Lord Acton bilang: idealnya, demokrasi dan korupsi itu bertolak belakang. Demokrasi itu untuk rakyat; korupsi itu untuk syahwat. Tapi yang terjadi di Indonesia sebaliknya: demokrasi dan korupsi itu linier.
Apa sebab? Demokrasi itu biayanya mahal. Politisi dan partainya butuh dibiayai. Demi kekuasaan. Yang biayai tentu saja para cukong. Imbalannya: proyek, perizinan lancar, dll.
Najwa Shihab bilang: melalui prosedur-prosedur demokrasi, seperti partai, pemiliu, dan parlemen, seseorang berkesempatan mengakses anggaran demi kepentingan sendiri dan demi memenangi proses demokrasi itu.
Kasarnya: politisi menjalankan demokrasi, para cukong membiayai demokrasi. Demokrasi dan korupsi akhirnya saling membutuhkan dan saling menopang.
Dulu, kita bisa lihat dengan jelas hubungan spesial antara Presiden Soeharto dengan Pengusaha Sudono Salim. Satu ingin berkuasa; satunya ingin uang. Tiga dekade lamanya mereka bersahabat.
Dan hubungan antara Gubernur Nurdin dan Pengusaha Agung Sucipto adalah contoh yang baru. Demi proyek, Pengusaha Agung harus membiayai aktifitas demokrasi Gubernur Nurdin.
Atau begini saja, bagaimana kalau biaya-biaya seperti itu kita sebut saja sebagai biaya demokrasi, bukan biaya suap. Deal! Demi mewujudkan Indonesia yang berdemokrasi.