Senin, 16 Mei 2016

Catatan dari Bandung

Tulisan di dinding kota Bandung (dok. pribadi)
Bandung Sejuk?
Ketika mengunjungi Bandung pada liburan panjang kemarin, 'tak pernah sekali pun saya berkeringat. Udara Bandung memang sejuk. Maklum, kota metropolitan terbesar ke-4 Indonesia itu dikelilingi pegunungan.

Posisinya juga sekira 768 meter di atas permukaan laut. Ditambah lagi, Walikotanya yang arsitek itu sangat hobi membangun taman. Maka lengkaplah sudah.

Namun banyak yang bilang, Bandung 'tak sesejuk dulu. Saya bisa menebak penyebabnya: penduduk Bandung hampir 2 juta jiwa dengan tingkat kepadatan yang luar biasa.

Kepadatan Itu bisa saya rasakan saat mengunjungi Pasar Baru, alun-alun, dan Masjid Agung. Orang-orang menyemut seperti 'tak ada habisnya.

Alun-alun Bandung (dok. pribadi)
Pasar Baru (dok. pribadi)
'Tak Ada Ikan?
Sungguh, saya 'tak sanggup kalau cuma makan ayam, tahu, dan tempe. Bagi saya yang orang Makassar asli, ikan adalah kesyukuran.

Dan kesyukuran saya yang satu itu tidak mudah diwujudkan oleh Bandung. Jarak Bandung yang jauh dari nelayan dan pantai membuat ikan menjadi barang langka di kota Kembang itu.

Kota Belanja
Tapi harus saya akui, Bandung menang dalam urusan fesyien dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Kota kampung halaman Ariel itu pun dijuluki kota belanja dengan Mall, toko distro, dan Factory Outlet-nya yang tersebar.

Saya membeli tiga jaket dan dua baju. Total harganya cuma Rp 600 ribu. Sangat murah. Apalagi kalau dibandingkan dengan harga Makassar.

Floating Market dan Farm House
Selain berwisata belanja, saya juga berwisata alam. Ada dua tempat yang saya datangi: Floating Market dan Farm House di Lembang.

Kedua tempat itu hanyalah permainan konsep, desain interior, dan arsitektur. Mudah ditiru. Bagi yang hobi nongkrong, kedua tempat itu sangat terekomendasi. Juga untuk bermain anak-anak.


Farm House (dok. pribadi)
Floating Market (dok. pribadi)
Sampah dan Lalu Lintas
Ada dua hal yang menunjukkan betapa kita -orang Indonesia- seperti 'tak pernah sekolah: sampah dan lalu lintas. Dua hal itu juga terlihat di Bandung. Sampah berhamburan; lalu lintas semrawut.

Saat naik becak dari Pasar Baru ke Masjid Agung guna menunaikan sholat Jumat, becak dengan beraninya melawan arah jalan. Arghh... Semoga kita -orang Indonesia- diberi ketabahan menjalani kedua hal itu.

Masjid Agung (dok. pribadi)
Warisan Belanda (dok. pribadi)

Selasa, 03 Mei 2016

Terdampar di Kawasan Wisata Untia


Kampung Wisata Untia
Di luar dugaan, jalan Salodong yang gersang dengan bangunan gudang di kanan-kirinya ternyata menyimpan sedikit surga di ujungnya. Surga itu bernama Kawasan Wisata Untia. Ahad, 1 Mei 2016, kemarin, saya menikmatinya sambil bersepeda.

Sajian wisata apa yang ada di kawasan yang terletak di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanayya, Kota Makassar itu?
Pertama, suasana kampung nelayan yang asri. Rumah-rumah tertata rapi dengan pohon-pohon rimbun di halamannya. Ragam fasilitas umum juga terawat dengan baik: jalanan berpaving, tempat sampah, pos ronda, dan lainnya.

Masjid yang luas dan sekolah yang besar juga menjadi pertanda: Untia 'tak tertinggal meskipun jauh di pesisir sana.

Suasana jalan Kampung Wisata Untia
Tata jalan dan jembatan
Kedua, hutan mangrove yang subur. Di sepanjang garis pantai, tumbuh subur hutan mangrove. Indah menghampar, menjadi daya tarik wisata bagi siapa pun yang melihatnya.

'Tak heran jika International Fund for Agricultural Development (IFAD) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Makassar berani menggelontorkan dana untuk mambangun Kampung berpenduduk 2000-an jiwa itu.

Kayu-kayu hutan mangrove yang elastis
Keindahan hutan mangrove di garis pantai
Keindahan hutan Mangrove
Hutan Mangrove dan dermaga
Hutan Mangrove dan dermaga
Mangrove ku subur, anak cucuku makmur
Ketiga, dermaga mini. Di pantai, terdapat dermaga mini. Sangat asyik buat kongkow-kongkow sambil makan ikan bakar. Kita bisa memberi uang kepada penduduk untuk menyiapkannya. Tarifnya bisa dinegosiasi.

Dermaga itu juga menjadi tempat berlabuh perahu-perahu mini yang siap mengantar siapa pun Anda yang ingin pergi mancing di tengah laut, ingin ke pulau, dan atau sekadar ingin naik perahu menikmati laut.

Dermaga yang indah
Kakek bermain sama cucunya
Dermaga tempat kongkow-kongkow

Senin, 25 April 2016

Alam Tersibak di Desa Pucak

Rasanya kita warga kota Makassar 'tak perlu pergi jauh untuk menikmati suasana desa. Di pinggiran kota, banyak desa-desa yang menawarkan alam yang indah. Salah satunya Desa Pucak.

Desa Pucak terletak di Kecamatan Tompo Bulu, Kabupaten Maros. Dapat ditempuh sekira 30 menit perjalanan dari kota Makassar dengan berkendaraan darat.

Ada tiga jalur kota menuju Desa Pucak: lewat jalan Hertasning Baru, lewat jalan Inspeksi PAM Antang, dan lewat jalan Paccerakkang Daya. Ketiga jalur itu akan bertemu pada satu titik, yaitu kantor Yon Zipur TNI.

Setelah kantor Yon Zipur, ada jalur pertigaan dengan batu berlogo Wirabuana di tengahnya: belok kiri menuju Bantimurung dan belok kanan ke Desa Pucak.

Apa yang menarik dari Desa Pucak? Pertama, jalanannya yang mulus beraspal, sunyi, dan menyejukkan. Pengendara pasti sangat menyukainya, apalagi pesepeda. Terlebih jalurnya cukup mengasyikkan: naik-turun, berkelok-kelok, dan menikung.

Jalanan menuju Desa Pucak
Kedua, alamnya sangat indah. Di kanan-kiri jalanan Desa Pucak, menghampar pebukitan yang rindang dan sawah-sawah yang menghijau. Sangat memanjakan mata dan dijamin mampu menghilangkan kepenatan yang didapatkan di kota.

Alam Desa Pucak
Ketiga, ada Bendungan Lekopancing. Bagi Anda yang suka menikmati gemuruh suara air, Bendungan lekopancing cocok untuk Anda. Apalagi pemandangan alam di sekeliling bendungan terhampar sempurna.

Bendungan Lekopancing
Keempat, villa berkolam renang. Di Desa Pucak terdapat villa milik keluarga H. Zainal Basri Palaguna, mantan Gubernur Sulawesi Selatan, yang berfasilitas kolam renang. Setiap akhir pekan, kolam renang itu cukup ramai dikunjungi kawula muda.

Berikut foto-foto keindahan alam Desa Pucak lainnya:

Alam seluas daun pisang
Sungai dan gunung
Sungai dan gunung
Indah, bukan?

Minggu, 24 April 2016

Terpesona Alam di Bendungan Lekopancing

Bendungan Lekopancing berlatar pegunungan
Kesunyian yang penulis rasa saat bersepeda mengarungi jalanan Desa Pucak akhirnya berujung pada suara gemuruh air. Suara itu berasal dari Bendungan Lekopancing.

Bendungan yang dikelola Dinas PU Kabupaten Maros itu berfungsi mengendalikan air sungai dari hulunya di hamparan pebukitan sana. PDAM dengar-dengar juga coba memanfaatkan sungai itu sebagai sumber air minum warga.      

Di sekeliling Bendungan, hamparan alam tersaji luar biasa indah. Gunung yang membisu, sungai yang mengalir tenang, dan pohon-pohon yang menyejukkan mata.

Pemandangan sisi kanan Bendungan
Pemandangan sisi kiri Bendungan
Bendungan Lekopancing

Sabtu, 26 Maret 2016

Kemilau Alam Dusun Baku

Jalanan Dusun Baku
Sepi dan menyejukkan. Begitulah jalanan Dusun Baku menyambutku. Pepohonan tampak kokoh. Arus air dari got besar mengalir pelan. Anak-anak berenang riang di atasnya; kencing dengan perasaan gembira. 

Sepeda kukayuh pelan-pelan. Mencoba menikmati keheningan yang begitu menyentuh perasaan. 'Tak ada keheningan seperti ini di Kota Maros. 'Tak ada keheningan seperti ini di Kota Makassar.

Jalanan sepi dan menyejukkan
Anak-anak berenang riang
Air mengalir pelan
Lama berjalan, tetiba suara gemerincing air memekakan telingaku. Itu sungai. Yah, itu sungai. Di balik pepohonan rindang dan hamparan sawah yang hijau, ada sungai besar.

Seketika, saya pun seperti Glass yang menemukan sungai besar dalam film The Revenant. Saya menikmati sungai yang entah apa namanya itu. Bersama sapi yang berbaring manja di tepinya. Bersama anak-anak yang bermain; berlarian ke sana ke mari.

Sepeda dan sapi
Sepeda Alam
Seperti Oase
Rayuan Pulau Kelapa
Dan apa yang menarik dari rasa cinta terhadap sesuatu itu? Ya, kerinduan untuk menemuinya kembali. Dan di saat saya beranjak meninggalkan Dusun Baku, sungguh saya memendam rasa rindu untuk memijaknya kembali.

*****

Dusun Baku adalah dusun yang terletak di Kecamatan Tanralili, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Boleh dikata, Dusun tersebut masuk dalam area daerah pinggiran kota Makassar. Sangat terekomendasi untuk pembaca yang hobi bersepeda, apalagi yang berdomisili di Kota Maros atau Kota Makassar.

Sabtu, 19 Maret 2016

Mengenal Fatimah Kalla, Direktur Utama Kalla Group

Bu Ima dan keluarga (dok. keluarga)
Tahun 1999 silam, Pak Jusuf Kalla membuat keputusan penting dalam hidupnya: konsentrasi penuh di bidang politik dan mewariskan kepemimpinannya di Kalla Group, perusahaan milik keluarga yang telah dibesarkannya sejak 1965 dan dibawanya keluar dari krisis 1998.

Warisan Pak JK akhirnya jatuh pada Fatimah Kalla, saudari bungsunya. Mungkin banyak yang ragu mengingat dasar keilmuan Bu Ima yang seorang Apoteker. Namun Pak JK teguh pada keputusannya. “Personal touch seorang perempuan sebagaimana Bu Athirah,” kata Pak JK mengungkapkan alasannya memilih Bu Ima.

Perempuan kelahiran Ujung Pandang, 19 April 1962 itu pun menahkodai Kalla Group. Tugas yang sangat berat. Istri dari Pulu Niode itu harus membawa bisnis Kalla Group tidak hanya meraih profit, tapi juga growth: tumbuh bermanfaat bersama masyarakat dan bangsa, sebagaimana dicita-citakan Pak JK.

Dalam perjalanannya, ibunda dari Muhammad Zakaria Niode dan Siti Hajar Maharani Niode itu membawa beberapa pencapaian bersama Kalla Group: membangun pembangkit listrik di Poso, pabrik cokelat di Kendari, dan pabrik bata ringan pertama di Makassar dan Indonesia Timur. Yang terbaru, Kalla Group juga sedang membangun pabrik pengolahan nikel (smelter) di palopo dan jalan/jembatan bypass yang menghubungkan Makassar, Maros, dan Gowa.

Ke depannya, regenerasi SDM yang terprogram dan perkembangan teknologi informasi menjadi perhatian khusus Bu Ima, sebagaimana dijelaskannya kepada situs Bisnis.com. “Saya ingin bisa memastikan standardisasi dan men-develop mereka. Agar setiap pergantian manajemen mereka tidak membawa gaya masing-masing, ada proses yang harus begini, misalnya. Lalu juga di teknologi informasi harus ditingkatkan agar pemantauan dapat lebih update.”

Sabtu, 12 Maret 2016

Dr. Syafruddin, Profesor Malaria dari Unhas Makassar

Din dan anaknya Harumi (dok. pribadi Amaliah Harumi Karim)
Syafruddin, akrab disapa Din. ‘Tak banyak yang mengenal pria kelahiran Ujung Pandang, 16 Mei 1960 itu. Dia ‘tak seterkenal Jusuf Kalla atau Abraham Samad. Ketika terjatuh akibat stroke ringan pun, dia ‘tak menjadi berita besar.

Namun oleh koleganya di Kedokteran Universitas Hasanuddin, apalagi teman-teman seangkatannya, Din terbilang spesial. ‘Tak salah jika Unhas akan mengangkatnya menjadi Guru besar April mendatang.

Di dunia kedokteran, Din punya andil dalam penanganan penyakit malaria. Bersama Lembaga Penelitian Eijkmann Unit Malaria yang dipimpinnya sejak 1995 hingga 2014, Din meneliti malaria sampai ke pelosok-pelosok daerah Indonesia. Hasilnya, 62 artikel penelitiannya berhasil dimuat dalam Jurnal Internasional Kedokteran. Lembaga Kesehatan Dunia WHO menjadikannya rujukan.

Sekolah
Anak ke-4 dari Abdul Karim dan Kasturi (keduanya sudah wafat) itu masuk Unhas pada 1978. Dari rumahnya di jalan Bete-bete, dia berjalan kaki ke kampus Kedokteran Unhas di jalan Kandea. Dia menyelesaikan kuliahnya pada 1985 dan lalu menjadi dosen setahun kemudian.

Pada 1987, Din bersama beberapa dosen Unhas mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Toyama Medical & Pharmaceutical University, Jepang. Lima tahun kemudian, Din menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar PhD.

Keluarga
‘Tak hanya gelar Doktor yang diperoleh Din di Jepang, dia juga mendapatkan Siti Meiningsih, seorang Peneliti LIPI. Keduanya kemudian menikah dan dikaruniai empat anak: Amaliah Harumi Karim, Andini Nurfatimah Karim, Adel Fahmi Karim, dan Aulina Meidinah Karim.

Anak pertamanya Harumi mengikuti minat bapaknya dengan berkuliah di Kedokteran Universitas Indonesia. Anak keduanya Andien lebih memilih Biologi Institut Teknologi Bandung. Sementara Adel dan Aulina masih sekolah.

Penelitian
Sadar atas kurangnya fasilitas dan dana penelitian yang disediakan Unhas, Din akhirnya bergabung dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkmann pada 1993.

Di Eijkmann, gairah Din akan penelitian lapangan muncul. Dan pria penggemar mobil Jeep itu memilih Malaria sebagai objek penelitian. Sampai sekarang pun, Din tetap aktif meneliti malaria bersama Eijkmann.

Tiap pekan, Din harus bolak-balik Makassar-Jakarta untuk menjalankan kewajibannya di Unhas. Dengan raihan akademiknya dan segala penelitiannya yang bermanfaat, sangat wajar jika Din diberi gelar Profesor, tepatnya Profesor malaria.