Tidak banyak orang mapan yang bersedia mati untuk orang lain. Apalagi di usia muda. Salah satunya Rachel Corrie. Perempuan 23 tahun dari Olympia, Amerika Serikat.Pada 16 Maret 2003, dia berdiri tegap di hadapan buldozer milik tentara Israel (IDF) yang hendak menghancurkan rumah-rumah warga Palestina di kota Rafah.
Rachel berdiri menggunakan jaket terang jingga. Perempuan yang tergabung dalam International Solidarity Movement itu berteriak lantang sambil memegang megaphone di kedua tangannya.
IDF tidak peduli. Buldozer terus bergerak maju. Tubuh Racher akhirnya terlindas. Tengkorak tubuhnya retak. Dia wafat seketika.
Setelah Rachel wafat, banyak warga AS menyalahkannya. Dia dianggap melindungi teroris. Opini yang didukung penuh The New York Times dan CNN.
Tapi bagi warga Palestina, Rachel adalah martir!
The Guardian merilis surat-surat Rachel kepada ibunya tentang perasaanya selama berada di Palestina. Berikut beberapa potongan pentingnya:
”Datang ke sini adalah salah satu hal yang lebih baik yang pernah kulakukan. Maka jika aku terdengar seperti gila, atau bila militer Israel meninggalkan kecenderungan rasialisnya untuk tak melukai orang kulit putih, tolong, cantumkanlah alasan itu tepat pada kenyataan bahwa aku berada di tengah pembantaian yang juga aku dukung secara tak langsung, dan yang pemerintahku sangat ikut bertanggung jawab.”
”Kusaksikan pembantaian yang tak kunjung putus dan pelan-pelan menghancurkan ini, dan aku benar-benar takut…. Kini kupertanyakan keyakinanku sendiri yang mendasar kepada kebaikan kodrat manusia. Ini harus berhenti.”
”Ngeri dan tak percaya, itulah yang kurasakan. Kecewa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar