Minggu, 23 Juni 2024

Tanri Abeng (1942-2024)

Sebelum era millenium, ekonomi Indonesia kental menganut laissez faire: pasar diserahkan kepada swasta. Pemerintah hanya mengontrol tipis-tipis dari jauh. 

Apa hasilnya: perusahaan swasta -secara umum- lebih maju dan efisien dibandingkan perusahaan negara (BUMN). Yang kita kenang dari BUMN cuma rugi dan sarang korupsi. 

Satu korupsi BUMN yang terkenal: korupsi Pertamina ala Ibnu Sutowo, dirutnya. Ibnu Sutowo juga dikenal sebagai nenek dari Maulana Indraguna Sutowo, suami artis Dian Sastrowardoyo.

*****

Sampai pada pascakrisis 1998, Pemerintah mulai sadar untuk segera membangkitkan BUMN. Maka dibentuklah Kementerian BUMN. Orang pertama yang ditunjuk mengurusnya adalah Tanri Abeng.

Penunjukan Tanri Abeng tidak berasal dari ruang hampa. Selain orang Golkar, tokoh kelahiran Selayar itu sebelumnya sukses menjadi Presiden Direktur di dua perusahaan swasta: PT Multi Bintang Indonesia (produsen Bir Bintang) dan Bakrie Group. 

Kelihaian manajemen alumni Buffalo University New York itu diharapkan mampu membangkitkan BUMN. 

Konsep yang dipresentasekan Tanri Abeng kepada Presiden Soeharto saat pertama kali menjadi Menteri BUMN adalah konsep holding. Menurutnya, puluhan jumlah BUMN kala itu harus diwadahi oleh beberapa holding sehingga berjalan maju dan efisien, mudah dikontrol. 

Konsep holding tersebut masih bertahan sampai sekarang di era Menteri Erick Tohir. Konsep itu menjadi kekuatan BUMN memimpin pasar. Swasta mencak-mencak.

Selain konsep holding, salah satu hal terbaik yang dilakukan Tanri Abeng saat menjadi Menteri BUMN adalah berhasil menyelamatkan empat bank pemerintah yang mangap-mangap karena krisis. Keempat bank itu digabung menjadi satu dan dinamai Bank Mandiri.

*****

Meskipun Tanri Abeng adalah tokoh asli Selayar, tapi sepak terjangnya cukup kontroversi bagi warga Selayar. Itu karena Tanri Abeng memimpin perusahaan produsen bir bintang. Minuman beralkohol tentu haram bagi warga Selayar yang mayoritas Muslim cluster Muhammadiyah.

Cerita negatif -entah benar apa tidak-bahkan beredar di kalangan orang tua di Selayar: sumbangan dari Tanri Abeng selalu ditolak karena berasal dari uang haram.

Tapi apakah Tanri Abeng melupakan Selayar? Tidak juga. Itu terbukti saat beliau membangun hotel Sedona di sekitaran Pantai Losari. Konon kabarnya, Sedona adalah singkatan dari Selayar Tanah Doang.

Dalam perjalanannya, Hotel Sedona berganti nama menjadi Aryaduta karena ada investasi Lippo Group juga disitu. Dan pada 2011, hotel itu dijual kepada Bosowa Group. Uang hasil penjualan hotel digunakan untuk mendirikan Universitas Tanri Abeng.

Foto: Tanri Abeng dan keluarga (dok. Emil Abeng)



Kamis, 20 Juni 2024

Tapera

Dulu, pemeritah Soeharto punya kebijakan lebih rill: perumahan nasional. Melalui badan yang namanya Perumnas, rumah-rumah dibangun lalu dijual ke karyawan menengah ke bawah: guru, dosen, tantama, buruh, bidan, dll. 

Mereka semua terbantu. Pun gaji mereka dipotong tiap bulan, tapi mereka bisa hidup tenang di rumah sendiri. Pun rumah ukurannya kecil bertipe 21, kamar mandinya di dalam; pompa airnya di luar, tapi itu rill: betul-betul berwujud rumah.

Di Makassar, kita masih bisa lihat jejak kebijakan Soeharto itu: perumnas Sudiang, perumnas Antang, perumnas BTP, perumnas Tamalate, dll. Badan Perumnas juga masih berdiri sampai sekarang di bawah naungan Kementerian BUMN.

Bahkan beberapa instansi, entah mereka kerja sama dengan Perumnas atau tidak, juga bangun perumahan: BPN punya kompleks Agraria, tentara punya kompleks Kodam, kampus negeri punya perumahan dosen, dll.

*****

Nah, tapera sama sekali tidak rill. Gaji karyawan dipotong 3 persen tiap bulan, tapi rumahnya tidak ada. Mereka disuruh menyicil harapan, padahal 3 persen lumayanlah buat sarapan. Belum yang sudah punya rumah, masa dipotong juga?

Ada orang pemerintah yang bilang: "Tapera itu gotong royong belikan rumah mereka yang tidak mampu. Sama kayak BPJS kesehatan." Jelas pendapat ini keliru. Menyamakan asuransi dengan tabungan itu salah dalam perspektif apapun.

Kalau pemerintah betul-betul serius memberi perhatian terhadap pengadaan rumah bagi warga, mending pemerintah maksimalkan kebijakan yang sudah jalan: rumah subsidi. Kebijakan itu lebih rill dan berdampak nyata bagi karyawan.