Hal terindah dari bersepeda adalah ketika jalanan yang kita lalui begitu lenggang dan mulusnya. 'Tak ada kepadatan kendaraan dengan segala kebisingan dan polusinya. 'Tak ada kerusakan jalanan dengan segala potensi celakanya.
Itulah yang penulis rasakan ketika bersepeda ke Tompo Bulu, sebuah daerah di pinggiran kota Makassar yang terselip di antara pebukitan. Semua jalanan menuju daerah itu teraspal dan terbeton dengan baiknya.
Selain itu, suasana sunyi di antara hijaunya pepohonan dan bisunya pebukitan menambah nikmat suasana. Sejenak penulis melupakan riuhnya kota dan menikmati desa yang bersahaja.
|
Jalanan menuju Tompo Bulu |
|
Rambu tikungan yang dibuat mahasiswa KKN |
Dua jempol kepada Pemerintah Kabupaten Maros yang telah mewujudkan itu semua. Pada prinsipnya, kata Anies Baswedan, ketika jalanan dibangun dengan baik maka tiga elemen dasar kehidupan warga juga akan turut membaik: transportasi, ekonomi, dan pendidikan.
|
SPBU mini di warung warga. Tanda transportasi maju |
Ada dua jalur yang bisa kita lalui menuju Tompo Bulu: jalur pertama, lewat Maros melalui jalan Poros Kariango (Pasar Bulubulu); jalur kedua, lewat Makassar melalui jalan Paccerakkang (Pasar Daya). Penulis bersepeda melalui jalur pertama.
Berhubung sudah ada jalanan berkerikil melalui belakang Bandara Sultan Hasanuddin yang langsung tembus ke jalan Poros Kariango, penulis pun 'tak perlu repot-repot lewat Maros. Tinggal potong-kompas saja.
|
Jalanan berkerikil belakang bandara |
|
Jalan terus pantang mundur |
|
Pagar bandara |
|
Semak belukar dan bunga di belakang bandara |
Melalui jalanan berkerikil belakang bandara, penulis disuguhi suasana berbeda. Penulis merasa seperti berada di tengah padang tandus. Sejauh mata memandang, terhampar tanah lapang. Semak belukar dan bunga di tepi jalan berusaha untuk tumbuh. Tapi apa daya, petani 'tak menyukainya lalu membakarnya.
Jalanan berkerikil itu membelah pagar tinggi bandara dengan sawah-sawah milik warga. Menurut rencananya, sawah-sawah itu akan hilang di masa depan karena masuk dalam
siteplan perluasan bandara. Penulis sendiri belum bisa membayangkan wujud dari bandara di masa depan. Penulis cuma bisa membatin: bandara kita luas juga nantinya. Hehe...
Melalui jalanan setapak yang membelah rumah dan sawah-sawah warga, penulis akhirnya tembus ke jalan Poros Kariango. Oleh masyarakat, jalan Poros Kariango diidentikkan dengan jalanan milik tentara. Wajar saja, di jalanan itulah TNI AD bermarkas dan bahkan berbisnis.
Di jalanan itu pula banyak berdiri desa-desa maju dalam lingkup Pemkab Maros: Batangase, Kurusumange, Sudirman, Pucak, Benteng Gajah, dan lainnya. Hal mengganjal ketika penulis melalui desa-desa tersebut adalah saat menyaksikan pemandangan kontras dimana rumah Kepala Desa lebih mewah daripada kantor desa.
Apakah itu pertanda penghasilan Kepala Desa lebih besar daripada desa yang dipimpinnya? Apakah memang yang diangkat menjadi Kepala Desa itu adalah orang terkaya di desa? Entahlah. Yang terpenting, warga desa sejahtera. Itu saja.
|
Rambu penunjuk arah |
Setelah menempuh perjalanan sekira tiga jam, penulis akhirnya tiba di Tompo Bulu. Suasana desa kecamatan itu sama seperti suasana desa lainnya di Indonesia. Cuma bedanya, terdapat satu-dua rumah super mewah di situ.
Rumah H. Tahir, misalnya, begitu besar dan luas dengan jajaran mobil mewah di halamannya. Entah apa pekerjaan H. Tahir, saya 'tak mendapatkan informasinya. Tapi 'tak jauh dari rumah mewahnya, H. Tahir memiliki tanah lapang yang dijadikan arena aksi motor
trail dan mobil
off-road.
'Tak jauh juga dari rumah H. Tahir, berdiri sebuah bangunan villa besar berisikan
cafe,
live music, dan kolam renang di dalamnya. Bangunan yang terbuka untuk umum dengan karcis seharga Rp 5.000 per orang itu ternyata milik H. Zainal Basri Palaguna, mantan tentara dan Gubernur Sulawesi Selatan.
Anda penasaran mengunjungi Tompo Bulu? Silahkan dicoba, terkhusus bagi para pesepeda. Dijamin merasakan suasana lain. Yah, sekalian jadi ajang wisata lintas desa.