Harus diakui, Indonesia adalah negara yang jauh dari idealitas. Makanya, amat sulit menemukan kebijakan pemerintah yang betul-betul benar dengan konsekuensi yang sangat-sangat baik.
Yah, realitasnya: terkadang kebijakan sudah dirancang dengan benar oleh pemerintah; rasionya sudah matang, tapi yang terjadi kemudian konsekuensinya malah buruk. Begitupula sebaliknya, kebijakan salah terkadang harus diambil pemerintah demi mewujudkan konsekuensi yang baik.
Benar dan baik disini ukurannya sederhana saja: enak bagi pemerintah dan enak pula bagi publik. Begitu pula ukuran salah dan buruk: tidak enak bagi pemerintah dan tidak enak bagi publik.
Sebenar-benarnya kebijakan pemerintah menaikkan gaji ASN, misalnya, konsekuensinya APBN terbebani. Kalau APBN terbebani, muncul lagi kebijakan pemerintah yang salah di mata publik: menaikkan pajak atau berutang.
Sesalah-salahnya kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM, konsekuensinya justru baik: alokasi subsidi pendidikan bisa lebih meningkat. Dalam bentuk SPP gratis atau beasiswa LPDP, misalnya. Itu jelas berpengaruh dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Yang perlu dihindari, dan ini harga mati, adalah kesengajaan pemerintah mengeluarkan kebijakan salah yang sebenarnya sudah bisa diukur keburukan konsekuensinya secara moral maupun materi.
Pada masa orde baru, misalnya, Pak Harto pernah mengeluarkan kebijakan Operasi Petrus: menembaki diam-diam para preman di jalanan dan membiarkan tubuhnya tergeletak.
Pun Pak Harto berdalih bahwa kebijakan itu demi menurunkan tingkat kriminalitas, tapi banyak yang mengritisinya dan menganggapnya justru sebagai tindak kriminal juga. Pemerintah dianggap buang-buang tenaga dan peluru untuk sesuatu yang tidak bermoral. Sebagian korbannya bahkan diklaim salah sasaran.
Lantas, apakah betul-betul tidak ada sama sekali kebijakan pemerintah yang benar dan baik? Ada sih. Cuti bersama pada 8, 9, dan 10 Februari 2024 nanti, contohnya 😁. Itu betul-betul enak bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar