Rabu, 23 Agustus 2017

Mengenal Air Terjun Maddenge

Sebagai wilayah yang masih bersambung dengan Taman Wisata Nasional Bantimurung, Camba 'tak mungkin tidak memiliki alam yang indah. Air terjun Maddenge' salah satu buktinya. Tersembunyi di balik kesunyian, air terjun yang terletak di Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan itu menyajikan eksotika yang khas dibandingkan air terjun lainnya.

Butuh perjuangan menuju air terjun di balik bebukitan itu. Jalan masuknya yang curam ke atas yang terletak di Dusun Tokka hanya bisa dilalui mobil satu arah. Kalau ada dua mobil yang berpapasan, satunya harus mengalah. Itu pun, setelah mobil terparkir, butuh jalan kaki lagi di antara semak-semak dan pepohonan untuk menuju air terjun.

Pun demikian, sesampai di tujuan, perjalanan yang panjang terbayar dengan sajian air terjun dan pemandangan alam yang indah di sekitarnya. Berikut foto-fotonya:

Aliran air di dekat air terjun
Air terjun utama
Air terjun Madenge belum dikomersilkan oleh Pemerintah Kabupaten Maros. Warga pun masih bisa menikmatinya secara gratis.

Berikut foto-foto lain yang menggambarkan suasana di sekitar air terjun:

Jalan masuk ke air terjun ditemani Hutan Pinus
Pemandangan ke jalan poros Kota Camba
Suasana dekat air terjun
Suasana dekat air terjun

Minggu, 22 Januari 2017

Kopi

Banyak sudah tulisan tentang kopi: artikel, penelitian, novel, bahkan puisi. Ingin juga menulis tentang jenis biji-bijian itu, namun 'tak ada lagi bahan. Mungkin saking enaknya kopi itu sampai 'tak ada lagi kalimat untuk mengungkapkannya.

Pertama kali suka kopi saat menggarap skripsi 2007 silam. Sebelumnya saya lebih banyak minum teh. Kopi idola saya waktu itu adalah coffemix, kopi susu sachet pertama. Candu. Saya bisa menghabiskan hingga lima sachet perhari sambil mengetik kalimat. Walhasil, skripsi saya selesaikan setahun kemudian. Bisa dibayangkan sudah berapa sachet yang saya habiskan.

Selanjutnya, kesukaan saya terhadap kopi berlanjut seiring mulai menjamurnya warkop-warkop di kota Makassar. Warkop favorit saya adalah Dg. Sija. Entah kenapa, seiring waktu, kopi di warkop Dg. Sija kehilangan rasa. Komersialisasi telah merenggutnya.

Hari demi hari, saya mulai suka nongkrong di warkop lain, apalagi yang ramai: Mappanyukki, Andalas, Dottoro', 51, Az Zahrah, dan lainnya. Perlahan, rasa kopi di warkop-warkop itu juga turut simpang siur. Benar kata El dalam film Filosofi Kopi, "Kopi itu harus dibikin dengan cinta, bukan ambisi." Apalagi ambisi bisnis.

Dalam perjalanannya, kesukaan saya terhadap kopi semakin spesifik. Saya lebih suka memesan kopi Vietnam sekarang, kopi yang terkenal karena adanya kasus Jessica-Mirna. Entahlah, kopi itu rasanya pas saja di lidah. 

Entah sampai kapan candu ini ada. Yang jelas, saya ingin selalu menikmatinya.

Sabar menanti.
Kopi dan bukunya sungguh berisi.
Gerimis di luar pun perlahan teresapi

Sabtu, 07 Januari 2017

Kampala

Bagi yang ingin mengkhayalkan keberadaan Kerajaan Marusu' (Maros) berabad-abad silam, mungkin Kampala bisa mewakilinya.

Tanah yang subur, sungai yang membentang panjang, dan kuburan para tetua bisa membawa kita menerka-nerka, betapa bersahajanya Kerajaan itu dulu.

Dan generasi sekarang punya cerita, semoga mereka bisa membawa Maros menjadi lebih jaya. Dan Kampala hanyalah saksi bisu.

Rumah dengan perahu di depannya
Perahu bersandar di dermaga
Angkutan sungai
Jembatan di atas sungai
Jalan Poros
Angkutan sungai
Perahu kecil
Perahu besar

Kamis, 05 Januari 2017

Pantai Kuri

Wisata pantai sudah sangat lazim di Makassar dan daerah sekitarnya. Tapi Pantai Kuri yang terletak di Maros dijamin memberikan suasana beda.

Pantainya masih alami, belum tersentuh komersialisasi sama sekali. Kehadiran kampung nelayan Kuri Caddi di samping kanannya semakin menambah kealamian.

Foto-foto berikut mungkin bisa menggambarkannya:

Nelayan bersandar
Pohon Bakau
Perahu di belakang rumah nelayan
Dermaga alami
Suasana pantai belakang kampung
Pantai alami
Dahan tumbang yang 'tak dihiraukan
Anugerah Tuhan dalam bentuk alam

Pantai Alami
Bagi yang ingin mengunjungi Pantai Kuri, silahkan lewat jalan Pate'ne di samping jalan tol Ir. Sutami. Tepat di ujung jalan Pate'ne terdapat dua jalan: kalau lurus lalu belok kanan, kita menuju kampung nelayan Kuri Lompo; kalau belok kiri dan berjalan lagi sekira satu kilo lebih, kita menuju Pantai Kuri dan kampung nelayan Kuri Caddi.

Senin, 03 Oktober 2016

Sepotong Surga di Jeneponto

Panorama Air Terjun Tamalulua dari Bukit Bossolo' (dok. pribadi)
Siapa sangka, di tengah kontur Jeneponto yang kering dan gersang, ada sepotong surga di sudutnya. Surga itu bernama Bukit Bossolo' dan Air Terjun Tamalulua.

Berjarak sekira 20 kilometer dari kota Jeneponto, kedua panorama alam itu bisa ditempuh dengan berkendaraan darat sekira setengah jam menuju Desa Rumbia. Akses jalan masuk cukup mulus, meskipun sempit.

Puncak Bukit Bossolo' (foto: Muhardi)
Pemerintah Kabupaten Jeneponto serius menjadikan keduanya sebagai objek wisata. Jalanan beton menuju Bukit Bossolo' telah dibangun. Tangga curam dari bahan beton juga sementara dibangun untuk akses menuju air terjun Tamalulua.

Pengunjung punya dua pilihan untuk menikmati panorama yang tersaji: pertama, jalan naik ke Bukit Bossolo' dan memandangi sajian pebukitan yang menghampar luas dengan air terjun Tamalulua di tengahnya. Kedua, jalan turun ke bawah dan melihat air terjun Tamalulua dari dekat.

Dalam menikmati panorama yang tersaji, pengunjung diharapkan berhati-hati. Belum lengkapnya pengaman bisa membuat pengunjung jatuh ke jurang yang cukup dalam dan terjal ke bawah.

Untuk sementara, kedua panorama itu dijual satu paket seharga Rp 5.000 per orang. Ke depannya, ketika fasilitas telah lengkap, mungkin harganya akan naik.

Saya (foto: Jusuf)
Papan bicara (dok. pribadi)
Arah menuju air terjun Tamalulua (dok. pribadi)
Air terjun Tamalulua (dok. pribadi)

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kerajaan Gowa (1593-1653): Islamisasi dan Dimulainya Perang Melawan Belanda

Lukisan Somba Opu (Foto: Tidak Diketahui)
Pada 1593, Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja ke-14, I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung. Selama memimpin, Karaeng Lakiung sangat terbuka terhadap ideologi-ideologi yang masuk dari luar, salah satunya ideologi Islam.

Di Kerajaan Gowa dan daerah sekitarnya, Islam dibawa oleh tiga ulama asal Minang, Sumatera, yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Patimmang. Islam yang mereka bawa pun akhirnya masuk juga ke Kerajaan Gowa.

Pada 1605, Kerajaan Gowa akhirnya menganut Islam sebagai agama mereka mengantikan animisme yang sebelumnya mereka anut. Kerajaan pun secara ideologi berubah menjadi Kesultanan. Karaeng Lakiung mengikrarkan diri masuk Islam dan diberi gelar Sultan Alauddin.

Kerajaan Gowa kemudian menyebarkan Islam ke daerah-daerah sekitarnya, termasuk ke kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasainya. Secara damai maupun melalui perang. Islam pun tersebar di hampir seluruh wilayah Sulawesi secara cepat.

----------
Sultan Alauddin diakui sebagai tokoh yang berjasa menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan, terkhusus Makassar dan sekitarnya. Untuk menghargai jasa tersebut, nama Sultan Alauddin disematkan pada nama Universitas Islam Negeri di Makassar. Nama Sultan Alauddin juga disematkan menjadi nama jalan protokol di Makassar dimana kampus UIN berada.
----------

Selain berhasil menyebarkan Islam, Sultan Alauddin juga berhasil mempertahankan hegemoni Gowa sebagai kerajaan maritim dan pusat perdagangan. Kapal asing dari negara-negara eropa bersandar di dermaga Somba Opu untuk bertransaksi rempah-rempah. Pedaganag dari Portugis, Spanyol, dan Belanda bahkan bekerja sama khusus dengan Kerajaan Gowa.

Dalam perjalanannya, Belanda diliputi keserakahan. Dia ingin menguasai perdagangan rempah-rempah dunia. Hubungan dengan Kerajaan Gowa pun menjadi renggang dan bahkan berujung perang. Perang pertama Kerajaan Gowa dan Belanda pun meletus pertama kalinya pada 1630 di laut Maluku.

Perang melawan Belanda membuat Kerajaan Gowa banyak membangun benteng-benteng untuk pertahanan. Salah satunya membangun benteng berbentuk hewan penyu yang dinamai Benteng Penyu (Benteng Panyua) yang terletak di daerah ujung (tepi) laut yang banyak ditumbuhi pohon pandan. Letaknya tidak jauh dari Benteng Somba Opu. 

----------
Benteng Penyu diambil alih oleh Belanda (akan dijelaskan pada tulisan selanjutnya) dan diubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Benteng itu masih ada sampai sekarang dan dijadikan tempat wisata oleh Pemerintah Kota Makassar.

Daerah ujung (tepi) laut yang banyak ditumbuhi pohon pandan memrakarsai penamaan Ujung Pandang di kemudian hari sebagai nama kota, selain Makassar.
----------

Selama 46 tahun berkuasa, Sultan Alauddin akhirnya wafat pada 1639 dan digantikan anaknya I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung bergelar Sultan Malikussaid. Pada era Sultan Malikussaid, perang melawan Belanda tetap berlangsung. Kerajaan Gowa bahkan bersatu dengan Kerajaan Ternate menyerang Belanda.

Selain itu, Kerajaan Gowa juga mengalami perkembangan sebagai Kerajaan Maritim. Apalagi Sultan Malikussaid memiliki Mangkubumi yang sangat hebat dalam bernegosiasi dan menguasai banyak bahasa, yaitu Karaeng Patingngalloang.

Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.

Selasa, 20 September 2016

Kerajaan Gowa (1510-1593): Berakhirnya Perang Saudara dan Abad Kejayaan

Benteng Somba Opu (foto: dok. pribadi)
Perang saudara antara Kerajaan Gowa dan Tallo yang berlangsung puluhan tahun berakhir pada masa pemerintahan Raja Gowa Kesembilan: Daeng Matanre Karaeng Mangngutungi Tumapa'risi' Kallonna. Sang Raja berhasil melumpuhkan Kerajaan Tallo yang dirajai Karaeng Tunipasuruk Mangngayoang Berang dan membujuk mereka melebur bersatu.

Kerajaan Gowa-Tallo pun bersatu. Karaeng Mangngutungi diangkat sebagai Raja dan Karaeng Tunipasuruk difungsikan sebagai Mangkubumi (Perdana Menteri dalam istilah sekarang). Julukan sebagai Kerajaan Kembar pun disematkan atas persatuan keduanya.

Selain berhasil mempersatukan Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Mangnguntungi juga sukses membawa kerajaannya berjaya secara politik, sejahtera dalam sektor sosial-ekonomi, dan berpengaruh dalam hal kebudayaan dan sastra. Mari kita membahasnya satu-persatu:

Secara politik, Kerajaan Gowa berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya: Marusu, Pangkaje'ne, Sidenreng, Galesong, Polongbangkeng, dan lainnya. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut tidak dilumpuhkan, tapi tetap dibiarkan berjalan dengan syarat rutin menyetor upeti kepada Kerajaan Gowa.

Upeti dari kerajaan-kerajaan kecil tersebutlah yang dipakai Kerajaan Gowa untuk mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi di wilayahnya. Kerajaan Gowa tidak hanya mampu mengembangkan pertanian yang selama ini menghidupi rakyatnya, tapi juga berhasil beralih ke sektor maritim, kelautan.

Kapal-kapal dagang milik pelaut Gowa berseliwerang ke laut lepas menuju daerah-daerah luar. Mereka sampai ke India, Filipina, bahkan Australia. Kapal-kapal dagang milik negara-negara asing juga sering singgah ke wilayah Gowa untuk bertransaksi jual-beli hasil bumi: rempah-rempah, padi, dan lainnya.

Berkembangnya kehidupan politik, sosial, dan ekonomi  membuat Karaeng Mangnguntungi mengambil kebijakan penting: memindahkan ibu kota dan Istana Kerajaan dari Tamalate yang daerah pebukitan ke daerah maritim, pinggir pantai. Daerah tersebut kemudian dinamai Somba Opu, dua kata yang bersinonim dengan kata Raja.

Di Somba Opu (daerah Raja-Raja), dermaga didirikan untuk menjamu kapal-kapal asing. Benteng dari bahan tanah juga dibangun di sekeliling kompleks istana untuk memperkuat pertahanan. Kerajaan Gowa pun menjadi kerajaan maritim besar di Indonesia.

Yang menarik, Karaeng Mangnguntungi juga berhasil mengembangkan budaya dan sastra Kerajaan Gowa. Dia menunjuk Daeng Pamatte' untuk menciptakan huruf dan bahasa lalu kemudian melakukan pencatatan-pencatatan budaya, kejadian, dan apapun terkait Kerajaan Gowa. Maka terciptalah huruf lontarak dan karya tulis berbahasa lontarak.

Pada 1546, Karaeng Mangnguntungi mengalami sakit keras pada bagian lehernya. Makanya dia pun dijuluki Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (Raja yang sakit lehernya). Penyakit itu merenggut nyawa sang Raja.

Hingga akhir abad ke-15, ada empat raja yang menggantikan posisi Karaeng Mangnguntungi:

1. I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung (1546-1565)
2. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data (1565)
3. I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590)
4. I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng Bonto Langkasa (1590-1593)

Ke-4 Raja tersebut, terkhusus nama nomor 1 dan 3, keduanya berhasil melanjutkan kejayaan Kerajaan Gowa secara politik. Mereka berhasil memperluas wilayah kekuasaan tidak hanya meliputi hampir seluruh pulau Sulawesi, tapi juga sampai ke pulau Kalimantan, Mataram, Maluku, dan bahkan sampai ke Asia Tenggara: Malaysia dan Filipina.

Keduanya juga memperkuat Benteng Somba Opu dengan merubah strukturnya dari bahan tanah ke bahan batu yang diambil dari daerah Marusu (Maros). Walhasil Benteng tersebut menjadi kuat dan bahkan masih bertahan sampai sekarang sebagai situs Kerajaan Gowa.

-----
Sejarah kejayaan maritim Kerajaan Gowa masih bisa dinikmati sekarang dengan berziarah ke kompleks Benteng Somba Opu yang terletak di jalan Abdul Kadir.
-----

Dirangkum dari pelbagai sumber bacaan dan informasi.