Minggu, 30 November 2014

Kembali ke Lembanna

Desa Lembanna
'Tak terasa waktu berlalu. Akhirnya saya kembali ke Lembanna setelah lima tahun.

Banyak perubahan pada desa di kaki gunung Bawakaraeng itu. 'Tak ada lagi rumah kayu. Semua telah berganti rumah batu. Sebagian terlihat cukup mewah. Tanda roda ekonomi berpacu cukup kencang di desa itu.

Tapi, masih seperti dulu, penduduk menyambung hidupnya dengan berkebun. Ragam tumbuhan mereka tanam: kol, kentang, strawbery, dan lainnya. Mereka kerja keras dari pagi sampai sore. Untuk hidup.

Saya memandang lurus ke jalanan aspal yang membelah kampung. Sekelompok pendaki Bawakaraeng tampak gagah berjalan. Mereka mencoba untuk berbagi waktu dengan alam.

Selain sebagai pusat perkebunan, Lembanna juga memang terkenal sebagai pusat berkumpulnya para pendaki yang ingin mendaki gunung Bawakaraeng. Penduduk pun secara terbuka menyiapkan rumah mereka sebagai tempat bersinggah para pendaki.

Hingga petang hampir melukis senja, saya pun harus mengucapkan salam perpisahan pada kampung yang cukup bersahaja itu. Kebun-kebun berlapis kabut mengantar saya pulang meninggalkan kenangan.

Kamis, 27 November 2014

Semen Tonasa Fun Cross 2014

Saya 'tak melewatkan kesempatan mengikuti Semen Tonasa Fun Cross 2014. Alasannya sederhana saja: saya belum pernah melihat langsung kantor dan pabrik Semen Tonasa di daerah Pangkep sana. Alasan lain: siapa tahu dapat hadiah motor. Hehe...

Fun Cross 2014 diadakan dalam rangka milad ke-46 Semen Tonasa, perusahaan semen terbesar di Indonesia Timur yang tergabung dalam Semen Indonesia Grup bersama Semen Padang, Semen Gresik, dan Semen Vietnam. Lokasi start bertempat di Tonasa I, sementara finish-nya di Tonasa II.

Sebelum start di lapangan Tonasa I (foto: Sahrul Gaffar)
Ahad (23/11/2014) subuh, saya memacu sepeda menuju perbatasan kota Makassar-Maros. Di titik itu, saya menunggu mobil milik teman. Biasalah, nebenger. Lima belas menit menunggu, tumpangan mobil pick up datang. Sepeda ditaruh di belakang, mobil pun melaju kencang menuju Pangkep.

Hampir pukul 07.00 pagi, kami tiba di Tonasa I. Pasapeda lain dari pelbagai komunitas sudah padat berkumpul. Menurut informasi, peserta mencapai 1000-an. Di Tonasa I, banyak bangunan tua milik Semen Tonasa. Maklum, kantor dan pabrik di situ telah lama ditinggalkan karena sudah tidak beroperasi lagi.

Hampir finish di tugu Tonasa II (foto: Arham Nutriawan)
Sekira pukul 07.45, start dimulai. Para pasapeda memacu sepedanya. Rute Fun Cross berjarak sejauh 27 kilometer. Pasapeda harus melalui jalanan beraspal/beton (60%) dan jalanan tanah berbatu (40%).

Sepanjang perjalanan, pasapeda disuguhi ragam pemandangan alam: sawah yang menghampar, tebing yang menghijau, gunung-gunung yang membisu di kejauhan, dan lokasi tambang milik Semen Tonasa.

Sekira pukul 10.00, hampir seluruh pasapeda telah mencapai garis finish. Peserta lalu ramai berkumpul di halaman kantor Tonasa II yang luas. Berbeda dengan Tonasa I, kantor dan pabrik Tonasa II sangat mewah.

Istirahat di halaman Tonasa II (foto: Meilani Dwi Astuti)
Untuk pasapeda, panitia telah menyiapkan nasi kotak dan undian doorprize. Tim kami (Kalla Cycling Community) mendapatkan dua doorprize: botol air hasil undian lepas dan goodie bag berisi souvenir Semen Tonasa hasil lomba foto selfie yang dikirim via media sosial.

Sekira pukul 12.00, acara selesai. Pasapeda serentak membubarkan diri, termasuk kami. Tapi sebelum kembali ke Makassar, seorang teman menjamu kami di rumahnya dengan makanan khas Pangkep: ikan bakar.

Sepeda tempur (foto: Meilani Dwi Astuti)

Kamis, 20 November 2014

Cerita Hidup Daeng Noro'

Cerita hidup Daeng Noro’ adalah cerita usang di negeri ini. Seorang kampung yang mencoba peruntungan hidup di kota besar dengan bekerja sebagai pengemis. Awal 2000-an, Daeng Noro’ dan beberapa temannya merantau ke kota Makassar. Mereka terdampar di sebuah rumah kontrakan kecil di jalan Dangko, di sisi kiri kanal besar. Bersama teman-temannya, Daeng Noro’ menyambung hidup dengan mengemis. Uang hasil mengemis dipakai untuk makan sehari-hari dan membayar kontrakan.

Waktu berjalan, teman-teman Daeng Noro’ satu persatu pulang, kembali ke kampung. Tapi Daeng Noro’ memilih bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota Makassar. Daeng Noro’ memilih untuk terus melakoni hari-harinya sebagai pengemis. Berjalan kaki keliling kota Makassar demi mencari belas kasih orang-orang berpunya. Hari demi hari, Daeng Noro’ terus berjuang. Hingga usianya menua, rambutnya memutih, dan kulitnya kerut memucat.

Kamis malam, 3 Juli 2014, Daeng Noro’ mengalami ujian berat dalam hidupnya. Dia menjadi korban tabrak lari sebuah motor besar di jalanan depan Pintu II Universitas Hasanuddin. Kata beberapa saksi mata, motor melaju kencang dan menabrak Daeng Noro’ yang hendak menyeberang hingga Daeng Noro’ terlempar sekira 3 meter.

‘Tak ada luka serius pada Daeng Noro’, tapi dia mengeluh sakit pada pinggul sebelah kirinya. Tubuh Daeng Noro' di bagian itulah yang tertabrak motor. Oleh dua warga, Iwan Setiawan dan Sumardi, Daeng Noro' yang menangis kesakitan dan muntah-muntah dibawa ke rumah sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo. Dia dirawat inap di situ.

Jumat malam, 4 Juli 2014, pemilik rumah kontrakan Daeng Noro' bernama Daeng Jarre’ datang ke rumah sakit untuk menjenguk Daeng Noro’. Daeng Jarre’ datang setelah mendapat informasi dari Yayasan Kalla perihal kondisi Daeng Noro’.

Setelah mendapat penjelasan dari dokter perihal kondisi baik Daeng Noro’ sehingga ‘tak perlu dioperasi, Daeng Jarre’ pun berniat segera membawa pulang Daeng Noro’. Daeng Jarre’ beralasan, “Kalau di rumah sakit, tidak ada yang perhatikangi kodong. Kalau mau berak, kencing, makan.” Dengan menggunakan mobil sewaan, Daeng Jarre’ dan keluarganya membawa pulang Daeng. Noro’ kembali ke rumah kontrakannya setelah terlebih dulu membayar biaya perawatan senilai hampir Rp 800 ribu.

Daeng Noro' terbaring lemah di rumahnya.
Jumat sore, 19 Juli 2014, Yayasan Kalla mengunjungi rumah kontrakan Daeng Noro’ di jalan Dangko. Dia masih terbaring lemah di tempat tidurnya (lihat foto). Sesekali berdiri untuk berjalan, meskipun harus terpincang-pincang. Yayasan Kalla memberikan sumbangan kepada Daeng Noro, termasuk mengganti biaya rumah sakit yang telah dikeluarkan Daeng Jarre’.

Semoga Allah Azza Wa Jalla memberkati hidup Daeng Noro dan pihak-pihak yang telah menolongnya. Aamiin!

Dan ingatlah, pada prinsipnya: orang-orang kayalah yang bertanggungjawab menolong orang-orang miskin. Bagaimana caranya? Sudah banyak para teladan yang telah menunjukkan caranya. Kita tinggal mengokohkan niat untuk turut berkontribusi.

Senin, 10 November 2014

Kalla Adventure Cycling 2014

Ahad (9/11/2014) masih pagi saat ratusan pasapeda berkumpul di jalanan belakang Wisma Kalla. Mereka berkumpul untuk mengikuti kegiatan Adventure Cycling dalam rangka ulang tahun ke-62 Kalla Group.

Para pasapeda itu terdiri dari komunitas dan perorangan. Tercatat 44 komunitas dan puluhan peserta perorangan hadir meramaikan acara. Mereka hadir dengan baju seragam, safety riding, dan sepeda yang siap "tempur".

Tepat pukul 06.45, start dimulai. Ibu Fatimah Kalla (Dirut Kalla Group) dan Imelda Jusuf Kalla (Dir. Keuangan Kalla Group) melepas peserta di garis start. Peserta pun menggayung sepedanya dengan semangat. Mottonya: pergi dengan semangat, pulang dengan selamat. Hehe...

Bu Fatimah Kalla melepas peserta
Bu Imelda Jusuf Kalla melepas peserta
Adventure Cycling Kalla Group 2014 menempuh jarak sekira 30 kilometer. Rutenya: start di jalan Mappanyukki, jalan Haji Bau, jalan Metro Tanjung Bunga, Proyek CPI, Trans Studio, Mall GTC, Benteng Somba Opu, Jembatan Barombong, Kassi-Kassi, Pallangga, Jembatan Kembar Sungguminasa, Pasar Sungguminasa, jalan Abdul Kadir, jalan Dangko, jalan Cendrawasih, dan kembali finish ke Mappanyukki. Jauh, ya? Lumayanlah.

Selama perjalanan, peserta melewati lima pos untuk beristirahat dan minum. Di setiap pos, peserta juga wajib menstempel kuponnya sebagai syarat mengikuti undian hadiah. Di rute tertentu, peserta juga dibantu penunjuk jalan (marshal). Namun karena keterbatasan, beberapa peserta lepas dari pantauan marshal dan tersesat. Maaf bos, kami mengaku salah! Hehehehe....


Peserta memacu sepedanya
Peserta berhenti di Pos
Dalam perjalanannya, satu-dua peserta menyerah karena kelelahan. Mereka pun diangkut dengan mobil pick up yang telah disiapkan panitia. Selain mobil pick up, panitia juga menyiapkan dua mobil ambulance untuk mengantisipasi adanya peserta yang mengalami masalah medis. Tercatat hanya satu peserta yang harus dirawat khusus karena mengalami kram di kakinya.   


Peserta foto-foto di bendungan karet
Sekira pukul 10.00, sebagian besar peserta telah mencapai garis finish. Cuaca yang mendung-mendung sedap sepertinya mampu membuat sebagian besar peserta bertahan hingga garis finish. Alhamdulillah! Di garis finish, panitia telah menyuguhkan makanan dan minuman untuk peserta: jagung, pisang rebus, bubur, dan lainnya. Selain itu, puluhan hadiah menggembirakan juga telah menanti peserta.

Untuk undian hadiah utama motor, Heri (karyawan swasta) lahir sebagai peraih hadiah. Sementara itu, untuk hadiah komunitas terbaik yang mendapatkan tropi dan uang tabungan diraih oleh Samudera Cycling Club TNI AL. Kedua hadiah diserahkan langsung oleh Halim Kalla (Dirut PT Makassar Raya Motor).

Pak Halim Kalla menyerahkan hadiah motor
Pak Halim Kalla menyerahkan hadiah komunitas terbaik
Satu keluarga: Makassar Goweser Community 

Selasa, 28 Oktober 2014

Berlabuh di Paotere'

Jajaran perahu kayu di Paotere'

Apa yang tersisa dari kejayaan kerajaan Makassar di masa lalu di tengah modernisasi kota Makassar saat ini? Salah satu jawabannya adalah pelabuhan Paotere'.

Pelabuhan itu cukup usang memang. Menurut catatan sejarah, telah ada sejak abad ke-14. Menjadi saksi bisu berlayarnya perahu phinisi ke laut lepas; lalu mendunia.

Buruh dan cargo
Pelabuhan di tepi daratan sebuah daerah yang akrab disapa Galangan Kapal itu memang masih tradisional sampai sekarang. Sama sekali 'tak tersentuh modernisasi kota.

Sejauh mata memandang, Anda dapat melihat ragam pemandangan tradisional itu: jajaran perahu kayu yang bersandar, buruh kapal yang mengangkat cargo di punggungnya, dan kehidupan para pelaut dan keluarganya yang menganggap kapal sebagai rumahnya.

Di Paotere', semua tergambar begitu dekat. 'Tak ada pagar tinggi yang membatasi. Kita bisa berjalan ke tepi dermaga dan menyaksikan segala kehidupan.

'Tak perlu memutar waktu ke belakang untuk merenungkan kejayaan masa lalu. Cukup kongkow-kongkow di Paotere' sambil menikmati kopi hitam. Semua mengalir dengan sendirinya, tanpa batas.

Berlabuh di Paotere'
Penangkis ombak

Minggu, 26 Oktober 2014

Bersepeda ke Tompo Bulu

Hal terindah dari bersepeda adalah ketika jalanan yang kita lalui begitu lenggang dan mulusnya. 'Tak ada kepadatan kendaraan dengan segala kebisingan dan polusinya. 'Tak ada kerusakan jalanan dengan segala potensi celakanya.

Itulah yang penulis rasakan ketika bersepeda ke Tompo Bulu, sebuah daerah di pinggiran kota Makassar yang terselip di antara pebukitan. Semua jalanan menuju daerah itu teraspal dan terbeton dengan baiknya.

Selain itu, suasana sunyi di antara hijaunya pepohonan dan bisunya pebukitan menambah nikmat suasana. Sejenak penulis melupakan riuhnya kota dan menikmati desa yang bersahaja.

Jalanan menuju Tompo Bulu
Rambu tikungan yang dibuat mahasiswa KKN
Dua jempol kepada Pemerintah Kabupaten Maros yang telah mewujudkan itu semua. Pada prinsipnya, kata Anies Baswedan, ketika jalanan dibangun dengan baik maka tiga elemen dasar kehidupan warga juga akan turut membaik: transportasi, ekonomi, dan pendidikan.

SPBU mini di warung warga. Tanda transportasi maju
Ada dua jalur yang bisa kita lalui menuju Tompo Bulu: jalur pertama, lewat Maros melalui jalan Poros Kariango (Pasar Bulubulu); jalur kedua, lewat Makassar melalui jalan Paccerakkang (Pasar Daya). Penulis bersepeda melalui jalur pertama.

Berhubung sudah ada jalanan berkerikil melalui belakang Bandara Sultan Hasanuddin yang langsung tembus ke jalan Poros Kariango, penulis pun 'tak perlu repot-repot lewat Maros. Tinggal potong-kompas saja.

Jalanan berkerikil belakang bandara
Jalan terus pantang mundur
Pagar bandara
Semak belukar dan bunga di belakang bandara
Melalui jalanan berkerikil belakang bandara, penulis disuguhi suasana berbeda. Penulis merasa seperti berada di tengah padang tandus. Sejauh mata memandang, terhampar tanah lapang. Semak belukar dan bunga di tepi jalan berusaha untuk tumbuh. Tapi apa daya, petani 'tak menyukainya lalu membakarnya.

Jalanan berkerikil itu membelah pagar tinggi bandara dengan sawah-sawah milik warga. Menurut rencananya, sawah-sawah itu akan hilang di masa depan karena masuk dalam siteplan perluasan bandara. Penulis sendiri belum bisa membayangkan wujud dari bandara di masa depan. Penulis cuma bisa membatin: bandara kita luas juga nantinya. Hehe...

Melalui jalanan setapak yang membelah rumah dan sawah-sawah warga, penulis akhirnya tembus ke jalan Poros Kariango. Oleh masyarakat, jalan Poros Kariango diidentikkan dengan jalanan milik tentara. Wajar saja, di jalanan itulah TNI AD bermarkas dan bahkan berbisnis.

Di jalanan itu pula banyak berdiri desa-desa maju dalam lingkup Pemkab Maros: Batangase, Kurusumange, Sudirman, Pucak, Benteng Gajah, dan lainnya. Hal mengganjal ketika penulis melalui desa-desa tersebut adalah saat menyaksikan pemandangan kontras dimana rumah Kepala Desa lebih mewah daripada kantor desa.

Apakah itu pertanda penghasilan Kepala Desa lebih besar daripada desa yang dipimpinnya? Apakah memang yang diangkat menjadi Kepala Desa itu adalah orang terkaya di desa? Entahlah. Yang terpenting, warga desa sejahtera. Itu saja.

Rambu penunjuk arah
Setelah menempuh perjalanan sekira tiga jam, penulis akhirnya tiba di Tompo Bulu. Suasana desa kecamatan itu sama seperti suasana desa lainnya di Indonesia. Cuma bedanya, terdapat satu-dua rumah super mewah di situ.

Rumah H. Tahir, misalnya, begitu besar dan luas dengan jajaran mobil mewah di halamannya. Entah apa pekerjaan H. Tahir, saya 'tak mendapatkan informasinya. Tapi 'tak jauh dari rumah mewahnya, H. Tahir memiliki tanah lapang yang dijadikan arena aksi motor trail dan mobil off-road.

'Tak jauh juga dari rumah H. Tahir, berdiri sebuah bangunan villa besar berisikan cafe, live music, dan kolam renang di dalamnya. Bangunan yang terbuka untuk umum dengan karcis seharga Rp 5.000 per orang itu ternyata milik H. Zainal Basri Palaguna, mantan tentara dan Gubernur Sulawesi Selatan.  

Anda penasaran mengunjungi Tompo Bulu? Silahkan dicoba, terkhusus bagi para pesepeda. Dijamin merasakan suasana lain. Yah, sekalian jadi ajang wisata lintas desa.

Senin, 04 Agustus 2014

Museum Villa Yuliana di Kota Watansoppeng

Museum Villa Yuliana
Pada 1905, C. A. Krosen, Gubernur Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan, membangun Villa Yuliana di sebuah daerah puncak di kota Watansoppeng.

Tujuan pembangunan villa itu adalah sebagai tempat peristirahatan Ratu Yuliana dari Belanda yang hendak berkunjung ke Sulsel. Makanya diberi nama Villa Yuliana.

Villa dibangun dengan memadukan desain gaya gereja Eropa dan gaya lokal Bugis. Gaya gereja Eropa berupa dinding tebal dan menara tinggi dengan atap mengerucut; sedangkan gaya lokal Bugis berupa rumah panggung bertangga dari bahan kayu.

Kini, setelah 109 tahun, bangunan Villa Yuliana masih tampak kokoh. Namun fungsinya bukan lagi sebagai villa, tapi sebagai museum.

Museum yang diberi nama Latemmamala, nama Raja pertama Kerajaan Soppeng, oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng itu berisi benda-benda pusaka, fosil-fosil binatang purba dan foto-foto kegiatan Pemkab Soppeng.

*****

‘Tak sulit menemukan lokasi Museum Villa Yuliana. Posisinya berada tepat di jantung kota Watansoppeng, ibukota Kabupaten Soppeng. Tepatnya di jalan Pengayoman nomor 1, di depan Masjid Raya Watansoppeng.

Untuk menarik kunjungan ke museum itu, Pemkab Soppeng menyulap lokasi depan museum menjadi taman kota yang dilengkapi tangga-tangga yang bisa diduduki dan gazebo-gazebo untuk berteduh.

Taman Kota Watansoppeng
Taman Kota Watansoppeng
Dari lokasi taman kota itu pula para pengunjung bisa menikmati pemandangan alam indah berupa jajaran gunung-gunung yang hijau di kejauhan. Kabupaten Soppeng memang merupakan daerah yang dibangun diantara jajaran gunung.

Bagi Anda yang punya waktu berkunjung ke kota Watansoppeng, jangan lewatkan kesempatan berkunjung ke Museum Villa Yuliana dan Taman Kota Watansoppeng. Lumayan nyamanlah, apalagi bagi Anda yang hobi selfie. Hehe….