Masjid Baiturrahman, Banda Aceh |
Pertengahan 2008, saya mengunjungi Banda Aceh. Pesawat Sriwijaya Air yang saya tumpangi memutar di atas pantai kemudian mendarat di bandara yang memang dekat dengan pantai.
Melihat pantai dari balik kaca pesawat, terbayang dalam pikiran saya kejadian 2004 silam: air bah melaju cepat dari pantai lalu menyapu semua daratan yang dicapainya, termasuk bandara yang akan saya pijak.
Pascagempa dan tsunami, bandara Sultan Iskandar Muda memang rusak berat. Banyak karyawan yang bekerja di situ menjadi korban. Pun demikian di wilayah Aceh lainnya. Keadaan itu abadi dalam dokumentasi media.
Saya dijemput oleh seorang teman yang telah menunggu dengan mobilnya. Saya pun diajaknya berjalan-jalan melihat kota Banda Aceh.
Kesunyian, itulah yang saya rasakan sepanjang perjalanan. Entahlah, apakah itu suasana traumatik pascagempa dan tsunami atau apa. Yang jelas, suasana betul-betul sunyi. Kata teman: "Memang begini Aceh kalau masih jam delapan pagi."
Ya, jam delapan pagi di Aceh sama suasananya seperti jam enam pagi di Makassar, aktifitas belum terlalu menggeliat. Wajar saja, letak Aceh di posisi paling barat Indonesia membuatnya paling terakhir didatangi matahari.
Pagi-pagi, warga Aceh biasanya ramai berkumpul di warung kopi. Menikmati kopi Aceh yang terkenal, bercerita sambil lalu atau sekadar membaca koran. Saya sempat menikmati kopi Aceh secangkir. Nikmat memang.
*****
Wajar jika Aceh disebut serambi Mekkah. Di jalanan-jalanan yang saya lalui, banyak terlihat masjid-masjid berukuran besar. Satu yang paling terkenal adalah Masjid Baiturrahman. Saya sholat Maghrib di masjid itu.
Masjid itu menjadi penopang banyak warga ketika bencana terjadi. Di televisi, pemandangan itu begitu mengharukannya. Warga berkumpul dan berteriak-teriak menyebut Allah.
Kontras dengan kata teman saya: "Bagaimana bencana tidak terjadi, di situ (sambil menunjuk halaman masjid Baiturrahman yang besar) banyak muda-mudi pacaran tiap malam."
*****
Malam menjelang, mata saya silau melihat pemandangan di jalanan kota Banda Aceh. Puluhan kendaraan lalu-lalang dengan kencangnya. Sebuah motor terlihat melaju dengan gilanya. Pengemudinya seorang wanita berjilbab dengan dua boncengan teman perempuan di belakangnya yang juga berjilbab. Ketiganya tidak memakai helm.
Saya dan teman makan malam di sebuah warung seafood sederhana di pinggiran jalan. Di dinding warung itu, terpampang poster tim sepakbola kebanggaan warga Banda Aceh: Persiraja. Pelayan warung berkata: "Semua pemain yang di gambar itu meninggal dunia saat tsunami terjadi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar