Kamis, 20 Juni 2024

Tapera

Dulu, pemeritah Soeharto punya kebijakan lebih rill: perumahan nasional. Melalui badan yang namanya Perumnas, rumah-rumah dibangun lalu dijual ke karyawan menengah ke bawah: guru, dosen, tantama, buruh, bidan, dll. 

Mereka semua terbantu. Pun gaji mereka dipotong tiap bulan, tapi mereka bisa hidup tenang di rumah sendiri. Pun rumah ukurannya kecil bertipe 21, kamar mandinya di dalam; pompa airnya di luar, tapi itu rill: betul-betul berwujud rumah.

Di Makassar, kita masih bisa lihat jejak kebijakan Soeharto itu: perumnas Sudiang, perumnas Antang, perumnas BTP, perumnas Tamalate, dll. Badan Perumnas juga masih berdiri sampai sekarang di bawah naungan Kementerian BUMN.

Bahkan beberapa instansi, entah mereka kerja sama dengan Perumnas atau tidak, juga bangun perumahan: BPN punya kompleks Agraria, tentara punya kompleks Kodam, kampus negeri punya perumahan dosen, dll.

*****

Nah, tapera sama sekali tidak rill. Gaji karyawan dipotong 3 persen tiap bulan, tapi rumahnya tidak ada. Mereka disuruh menyicil harapan, padahal 3 persen lumayanlah buat sarapan. Belum yang sudah punya rumah, masa dipotong juga?

Ada orang pemerintah yang bilang: "Tapera itu gotong royong belikan rumah mereka yang tidak mampu. Sama kayak BPJS kesehatan." Jelas pendapat ini keliru. Menyamakan asuransi dengan tabungan itu salah dalam perspektif apapun.

Kalau pemerintah betul-betul serius memberi perhatian terhadap pengadaan rumah bagi warga, mending pemerintah maksimalkan kebijakan yang sudah jalan: rumah subsidi. Kebijakan itu lebih rill dan berdampak nyata bagi karyawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar