------
Benteng Penyu diambil alih oleh Belanda (akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya) dan diubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Benteng itu masih ada sampai sekarang dan dijadikan tempat wisata oleh Pemerintah Kota Makassar.

Daerah ujung (tepi) laut yang banyak ditumbuhi pohon pandan memrakarsai penamaan Ujung Pandang di kemudian hari sebagai nama kota, selain Makassar.
----------

Selama 46 tahun berkuasa, Sultan Alauddin akhirnya wafat pada 1639 dan digantikan anaknya I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung bergelar Sultan Malikussaid. Pada era Sultan Malikussaid, perang melawan Belanda tetap berlangsung. Kerajaan Gowa bahkan bersatu dengan Kerajaan Ternate menyerang Belanda.

Selain itu, Kerajaan Gowa juga mengalami perkembangan sebagai Kerajaan Maritim. Apalagi Sultan Malikussaid memiliki Mangkubumi yang sangat hebat dalam bernegosiasi dan menguasai banyak bahasa, yaitu Karaeng Patingngalloang.

Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Selasa, 20 September 2016

Kerajaan Gowa (1510-1593): Berakhirnya Perang Saudara dan Abad Kejayaan

Benteng Somba Opu (foto: dok. pribadi)
Perang saudara antara Kerajaan Gowa dan Tallo yang berlangsung puluhan tahun berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa Kesembilan: Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi Tumapa'risi' Kallonna. Sang Raja berhasil melumpuhkan Kerajaan Tallo yang dirajai Karaeng Tunipasuruk Mangngayoang Berang dan membujuk mereka melebur bersatu.

Kerajaan Gowa-Tallo pun bersatu. Karaeng Mangngutungi diangkat sebagai Raja dan Karaeng Tunipasuruk difungsikan sebagai Mangkubumi (Perdana Menteri dalam istilah sekarang). Julukan sebagai Kerajaan Kembar pun disematkan atas persatuan keduanya.

Selain berhasil mempersatukan Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Mangnguntungi juga sukses membawa kerajaannya berjaya secara politik, sejahtera dalam sektor sosial-ekonomi, dan berpengaruh dalam hal kebudayaan dan sastra. Mari kita membahasnya satu-persatu:

Secara politik, Kerajaan Gowa berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya: Marusu, Pangkaje'ne, Sidenreng, Galesong, Polongbangkeng, dan lainnya. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut tidak dilumpuhkan, tapi tetap dibiarkan berjalan dengan syarat rutin menyetor upeti kepada Kerajaan Gowa.

Upeti dari kerajaan-kerajaan kecil tersebutlah yang dipakai Kerajaan Gowa untuk mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi di wilayahnya. Kerajaan Gowa tidak hanya mampu mengembangkan pertanian yang selama ini menghidupi rakyatnya, tapi juga berhasil beralih ke sektor maritim, kelautan.

Kapal-kapal dagang milik pelaut Gowa berseliwerang ke laut lepas menuju daerah-daerah luar. Mereka sampai ke India, Filipina, bahkan Australia. Kapal-kapal dagang milik negara-negara asing juga sering singgah ke wilayah Gowa untuk bertransaksi jual-beli hasil bumi: rempah-rempah, padi, dan lainnya.

Berkembangnya kehidupan politik, sosial, dan ekonomi  membuat Karaeng Mangnguntungi mengambil kebijakan penting: memindahkan ibu kota dan Istana Kerajaan dari Tamalate yang daerah pebukitan ke daerah maritim, pinggir pantai. Daerah tersebut kemudian dinamai Somba Opu, dua kata yang bersinonim dengan kata Raja.

Di Somba Opu (daerah Raja-Raja), dermaga didirikan untuk menjamu kapal-kapal asing. Benteng dari bahan tanah juga dibangun di sekeliling kompleks istana untuk memperkuat pertahanan. Kerajaan Gowa pun menjadi kerajaan maritim besar di Indonesia.

Yang menarik, Karaeng Mangnguntungi juga berhasil mengembangkan budaya dan sastra Kerajaan Gowa. Dia menunjuk Daeng Pamatte' untuk menciptakan huruf dan bahasa lalu kemudian melakukan pencatatan-pencatatan budaya, kejadian, dan apapun terkait Kerajaan Gowa. Maka terciptalah huruf lontarak dan karya tulis berbahasa lontarak.

Pada 1546, Karaeng Mangnguntungi mengalami sakit keras pada bagian lehernya. Makanya dia pun dijuluki Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (Raja yang sakit lehernya). Penyakit itu merenggut nyawa sang Raja.

Hingga akhir abad ke-15, ada empat raja yang menggantikan posisi Karaeng Mangnguntungi:

1. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung (1546-1565)
2. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data (1565)
3. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590)
4. I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bonto Langkasa (1590-1593)

Ke-4 Raja tersebut, terkhusus nama nomor 1 dan 3, keduanya berhasil melanjutkan kejayaan Kerajaan Gowa secara politik. Mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaan tidak hanya meliputi hampir seluruh pulau Sulawesi, tapi juga sampai ke pulau Kalimantan, Mataram, Maluku, dan bahkan sampai ke Asia Tenggara: Malaysia dan Filipina.

Keduanya juga memperkuat Benteng Somba Opu dengan merubah strukturnya dari bahan tanah ke bahan batu yang diambil dari daerah Marusu (Maros). Walhasil Benteng tersebut menjadi kuat dan bahkan masih bertahan sampai sekarang sebagai situs Kerajaan Gowa.

-----
Sejarah kejayaan maritim Kerajaan Gowa masih bisa dinikmati sekarang dengan berziarah ke kompleks Benteng Somba Opu yang terletak di jalan Abdul Kadir.
-----

Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Sabtu, 17 September 2016

Kerajaan Gowa (1445-1510): Terpecah Menjadi Dua Kerajaan

Kompleks Makam Raja Tallo (foto: Aroengbinang travelog)
Seabad lebih hidup dalam kedamaian, Kerajaan Gowa akhirnya mengalami konflik pada masa pemerintahan Raja keenam, Tunatangka Lopi. Konflik disebabkan karena dua putranya: Batara Gowa dan Karaeng Loe ri Sero', sama-sama ingin mewarisi tahta ayahnya.

Untuk mencegah perselisihan, Raja Tunatangka Lopi membagi kerajaannya menjadi dua dengan membentuk satu kerajaan baru, yaitu Kerajaan Tallo. Batara Gowa menjadi Raja Gowa ketujuh dan Karaeng Loe ri Sero' menjadi Raja Tallo pertama.

Strategi Raja Tunatangka Lopi tidak berhasil. Perselisihan dua anaknya ternyata berlanjut ke persilihan antarkerajaan. Gowa dan Tallo dilanda perang saudara. 

Cucu Tunatangka Lopi yang mewarisi masing-masing kerajaan bahkan melanjutkan perang saudara: I Pakere' Tunijallo ri Passukki (Raja Gowa kedelapan) dan Same' ri Liukang Dg. Marewa (Raja Tallo kedua). Pertikaian berlangsung berpuluh-puluh tahun hingga awal abad ke-15.    

-----
Dari pembagian wilayah kota Makassar saat ini, bisa dianalisa bahwa Kerajaan Gowa menguasai wilayah selatan, timur, dan barat kota Makassar, sedangkan Kerajaan Tallo menguasai wilayah utara kota Makassar. Peninggalan Kerajaan Tallo yang paling otentik adalah Kompleks makam Raja Tallo yang terletak di utara Makassar, tepatnya di jalan Sultan Abdillah, Raja Tallo ketujuh dan yang pertama masuk Islam.
-----

Dirangkum dari pelbagai bacaan dan sumber informasi.

Kerajaan Gowa (1320-1445): Tumanurunga, Tamalate, dan Kedamaian

Duplikasi Istana Tamalate di kompleks Balla Lompoa (foto: Dungsieben)
Pada awal abad ke-13, sembilan kelompok (kaum) kecil bertikai. Mereka adalah kaum Samata, Sero’, Bisei, Kalling, Tombolo’, Lakiung, Parangparang, Agang Je’ne, dan Data. Pertikaian mereka akhirnya terselesaikan oleh seorang perempuan cantik bernama Tumanurunga yang bukan berasal dari kaum mereka.

Atas kesepakatan bersama di bawah perintah Tumanurunga, kesembilannya pun berdamai dan bahkan berhimpun menjadi satu (a’goari) dan kemudian mendirikan sebuah Kerajaan. Goari (perhimpunan) diyakini menjadi inspirasi lahirnya nama Kerajaan mereka, yaitu Gowa. Tumanurunga diangkat menjadi Raja Gowa (somba ri Gowa) pertama.

Tumanurunga dilantik sebagai Raja Gowa pertama di daerah perbukitan bernama Tamalate yang juga merupakan kampung halamannya. Kerajaan Gowa membangun istana di Tamalate dan menjadikannya sebagai ibukota dan pusat pemerintahan.

———-
Daerah Tamalate sekarang masih ada di kota Sungguminasa dan dijadikan sebagai kompleks makam Raja-Raja Gowa: Sultan Hasanuddin, Sultan Alauddin, dan lainnya. Jalan masuk menuju daerah itu dinamai jalan Pallantikang, yang berarti tempat pelantikan, untuk menandai sejarah pelantikan Raja Gowa pertama. Istana Tamalate sendiri dalam perjalanannya dipindahkan ke daerah Somba Opu (akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya). Kini, duplikasi Istana Tamalate telah dibangun oleh Pemkab Gowa di dalam kompleks Balla Lompoa.
———-

Kerajaan Gowa berjalan dalam kedamaian. Mereka hidup dan menghidupi rakyatnya dengan bersawah. Peninggalan sejarah di daerah Tamalate (kompleks makam Raja-Raja Gowa) membuktikan hal tersebut. Beberapa lesung batu ditemukan. Diyakini disitulah rakyat menumbuk padinya.

Raja Gowa Tumanurunga sendiri menikah dengan Karaeng Bayo. Pernikahan keduanya melahirkan keturunan bernama Tamasalangga Baraya yang kemudian menjadi Raja Gowa kedua.

Seabad lebih Kerajaan Gowa hidup dalam damai dan dipimpin bergantian oleh lima Raja. Berikut urutannya:

1. Tumanurunga (1320-1345)
2. Tamasalangga Baraya (1345-1370)
3. I Puang Loe Lembang (1370-1395)
4. I Tuniata Banri (1395-1420)
5. Karampang (1420-1445)
 
Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Jumat, 16 September 2016

Asal Usul Nama Gowa

Pintu gerbang Kab. Gowa (foto: Humas Pemkab Gowa)
'Tak ada referensi pasti tentang asal usul nama Gowa. Beberapa akademisi coba mengajinya. Salah satunya Prof. Mattulada (telah wafat), legenda Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.

Prof. Mattulada yakin nama Gowa berasal dari kata goari, yang berarti perhimpunan. Keyakinan itu didasarkan pada sejarah bahwa kerajaan Gowa sendiri merupakan perhimpunan dari kelompok-kelompok kecil yang sebelumnya bertikai, seperti Tombolo', Lakiung, Samata, dan lainnya (akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya). Kelompok-kelompok kecil itu dipersatukan oleh Tumanurung Bainea yang kemudian menjadi Raja Gowa pertama.

Andi Ijo Karaeng Lalolang (telah wafat) lain lagi. Raja Gowa ke-36 itu berpendapat bahwa nama Gowa berasal dari kata goa, yang berarti lubang. Andi Ijo meyakini bahwa di sebuah goa yang berada di daerah Tamalatelah asal muasal munculnya Tumanurung Bainea, Raja pertama Gowa. Maka kerajaannya pun dinamai Goa (Gowa).  

*Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Rabu, 13 Juli 2016

Mengenal Kampung Penyu di Selayar

Penangkaran Kampung Penyu
Di Pantai Tulang Kepulauan Selayar, kawanan Penyu sejak lama hidup bebas. Mereka eksis menjalankan fungsi alamiahnya: menjaga kesuburan laut, membantu pertumbuhan terumbu karang, dan menjaga kehidupan ikan-ikan sebagai stok makanan bagi manusia.

Namun keberadaan penyu-penyu itu ‘tak selamanya aman. Manusia ternyata menjadi predator utamanya. Dagingnya dimakan, sisiknya diolah menjadi komoditi bisnis, dan telurnya dijual. Hal ini, jika dibiarkan, tentu sangat berbahaya bagi ekosistem laut.

Pantai Tulang
Maka muncullah kesadaran dari warga sekitar dan pihak-pihak yang merasakan pentingnya eksistensi Penyu. Mereka pun membuat penangkaran penyu dengan tujuan melestarikannya. Nama penangkaran itu disepakati Kampung Penyu, singkatan dari Kerukunan Pemuda Pelindung Penyu.

Cara kerja mereka sederhana saja: membeli dan mengumpulkan telur-telur penyu dari warga, menaruhnya di dalam penangkaran, merawatnya hingga menetas, dan melepas penyu ke habitatnya jika waktunya sudah tepat.

Penyu-penyu yang ditangkar
Kawasan pantai Tulang dimana penangkaran berlokasi juga telah dibersihkan. Wisatawan pun secara bebas bisa mengunjungi penangkaran dan pantai untuk berekreasi. Pengelola telah menyiapkan gazebo-gazebo sebagai tempat kongkow-kongkow yang asyik.

Pantai dan laut ‘tak hanya untuk manusia dan kehidupannya. Ada juga kepentingan makhluk lain di sana.

Jalan masuk Kampung Penyu

*****

Kampung Penyu terletak di garis pantai Dusun Tulang, Desa Barugaia, Kec. Bontomanai, Kepulauan Selayar.

Upaya merintis lahirnya Kampung Penyu dimulai pada 2012 oleh kelompok penyelam Sileya Scuba Dive (SSD), warga, dan Kepala Dusun.

Upaya itu akhirnya membuahkan hasil. Pada 13 April 2014, Kampung Penyu diresmikan oleh Wakapolda Sulsel Brigjen Pol Drs. Ike Edwin, SH, MH.

Kini, Kampung Penyu menjadi lokasi wisata terbuka bagi warga Selayar dan turis lokal maupun internasional.

Pantai Tulang
Salurkan donasi Anda!